BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Memecah Jalan Buntu RUU Badan Jaminan Sosial

Memecah Jalan Buntu RUU Badan Jaminan Sosial

Written By gusdurian on Kamis, 17 Maret 2011 | 11.00

Dian Syakhroza Anggota Komisi IX DPR

"One of the first duties of a physician is to educate the masses not to take medicine." (Sir William Osler, 1848­1919) P ANDANGAN dari Bapak Kesehatan Modern ini membawa perubahan besar pada kebijakan pembangunan kesehatan di banyak negara. Osler menekankan bahwa pendekatan promotif dan preventif harus dijalankan lebih dahulu daripada pendekatan kuratif dan rehabilitatif. Model ini akan membuat biaya pembangunan kesehatan masyarakat bisa jauh lebih murah.

Di Indonesia pendekatan `mencegah lebih baik daripada mengobati' ini diadopsi dalam UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Penitikberatan pada upaya promotif dan preventif tecermin pada alokasi pendanaan yang mencapai dua pertiga dari anggaran kesehatan nasional.

Pelaksanaan kedua pendekatan ini antara lain dilakukan melalui pengoptimalan posyandu, imunisasi, peningkatan gizi masyarakat, dan penyadaran tentang sanitasi. Dalam jangka panjang pengeluaran biaya kesehatan dengan mo del ini, bila dibandingkan dengan angka produktivitas atau pendapatan nasional per kapita, akan lebih murah daripada model kuratif dan rehabilitatif.

Sedangkan tindakan kuratif (mengobati suatu penyakit) dan rehabilitatif (meniadakan/ meminimalisasi dampak suatu penyakit) akan menelan biaya lebih besar. Komponen yang tercakup dalam dua tindakan ini antara lain diagnosis, obatobatan dan alat kesehatan, perawatan dan operasi di rumah sakit.

Isu pembiayaan inilah yang menjadi salah satu poin krusial dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Untuk penjaminan kesehatan dengan layanan kelas tiga bagi seluruh warga negara tanpa kecuali diperlukan dana Rp17 triliun per tahun.
Adapun total penjaminan sosial mencapai Rp37 triliun per tahun.

Mahalnya pembiayaan program ini bisa ditekan bila upaya preventif dan promotif sudah berjalan dengan baik.
Namun, pelaksanaan kegiatan promotif dan preventif masih menghadapi sederet kendala. Jumlah sumber daya kesehatan masih terbatas dan umumnya terpusat di kota besar atau ibu kota kabupaten. Selain itu, mereka juga harus dibekali dengan kompetensi memadai untuk mendidik masyarakat hidup sehat.

Kendala lainnya yaitu jumlah puskesmas sebagai ujung tombak tindakan promotif dan preventif masih tidak seimbang dengan jumlah penduduk. Di daerah-daerah tertinggal, sepertiga dari puskesmas harus melayani 20 ribu warga per puskesmas. Radius tempat tinggal warganya pun tergolong luas yaitu 200 km2, sehingga menyulitkan warga untuk mendapatkan akses pelayanan kesehatan.
Antara harapan dan kenyataan Untuk menuju implementasi BPJS sepenuhnya, pemerintah perlu menyiapkan langkah strategis yang paralel dengan program pembangunan lainnya. Pertama, optimalisasi peran badan penyelenggara jaminan sosial yang termaktub pada UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Menurut Pasal 5, badan penyelenggara jaminan sosial adalah Askes, Jamsostek, Asabri, dan Taspen. Askes, misalnya, yang selama ini hanya melayani asuransi kesehatan bagi 4 juta pegawai pemerintah dan keluarganya, bisa didorong untuk memperluas pelayanan kepada pegawai nonpemerintah. Ada 70 juta pekerja informal yang belum tersentuh program asuransi kesehatan. Tantangan serupa juga dihadapi Jamsostek yang sampai tahun ini baru melayani 9 juta dari total 33 juta pekerja formal. Pekerja sektor informal juga belum tersentuh dengan produk jaminan keselamatan kerja, jaminan pemeliharaan kesehatan, dan jaminan hari tua dari Jamsostek.

Kedua, membangun sistem rujukan kesehatan. Dengan mengacu pengalaman di negara lain, kualitas layanan program jaminan kesehatan dan jaminan sosial lainnya bisa terjamin dengan pengaturan sistem layanan yang baik dan paripurna.

Misalnya, untuk mengatasi pengacuhan pasien Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) oleh rumah sakit, pemerintah harus melakukan pembangunan sistem pelayanan kesehatan yang baik mulai dari sistem rujukan kesehatan berjenjang, pengendalian harga dan ketersediaan obat, tenaga kesehatan, fasilitas rumah sakit, upaya preventif dan promotif kesehatan, serta yang tak ka lah pentingnya adalah database kependudukan. Karena itu, keberhasilan k program KTP nasional n menjadi prasyarat kunci bagi implementasi BPJS yang sukses.

Ketiga, kampanye hidup sehat sebagai budaya bangsa.
Budaya hidup sehat akan mengurangi kemungkinan untuk sakit. Secara agregat hal ini akan mengurangi beban biaya pelayanan kesehatan yang harus ditanggung oleh APBN.

Kampanye hidup sehat bisa dimulai dengan hal yang sederhana, seperti kampanye cuci tangan sebelum makan, tidak membuang sampah sembarangan, mempunyai kakus di rumah, dan tidak merokok.
Penyadaran seperti ini penting dilakukan pada masyarakat miskin yang selama ini sering terkena penyakit-penyakit tropis seperti diare, DB, dan disentri.

Keempat, meningkatkan taraf hidup rakyat. Terdapat relasi antara kemiskinan dan tingkat kesehatan. Program pengentasan masyarakat dari kemiskinan yang telah diluncurkan pemerintah, misalnya dalam bentuk Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan juga PKBL BUMN pada UKM, adalah program paralel yang saling mendukung dengan upaya membangun masyarakat yang sehat.

Kelima, pemenuhan kebutuhan dasar. Setelah sandang dan pangan, perumahan, air bersih, dan listrik adalah kebutuhan dasar bagi terwujudnya masyarakat yang sehat.
Program ini dapat diwujudkan dengan pembangunan rumah susun yang terjangkau bagi rakyat di perkotaan sehingga tidak tinggal di pinggir sungai, pembangunan sarana produksi air bersih, dan penyediaan listrik.

Akhirnya, kelima program tersebut harus segera dilakukan, sebelum implementasi BPJS, sebagai prakondisi masyarakat agar hidup dalam lingkungan yang jauh lebih sehat dan tertib. Masyarakat yang hidup sehat dan tertib akan membuat risiko terkena penyakit lebih rendah sehingga implementasi BPJS dapat dikelola secara lebih terukur.
Ujung-ujungnya penggunaan anggaran negara akan lebih optimal, dan negara mampu memberikan layanan yang lebih banyak dan lebih baik bagi masyarakat. Masyarakat yang hidup sehat dan tertib akan membuat risiko terkena penyakit lebih rendah sehingga implementasi BPJS dapat dikelola secara lebih terukur. Ujung-ujungnya penggunaan anggaran negara akan lebih optimal."

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/03/17/ArticleHtmls/17_03_2011_015_013.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: