BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Setgab di Ujung Tanduk?

Setgab di Ujung Tanduk?

Written By gusdurian on Rabu, 02 Maret 2011 | 13.19

Meskipun usulan penggunaan hak angket pajak akhirnya ditolak melalui pemungutan suara di DPR,Partai Demokrat (PD) mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengevaluasi formasi koalisi parpol pendukungnya.

Sikap “ngotot” Golkar dan PKS yang menggulirkan hak angket pajak dinilai sejumlah petinggi PD bisa menjadi dasar kocok ulang formasi koalisi.Apakah Presiden SBY akan memenuhinya? Menarik bahwa baik Golkar maupun PKS bersikap “pasrah” saja jika akhirnya mereka harus dikeluarkan dari Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi Parpol Pendukung Pemerintah. Pimpinan Golkar dan PKS bahkan menantang untuk mencopot mereka jika dianggap mengganggu kenyamanan koalisi.

Para petinggi dua parpol yang mbalelo tersebut beranggapan bahwa perbedaan sikap politik di antara parpol anggota koalisi wajar-wajar saja selama perbedaan itu bertolak dari kepentingan rakyat. Sementara para petinggi PD bersikukuh bahwa Setgab Koalisi justru dibentuk untuk menyamakan persepsi parpol anggotanya agar berbagai kebijakan pemerintah tidak terhambat di DPR.

Karena itu, sudah waktunya bagi Presiden SBY mengevaluasi formasi koalisi, bahkan kalau perlu dengan mengeluarkan Golkar dan PKS yang dianggap sebagai batu kerikil bagi kerja sama internal Setgab Koalisi. Sebagian petinggi PD berharap agar posisi dua parpol yang bandel tersebut digantikan oleh PDI Perjuangan dan atau Partai Gerindra.

Benci, tapi Rindu

Desakan serupa pernah disampaikan para elite PD ketika Golkar,PKS,dan PPP mempermalukan pemerintah SBY melalui panitia khusus angket terkait skandal Bank Century. Tiga parpol anggota koalisi pendukung SBY tersebut bahkan mempersalahkan pemerintah atas pemberian dana talangan Rp6,7 triliun atas Bank Century.

Namun, SBY justru memilih mencopot Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang akhirnya menjadi Direktur Eksekutif Bank Dunia. Alih-alih mengocok ulang formasi koalisi, Presiden SBY memilih melanjutkan relasi “benci, tapi rindu” dengan Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie. Di luar dugaan para petinggi PD lainnya, SBY bahkan menunjuk Aburizal sebagai Ketua Harian Setgab Koalisi. Relasi politik internal koalisi pun berangsur “cair” bersamaan dengan berlalunya skandal Century.

Ibarat kata pepatah, business as usual, semuanya berlangsung sebagaimana biasa,seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Itu artinya, ke mana arah Setgab Koalisi pascaangket pajak jelas sangat bergantung pada cara pandang dan sikap politik Presiden SBY selaku Ketua Dewan Pembina PD sekaligus Ketua Setgab Koalisi.

Jika bertolak dari pengalaman kasus Pansus Angket Century, kemungkinan besar formasi koalisi tidak akan berubah. Desakan para petinggi PD untuk mencopot Golkar dan PKS dari keanggotaan koalisi juga akan berhenti dan menguap bersamaan dengan berlalunya waktu serta munculnya isu-isu politik baru yang menyita perhatian publik.

Harmoni Semu Tidak Soal

Pertanyaannya, mengapa Presiden SBY cenderung diam seribu basa dan kemungkinan tidak akan mengubah formasi koalisi parpol pendukungnya? Paling kurang ada beberapa penjelasan atas hal itu. Pertama, kebutuhan akan koalisi parpol pendukung pemerintah memang datang dari SBY selaku presiden terpilih Pemilu 2009. Meskipun SBY meraih suara lebih dari 60% pada pemilu yang lalu,PD sebagai basis politiknya hanya meraih sekitar 26,6% atau 149 kursi dari 560 kursi DPR.

Artinya, SBY membutuhkan dukungan politik parpol lain agar berbagai kebijakan pemerintah lolos di Parlemen. Kedua, sangat jelas bahwa kesepakatan dan kontrak koalisi tidak terjadi di antara parpol- parpol secara institusi, tapi antara SBY selaku presiden terpilih dan enam parpol pendukungnya, termasuk PD yang notabene dipimpin oleh jenderal kelahiran Pacitan tersebut sebagai Ketua Dewan Pembina. Jadi sangat jelas di sini faktor terpenting yang menentukan kelangsungan dan masa depan Setgab Koalisi adalah Presiden SBY sendiri, bukan para petinggi PD yang lain.

Ketiga,pengalamanpemerintahan lebih dari enam tahun Presiden SBY menunjukkan bahwa mantan menteri pertambangan era Abdurrahman Wahid ini tidak memiliki “nyali politik” dalam berhadapan dengan perlawanan parpol di DPR. Sesuai watak personalnya, SBY adalah sosok pemimpin yang ingin membangun relasi harmoni dan sebaliknya menghindari format relasi yang bersifat konflik.Bagi SBY,tidak menjadi soal,apakah relasi harmoni yang terbangun itu hanya semu alias pencitraan belaka.

Dilema PDIP dan Gerindra

Sementara itu, melibatkan PDI Perjuangan dan atau Partai Gerindra dalam Setgab Koalisi belum tentu menjamin keutuhan dan kerja sama koalisi menjadi lebih baik hingga Pemilu 2014. Sikap politik yang cenderung kaku pada diri Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati juga sikap serupa pada sosok Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto jelas akan lebih menyulitkan SBY membangun relasi politik yang bersifat harmoni di dalam koalisi.

Selain itu,tidak ada jaminan bahwa PDI Perjuangan dan atau Gerindra juga akan menjadi “anak manis”yang baik dan patuh dalam Setgab Koalisi. Jadi, apa pun pilihan politik SBY,mengocok ulang atau sebaliknya mempertahankan formasi koalisi parpol pendukungnya, dinamikainternalkoalisiyangdiwarnai konflik akan tetap berlangsung hingga pemilu mendatang. Persoalannya tidak terletak pada pilihan atas Golkar, PKS, PDI Perjuangan,atau Gerindra, tetapi lebih pada format koalisi itu sendiri.

Selama koalisi dibangun hanya atas dasar kepentingan jangka pendek parpol pendukung, tidak ada garansi kerja sama dan kohesi internal koalisi menjadi lebih baik.Karena itu, tidak ada insentif politik bagi negeri kita di balik hirukpikuk dan ancam-mengancam antarparpol koalisi.Sebaliknya, aneka persoalan bangsa yang tak tersentuh semakin menggunung. Sungguh suatu ironi yang terus berulang.●

SYAMSUDDIN HARIS
Kepala Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/384786/
Share this article :

0 komentar: