Ahmad Syafiq Ahli Gizi dan Kesehatan Masyarakat UI
Apa pengaruh kurangnya aksesibilitas pangan terhadap asupan gizi?Konsumsi pangan adalah variabel langsung yang menentukan status gizi. Status gizi ditentukan dari konsumsi makanan dan penyakit. Dalam hal konsumsi makanan, ada yang namanya aksesibilitas, yang terdiri atas tiga komponen.
Pertama, availabilitas geografis. Maksudnya, apakah makanan tersedia atau tidak. Kedua, aksesibilitas ekonomis, dalam arti apakah harganya terjangkau tidak secara finansial. Barang atau makanannya ada, tetapi harganya mahal, tetap tidak aksesibel.
Ketiga, aksesibilitas kultural, apakah makanan tersebut akseptabel, diterima atau tidak oleh budaya, norma, dan budaya setempat. Semua menentukan status gizi dari masyarakatnya.
Bagaimana situasi aksesibilitas pangan di Indonesia saat ini?
Situasi di kita, ada makanan yang harus impor. Ini masalah aksesibilitas geografis.
Makanan ada pun, sekarang inflasi tinggi, sehingga harganya meroket. Meskipun barangnya ada, tapi tidak terjangkau oleh ekonomi masyarakat.
Secara sosiokultural, ramai-ramai susu tercemar bakteri. Masyarakat tidak mau mengonsumsinya. Lalu beras tersedia, tapi ada uletnya, atau hancur-hancur, itu juga masyarakat tidak mau.
Apakah kondisi tersebut merata secara nasional?
Ada perbedaan atau variasi di tiap provinsi, kabupaten, dan wilayah. Tapi, ada yang disebut keterjaminan pangan. Keterjaminan pangan atau food security itu termasuk lampu kuning atau bahkan lampu merah.
Misalnya, di Nusa Tenggara Timur (NTT) atau Nusa Tenggara Barat (NTB), food security-nya boleh dibilang rawan. Ini dilihat dari beberapa hal.
Pertama, kita sebut rawan karena di wilayah tersebut dari segi keterjaminan pangan itu rendah, salah satunya karena aksesibilitasnya rendah.
Kedua, keragaman makanannya kurang.
Misal, yang dimakan dalam sehari kurang dari lima jenis. Ketiga, dari segi kuantitas itu kurang, hanya mampu memenuhi, misalnya, 60 persen atau 70 persen dari asupan gizi yang diperlukan. Itu adalah ciri masyarakat yang keterjaminannya rendah.
Kemudian, masalah siklus paceklik musiman. Ada saat bahan pangan tidak ada, tidak beli karena tidak punya uang, dan tidak bisa tanam karena climate change (perubahan iklim).
Contoh rambutan, saat ini seharusnya sudah ada, tapi justru tidak ada.
Kalau sudah seperti itu apa yang biasanya dilakukan masyarakat?
Masyarakat melakukan pengurangan porsi makanan, dari segi jumlah dan frekuensi.
Beralih ke makanan yang lebih murah tapi lebih rendah gizinya. Sampai kemudian menjual properti atau pinjam uang ke tetangga untuk bisa membeli makan.
Bagaimana Anda melihat upaya pemerintah dalam mengatasi masalah ini?
Sebenarnya mungkin ada. Isu gizi dan pangan itu sering tersingkirkan dari panggung media atau wacana kebijakan publik. Biasanya hanya fokus pada pangan sumber karbohidrat dan energi. Yang penting harga beras murah, padahal bagaimana dengan sumber protein, sedangkan harga daging gila-gilaan. Nelayan yang kerjanya menangkap ikan tidak makan ikan, karena semua dijual.
Kita semua punya tanggung jawab, baik akademisi ataupun media, untuk menyampaikan kepada masyarakat, supaya memiliki kepedulian (awareness) yang tinggi. Sembako itu kebanyakan sumber energi saja, proteinnya hanya kedelai. Kalau fokus pada masyarakat kenyang atau tidak lapar, itu keliru.
Harusnya kita fokus pada apakah konsumsi masyarakat sudah memenuhi gizi seimbang atau belum. Caranya dengan menyediakan sumber protein hewani yang murah dan terjangkau.
Kalau tidak, maka beredar daging oplosan. Itu dampak dari satu ketidakmampuan, muncul ekses negatif. Dagingnya dioplos, dicampur daging murah, dicampur daging babi yang secara kultural tidak bisa diterima.
Peran pemerintah harus seperti apa?
Pemerintah perlu mengintervensi mekanisme pasar yang tidak berjalan normal. Misalnya, ketika harga pangan membubung tinggi, peran untuk menahan laju harga menjadi penting.
Ada pertanyaan, apa peran Bulog sekarang?
Apakah dia masih mampu mengendalikan pasar atau akan membiarkan semakin neoliberal, pasar bergerak sendiri secara alamiah? Menurut saya, perlu intervensi pemerintah, mulai dari hasil pertanian sampai pangan itu sampai ke masyarakat.
Kerja sama dengan pihak asosiasi, petani, dan peternak itu penting. Harus dicari formula yang tepat yang menyeimbangkan produsen dan konsumen sama-sama memperoleh manfaat.
Sebenarnya, untuk mendapatkan gizi yang baik, makanan seperti apa yang harus didapatkan?
Panduan sudah jelas, diperlukan gizi seimbang. Gizi seimbang itu pada intinya seseorang mengonsumsi zat gizi sesuai kebutuhannya.
Tantangan ahli gizi untuk menjelaskan gizi seimbang ini. Masyarakat itu tahunya empat sehat lima sempurna. Sekarang bagaimana menyosialisasikan pedoman gizi seimbang yang bisa dimengerti masyarakat.
Makanan itu memiliki beberapa fungsi, yaitu sebagai penyedia energi, pembangun dan untuk pertumbuhan, serta pengaturan atau regulasi (metobolisme) tubuh. Secara sederhana bisa dibagi menjadi sumber energi, protein, sumber vitamin, dan mineral.
Untuk energi yang utama karbohidrat dan lemak, untuk pertumbuhan dan pembangun itu protein nabati dan hewani. Lalu ada sumber zat pengatur, yaitu vitamin dan mineral. Tentu saja air yang cukup. Masyarakat kita kan sekarang asal kenyang saja dan murah. Nah, itu hanya karbohidrat. Kita lebih ke selera kantong dan perut, tidak berpikir gizi terpenuhi atau belum.
ed: asep nur zaman
http://republika.pressmart.
Akses Pangan Kita Membaik
Program jangka pendek kita adalah pemberian makanan tambahan atau pendamping (MP) ASI. Tapi, untuk jangka panjang, harus ada per baikan sosial ekonomi masyarakat supaya mereka bisa mengakses makanan dan bisa membelinya. Minarto Direktur Bina Gizi Masyarakat Kemenkes
Seperti apa pengaruh aksesibilitas pangan dengan kecukupan gizi di tengah masyarakat kita?Aksesibilitas pangan sangat berpengaruh dengan keadaan gizi. Keluarga bisa tidak mampu mengakses pangan, entah tidak punya uang atau tidak ada makanannya.
Yang namanya akses, ada dua variabel.
Pertama, ada tidaknya makanan di suatu daerah.
Kedua, bisa atau tidaknya keluarga mendapatkan makanan itu. Kalau daya beli menurun, akses akan terganggu.
Keluarga miskin itu lebih banyak kurang gizinya. Ada hubungan yang dekat antara keluarga miskin dan kurang gizi karena akses tadi.
Tapi, secara umum, data menunjukkan akses semakin baik dan diikuti keadaan gizi kita yang membaik.
Bagaimana penjelasannya bahwa aksesibilitas kita semakin membaik?
Dari tahun ke tahun, kita naik. Kita punya laporan Millienium Development Goals (MDGs).
Itu laporan resmi pemerintah. Itu menunjukkan adanya perbaikan di beberapa bidang, termasuk di ketahanan pangan, dikaitkan dengan kemiskinan yang secara prevelensi membaik.
Jadi, gizi secara umum ada perbaikan. Hanya masalahnya, data pada 2010, gizi buruk kita 4,9 persen. Itu sudah rendah, tapi itu kan dari 21 juta anak. Jadi, masih banyak anak yang ditemukan mengalami gizi buruk.
Apa saja yang memengaruhi kekurangan gizi di Indonesia saat ini?
Pertama, itu tadi, miskin dan tidak miskin karena berpengaruh dengan akses. Kedua, kalau lihat Riset Kesehatan Dasar 2010, pada anak orang kaya, kasus gizi kurang pun ada. Jadi, tidak hanya pada orang miskin.
Orang miskin kurang gizi itu jelas. Tapi, yang enggak miskin, tapi kurang gizi pun banyak. Hal itu bergantung pada perilaku pola asuh keluarga tentang pemberian makan terhadap anak.
Misalnya, pemberian air susu ibu (ASI), terus makanan bayi dan anak, kebiasaan menimbang di posyandu, itu perilaku dasar yang sangat berpengaruh pada kadar gizi anak. Apa upaya pemerintah untuk membenahi ini?
Sebenarnya, akses itu sangat dekat dengan kemiskinan. Akses masih akan menjadi masalah. Selama tidak ada upaya perbaikan di tingkat kemiskinan, tidak akan ada peningkatan.
Program jangka pendek kita adalah pemberian makanan tambahan atau pendamping (MP) ASI.
Tapi, untuk jangka panjang, harus ada perbaikan sosial ekonomi masyarakat supaya mereka bisa mengakses makanan dan bisa membelinya. Kita juga sudah memberikan subsidi. Untuk anak kurang gizi dari keluarga miskin, diberikan pemulihan dalam waktu hanya 90 hari. Tapi, memang perlu perbaikan sosial ekonomi baru akan ada hasilnya. Nanti ada Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM) dan Program Keluarga Harapan (PKH) yang memberikan bantuan pada keluarga yang ada bayi dan ibu hamil supaya mendapatkan akses pangannya.
Kalau tidak ada perbaikan (sosial ekonomi), akses akan terbatas. Akses itu bergantung pada kemampuan keluarga untuk membeli. Data makro kita (menunjukkan) cukup. Makanan itu ada, tapi masyarakat tidak bisa membeli.
Jika sudah tidak punya akses, biasanya apa yang dilakukan masyarakat untuk survive?
Yang sering terjadi adalah menurunkan kuantitas, lalu menurunkan kualitas (asupan gizi).
Misalnya, mula-mula makan tiga kali berkurang menjadi dua kali, lama-lama akan berkurang mutunya. Di beberapa koran, dulu diinformasikan ada keluarga yang makan apa (tiwul-Red)), itu indikasinya kurang akses terhadap pangan.
Ada tidak pemetaan terhadap daerah-daerah yang perlu perhatian soal akses terhadap pangan ini?
Kita punya petanya. Tapi, itu digabungkan antara peta gizi dan peta pangan. Kalau kita bagi tiga, yang capaiannya bagus ada delapan provinsi. Dia mencapai target yang kita tentukan.
Kemudian, ada lagi delapan provinsi di tengahtengah. Belum mencapai target, tapi targetnya baguslah. Lalu, ada 15 provinsi yang kita dorong untuk mengejar ketertinggalan akses terhadap pangan. Apa harapan Anda ke depan untuk menanggulangi masalah ini? Masalah gizi itu harus menjadi perhatian semua orang. Anda lihat ke MDGs nomor satu, itu kan tujuan utamanya mengurangi kelaparan dan kemiskinan, indikatornya status gizi. Status gizi itu jadi ukuran dia miskin dan dia lapar. Jadi, ini per hatian semua orang.
Kalau sudah gizi buruk, kita bisa obati.
Kalau pencegahan, harus semua.
ed: asep nur zaman
http://republika.pressmart.
0 komentar:
Posting Komentar