BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Reshuffle dan Objektivitas

Reshuffle dan Objektivitas

Written By gusdurian on Minggu, 06 Maret 2011 | 09.49

Akhir Februari lalu Presiden Prancis Nicolas Sarkozy melakukan pergantian kabinet yang keempat kali dalam satu tahun terakhir. Pergantian kali ini menimpa Menteri Luar Negeri Michele Alliot-Marie (MAM) dan Menteri Dalam Negeri dan Imigrasi Brice Hortefeux.

Meski Sarkozy tidak membeberkan secara formal alasan pergantian itu, pergantian MAM besar kemungkinan karena skandal perjalanan liburannya ke Tunisia saat negara itu tengah dalam krisis dan kedekatan MAM dengan Presiden terguling Ben Ali. Pencopotan MAM yang juga Ketua Union pour un Mouvement Populaire (UMP), partai Sarkozy di Parlemen ini,juga ditengarai untuk memperbaiki performa politik luar negeri Prancis yang dianggap lamban terutama dalam menanggapi perkembangan demokrasi tak terduga di beberapa negaraTimurTengah baru-baru ini.

Sementara Hortefeux diganti karena sikapnya yang kerap dirasa rasis dan menyinggung perasaan etnis minoritas di Prancis. Berbeda dengan pergantian kabinet sebelumnya, yang banyak menimpa menterimenteri dari kalangan Parti Socialiste (PS), partai saingan terberat Sarkozy yang diakomodasi dalam pemerintahannya, reshuffle kali ini banyak menimpa tokoh-tokoh dari kalangan UMP sendiri, bahkan seorang MAM tokoh yang dianggap sangat dekat secara ideologis dengan Sarkozy.

Hal ini menunjukkan bahwa kesamaan orientasi kepartaian tidak menjamin baiknya kinerja seorang menteri. Masalah kinerja dan upaya menjaga trust rakyat memang merupakan hal-hal pokok yang melandasi terjadi beberapa kali reshufflekabinet Sarkozy.Selain juga berbagai skandal yang jelas-jelas merugikan negara dan citra pemerintahan menjadi hal-hal yang mendasari pencopotan para menteri.

Meski secara umum kinerja Presiden Sarkozy hingga kini belum memuaskan banyak rakyat Prancis, bahkan bagi banyak pengamat mengalami hasil yang jauh dari harapan,dari kebijakan reshuffle ini terlihat konsistensi untuk bersikap objektif dan menuruti feeling publik.

Bagaimana dengan Indonesia?

Meski reshuffle kabinet belum terjadi, ancaman reshuffle telah berkali-kali dilontarkan dan tampak semakin menguat. Ancaman ini dilancarkan dengan disampaikannya kritik atas kinerja menteri-menteri yang telah ditargetkan untuk diganti kalangan pendukung Presiden. Serangan sporadis ini kemudian dikukuhkan oleh pandangan beberapa tokoh partai penguasa, yang kemudian disusul dengan pidato Presiden yang menyoroti makna koalisi yang hendaknya dibangun.

Bagi sebagian orang merupakan “pidato pembukaan” sebelum reshuffle benarbenar terjadi. Hal yang menarik adalah ancaman reshufflemuncul dua kali.Keduanya persis setelah Presiden dan partai berkuasa mendapat tentangan dari mitra koalisinya di Parlemen. Ini cukup mengindikasikan bahwa jika partai-partai itu tidak menunjukkan sikap berbeda dalam Parlemen, ancaman reshuffle tidak terjadi.

Di sini dengan mudah rakyat dapat melihat bahwa isu pergantian kabinet tidak seutuhnya dilandasi oleh sebuah kepentingan yang murni objektif berbasis kinerja, tapi semata terkait erat dengan perilaku mbalelo. Situasi ini mengindikasikan bahwa ancaman reshuffle tidak berdiri di atas landasan objektif dalam melihat substansi dari perilaku politik mitra koalisi, di mana ‘keberbedaan’ tampak menjadi poin yang lebih utama ketimbang substansi yang melandasi keberbedaan itu.

Sebenarnya jika kepentingan rakyat banyak memang menjadi patokan dan “kode etik”dalam bermitra,Presiden atau Partai Demokrat seharusnya tidak perlu risau dengan mitranya yang justru menunjukkan komitmen kerakyatan yang lebih baik, setidaknya dari Kasus Bank Century dan kasus mafia pajak. Sementara secara objektif agak sulit juga untuk menerapkan “kode etik”yang dapat menyatukan langkah semua elemen koalisi baik di eksekutif ataupun legislatif—sebagaimana yang dikatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu lalu—dalam format presidensial yang kita anut saat ini.

Di satu sisi “kontrak politik” dalam eksekutif mengharuskan partai mitra koalisi “memahami dan menjalankan” butir-butir kesepakatan antara dirinya dan Presiden. Sedangkan di sisi lain “kontrak politik” di wilayah legislatif mengharuskan partai mendengar dengan seksama kehendak rakyat. Dalam situasi ini memang tidak mudah untuk memaksa mitra partai koalisi untuk selalu bersama dalam kasus-kasus tertentu karena agenda politik dan platform kebijakan yang dijanjikan langsung kepada rakyat berbeda-beda.

Dan dalam nuansa mempertanggung jawabkan dirinya di hadapan rakyat sebagai sebuah partai yang independen itulah seharusnya prilaku politik partai dalam Parlemen itu dipahami.Artinya Presiden tidak dapat merampas hak mitra koalisi untuk dapat sepenuhnya mengikuti kehendak dirinya, apalagi partainya. Kalau ini kemudian dikaitkan dengan komitmen bersama yang harus dibangun sebagai mitra, pertanyaannya lebih lanjut apakah memang patut ada “kode etik” yang harus dengan ketat menyatukan langkah mitra koalisi baik dalam Parlemen ataupun badan eksekutif.

Kalau memang ada, betapa menyedihkannya nasib rakyat ini,yang telah sejak dini telah dipasung kepentingannya di hampir semua cabang trias politica yang harusnya menjadi media penyalur aspirasi mereka. Bagaimanapun reshuffle mungkin merupakan sebuah penyegaran yang dibutuhkan agar kebijakan makin dipahami dan dirasakan rakyat. Dan ini sepenuhnya merupakan hak prerogatif Presiden.

Rakyat hanya dapat berharap bahwa hak itu dapat digunakan untuk hal-hal yang besar dan substansial yakni melindungi kepentingan mereka ketimbang sebagai kartu truf untuk memuaskan dendam politik yang tidak perlu, yang pada gilirannya hanya melanggengkan oligarki kekuasaan. Di sinilah objektivitas berbasis kinerja dan pemeliharaan kepercayaan rakyat seharusnya menjadi pegangan. ●

FIRMAN NOOR
Kandidat Ph.D pada
School of Social and Humanities,
University of Exeter, UK,
Peneliti pada P2P LIPI

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/385256/
Share this article :

0 komentar: