BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Indonesia Kekurangan Cendekiawan

Indonesia Kekurangan Cendekiawan

Written By gusdurian on Minggu, 06 Maret 2011 | 10.03

PEMANTAPAN dunia pendidikan harus kembali kepada konstitusi yang mengamanatkan pencerdasan kehidupan bangsa. Sebab, Indonesia tidak pernah kekurangan orangorang pintar, tetapi miskin intelektual atau cendekiawan.

Penilaian itu diungkapkan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD dalam orasi ilmiah berjudul Demokrasi dan Nomokrasi sebagai Pilar Penyangga Konstitusi di hadapan 693 wisudawan Universitas Nasional di Jakarta Convention Center (JCC), kemarin.
Menurutnya, masalah tersebut yang menyebabkan persoalan kebangsaan justru makin rumit akibat keberadaan orang-orang pintar, tetapi tak berintegritas.

"Kita tak kekurangan sarjana, tetapi masalah sesungguhnya adalah secara empirik kita kekurangan intelektual cendekiawan," ungkap Mahfud.

Permasalahan itu, sambung dia, diakibatkan lemahnya penegakan etika yang berlangsung dalam proses akademik itu sendiri. Juga diperparah oleh makin maraknya mentalitas penuntut gelar, bukan jiwa penuntut ilmu di kalangan masyarakat, terutama pejabat.

`'Ini terbukti pada beberapa pejabat yang ketika mulai masuk instansi hanya merupakan lulusan SMA, tetapi tiba-tiba punya ijazah doktoral hanya dalam tempo satu ta hun. Untuk lulus perguruan tinggi saja menipu orang, ia tidak akan ragu korupsi,'' cetus Mahfud sambil menyitir kasus plagiarisme tesis doktoral Menteri Pertahanan Jerman KarlTheodor Zu Guttenberg yang terungkap baru-baru ini. Tak cuma soal ijazah palsu yang merongrong dunia pendidikan. Indonesia, lanjutnya, yang merupakan salah satu negara dengan peringkat korupsi tertinggi sedunia, ternyata memiliki masalah kritis pada watak para sarjana. Ia memberikan bukti bahwa terpidana koruptor, 99%-nya adalah lulusan perguruan tinggi.

Untuk mengatasi problema tersebut, Mahfud menyarankan proses pendidikan dikembalikan kepada kodratnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai amanat utama konstitusi. `'Juga harus ada penegakan etika akademik yang dimulai di lingkungan pendidikan itu sendiri. Mencer daskan kehidupan beda dengan membuat orang pandai otak, tapi mencakup dua hal; otak dan watak.'' Mahfud mengimbau, penanaman iman dan takwa harus dikedepankan dalam rangka mendidik otak dan watak sekaligus. Ketika seseorang dinyatakan lulus, ia tidak hanya menjadi seorang sarjana, tetapi juga intelek dengan kecerdasan otak dan keluhuran watak.

Rektor Universitas Nasional El Amry Bermawi Putra menambahkan, dalam menghadapi persoalan bangsa, sivitas akademik harus mau memulai dan memelopori pengembangan budaya dan karakter di lingkungan kampus. (*/H-1)

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/03/04/ArticleHtmls/04_03_2011_016_004.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: