BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Gejolak Harga Minyak Dunia

Gejolak Harga Minyak Dunia

Written By gusdurian on Rabu, 02 Maret 2011 | 13.18

GELOMBANG aksi massa menumbangkan pemerintahan di Afrika Utara dan Timur Tengah terus berlanjut. Setelah rakyat yang terutama terdiri atas kaum muda berhasil menumbangkan Presiden Tunisia dan Mesir, saat ini aksi massa terjadi di Libya,Yaman, Bahrain, dan Oman.

Dari aksi-aksi tersebut, yang berdampak signifikan terhadap kenaikan harga minyak adalah krisis Libya lantaran negara itu merupakan penghasil minyak terbesar di Afrika Utara. Kalau eskalasi krisis Libya memburuk, ada sekitar 1,6 juta barel per hari yang akan terancam hilang dari pasar. Risiko ini secara jelas terlihat dengan dievakuasinya sebagian besar tenaga perminyakan dari Libya. Meski Arab Saudi berjanji menutup kekurangan supply dari Libya, pasar tidak bisa sepenuhnya diyakinkan mengingat untuk menambah produksi 1,6 juta barel per hari, Arab Saudi butuh waktu setidaknya satu tahun.

Harga minyak jenis brent sempat menembus USD120 per barel meski kemudian terjadi sedikit penurunan karena aksi ambil untung. Dorongan untuk harga naik ke level USD140 per barel masih sangat terbuka lantaran krisis Libya belum ada tanda-tanda akan berakhir. Sementara gelombang aksi massa sudah menjalar ke Iran, Bahrain, Oman, dan Aljazair. Mengikuti alur theory pricing non-renewable energy dari Hotelling (1930),harga nominal minyak yang ‘pantas’ saat ini setelah memperhitungkan inflasi/ suku bunga adalah sekitar USD140 per barel.

Jika krisis Libya berkepanjangan dan harga minyak terdorong hingga USD140 per barel, ini merupakan level harga yang masih ‘wajar’ agar minyak bisa lebih dihemat dan bisa mendorong lebih banyak memakai energi nonminyak seperti gas, coal bed methane (CBM), biofuel, serta energi baru dan terbarukan lainnya. Masalahnya, hingga saat ini pengembangan dan pemakaian energi baru dan terbarukan masih sangat terbelakang.

Terlebih apabila Arab Saudi yang merupakan benteng utama sistem monarki-absolut di Timur Tengah juga tertular virus gelombang protes massa untuk menuntut perubahan dan penggantian sistem monarki, harga minyak dalam waktu sangat singkat akan mampu menembus USD200 per barel. Harga minyak yang melewati level sekitar USD140 per barel, apalagi sampai menembus level USD200 per barel, pasti akan menimbulkan masalah besar bagi perekonomian Indonesia.

Produksi atau lifting minyak Indonesia saat ini hanya sekitar 905.000 barel per hari. Ini merupakan level terendah sejarah perminyakan nasional dalam 40 tahun terakhir. Kalau pemerintah gagal mencapai target produksi RAPBN 2011 yang besarnya hanya 970.000 barel per hari dan hanya mampu sekitar 900.000 barel per hari, negara akan kehilangan pendapatan kotor dari migas sekitar Rp30 triliun.Sementara subsidi BBM akan membengkak menjadi sekitar Rp110 triliun apabila harga BBM tidak dinaikkan.

Produksi minyak yang sangat rendah ini bukan karena minyak di perut bumi sudah habis atau langka, melainkan lebih karena salah kelola. Kalau pemerintah serius berusaha menaikkan produksi, sebenarnya masih sangat terbuka peluang misalnya dari Blok Cepu. Sudah bertahun-tahun blok ini dikembangkan,namun produksi baru sekitar 20.000 barel per hari,padahal kemampuannya bisa mencapai 165.000 barel per hari. Dalam jangka panjang, hambatan investasi pencarian cadangan baru harus dihilangkan, dengan segera mengganti/ mencabut Undang-Undang (UU) Migas No 22/2001.

Intinya adalah menghapus model business to government (B to G) menjadi business to business (B to B) agar proses investasi menjadi lebih simpel,melikuidasi BP Migas ke Pertamina dan BPH Migas ke Ditjen Migas, memberlakukan prinsip lex spesialis,serta memperjelas status/definisi kepemilikan cadangan migas yang ada di perut bumi. Menurut Global Petroleum Survey 2010, kondisi investasi migas di Indonesia salah satu yang terburuk di dunia. Lebih buruk dari Filipina, Brunei, Malaysia,Vietnam, Thailand, China, India, Angola, Argentina, dan Brasil.

Penyebabnya adalah faktor korupsi, akses data geologi yang kurang, kontrak yang tidak ditaati pemerintah, dan sikap pemerintah yang membiarkan UU Migas No 22/2001 terus berlaku, padahal undang-undang ini sudah cacat lantaran beberapa pasal utamanya sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi. Di tengah harga minyak yang ‘menggila’, pemerintah perlu mengambil kebijakan yang rasional guna mengurangi dampak negatif yaitu berusaha untuk mengurangi pemakaian minyak lewat diversifikasi dan kebijakan harga.

Mendorong pemakaian nonminyak seperti gas, CBM, biofuel, atau lewat kebijakan harga. Rencana pembatasan BBM bersubsidi dengan melarang kendaraan pelat hitam membeli premium dan memaksa mereka membeli pertamax dan sejenisnya merupakan kebijakan yang secara substansi salah. Kebijakan ini mendorong rakyat pindah dari minyak (premium) ke minyak (pertamax). Dus, sangat tidak visioner. Di samping mekanisme kontrol yang mahal dan tidak akan efektif, kebijakan ini pada hakikatnya juga merupakan kebijakan menaikkan harga BBM secara terselubung.

Kenaikan harga ini pasti akan berdampak negatif terhadap inflasi, penurunan daya beli,dan peningkatan jumlah orang miskin. Ini bisa memicu kerawanan sosial di tengah melonjaknya harga pangan. Menaikkan harga premium secara bertahap misalnya menjadi Rp5.500 per liter yang berarti akan ada penghematan sekitar Rp20 triliun jauh lebih bertanggung jawab daripada memaksa rakyat membeli pertamax dan sejenisnya. Untuk itu, pemerintah dituntut untuk mampu menjelaskan kepada rakyat secara jujur dan transparan bahwa dana penghematan tersebut akan dipakai untuk membangun infrastruktur ekonomi seperti pembangunan/perbaikan jalan, sistem transportasi umum,puskesmas,dan sebagainya.

Pemerintah perlu juga menjelaskan ke rakyat mengenai pemanfaatan dana penghematan yang didapat dari pengurangan pemakaian minyak tanah. Apakah dana tersebut sudah dipakai untuk membangun infrastruktur? Jika seandainya kekayaan migas nasional dikelola secara tepat, kenaikan harga minyak dunia mestinya akan membawa berkah.Akan ada dana oil boomyang dapat dipakai untuk membangun infrastruktur di seluruh Tanah Air.Namun, ternyata tidak. Kenaikan harga minyak dunia justru membawa kesusahan! (*)

DR KURTUBI
Pengajar Pascasarjana
Fakultas Ekonomi UI

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/384873/
Share this article :

0 komentar: