BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Metamorfosis Demokrasi

Metamorfosis Demokrasi

Written By gusdurian on Sabtu, 12 Februari 2011 | 11.42

Sepanjang sejarah ketatanegaraan, bangsa Indonesia pernah menerapkan tiga sistem demokrasi: Demokrasi Liberal (1950-1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1966), dan Demokrasi Pancasila (1966-1998).

Mari kita cermati praktik demokrasi dengan merujuk pada tiga sistem tersebut. Bagaimana pula pemerintah Orde Lama (Orla) dan Orde Baru (Orba) menerapkan demokrasi sebagai elemen pokok dalam menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Perlu ditekankan,pelaksanaan demokrasi antara 1945-1950 tidak menjadi pokok bahasan.Pada masa itu, para pemimpin bangsa lebih banyak memusatkan perhatian dan upaya pada perjuangan fisik dan diplomasi melawan Belanda untuk memperoleh pengakuan kedaulatan bagi negara Indonesia yang lelah diproklamasikan.

Demokrasi Liberal

Sebagai bangsa yang baru merdeka, bangsa Indonesia menerapkan sistem demokrasi liberal yang mengacu pada liberalisme politik model demokrasi Barat. Pada periode ini, Undang-Undang Dasar (UUD) yang diterapkan adalah UUDS 1950 (bukan UUD 1945).

UUD 1945 memberlakukan sistem presidensial (kabinet bertanggung jawab kepada presiden), sedang UUDS 1950 menerapkan sistem parlementer (kabinet bertanggung jawab kepada parlemen).Presiden, menurut UUDS 1950, lebih berstatus sebagai kepala negara, sementara pelaksana pemerintahan sehari-hari dipegang oleh perdana menteri. Rezim Orla dan Orba mempersalahkan demokrasi liberal sebagai sumber konflik politik yang mengakibatkan ketidakstabilan pemerintahan. Ketidakstabilan pemerintahan terlihat pada jatuh bangunnya kabinet dalam waktu singkat dan gagalnya Majelis Konstituante menyusun UUD baru sebagai realisasi hasil Pemilu 1955.

Orla dan Orba berpendapat,demokrasi liberal tidak cocok diterapkan di Indonesia. Itulah sebabnya, Soekarno menerapkan Demokrasi Terpimpin dan Orba memberlakukan Demokrasi Pancasila (dengan menolak tidak saja Demokrasi Liberal, tetapi juga Demokrasi Terpimpin). Sementara demokrasi liberal dikecam sebagai sumber antagonisme politik, Herbert Feith melihat segi-segi positif pelaksanaan sistem Demokrasi Liberal di Indonesia. Feith mengatakan, pelaksanaan demokrasi konstitusional pada masa empat kabinet pertama cukup efektif.Dalam melaksanakan tugasnya, kabinet tersebut bertangung jawab kepada parlemen,walaupun ia bukan badan yang dibentuk berdasarkan pemilihan umum.

Pers sangat bebas.Pengadilan menjalankan tugasnya secara mandiri dan bebas dari campur tangan pemerintah. Tuntutan loyalitas nasional jarang digunakan untuk membungkam para pengkritik terhadap kinerja kabinet.Dan urusan administrasi yang tidak bersifat politis berjalan saling terkait,paling tidak beberapa bagian penting dari tugas yang dilaksanakan oleh aparat pemerintah.

Demokrasi Terpimpin

Demokrasi Terpimpin dilaksanakan Presiden Soekarno sebagai antitesis terhadap demokrasi liberal yang menimbulkan malapetaka politik.Menurut Soekarno,Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi kekeluargaan yang dilaksanakan tanpa anarki liberalisme dan tanpa kediktatoran otokrasi. Soekarno berteori, demokrasi kekeluargaan adalah demokrasi yang mendasarkan sistem pemerintahannya pada prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat yang dipimpin oleh satu kekuasaan sentral di tangan seseorang yang lebih tua yang dihormati, yang bisa membimbing dan mengayomi rakyat. Terdapat jurang pemisah antara teori dan praktik dalam pelaksanaan Demokrasi Terpimpin.

Dalam praktiknya, unsur komando kepemimpinan (kekuasaan) jauh lebih dominan daripada porsi demokrasinya. Hanya ada satu kali pemilu (1955) yang dinilai fair di bawah kepemimpinan Soekarno.Para politisi (bekas) Partai Masyumi (yang dibubarkan karena dinyatakan terlibat dalam pemberontakan Permesta) seperti Mohamad Natsir, Mohamad Roem,dan Burhanuddin Harahap dijebloskan ke dalam penjara tanpa proses pengadilan. Mereka baru dibebaskan pada masa awal Orba. Dengan sistem Demokrasi Terpimpin dan proyek Nasakom-nya, Soekarno telah menempatkan diri sebagai pemegang kekuasaan yang hampir tak terbatas.

Sutan Takdir Alisyahbana dalam bukunya Indonesia: Social and Cultural Revolution(terjemahan BR Anderson) menggambarkan, posisi Soekarno sebagai presiden dan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia (yang memegang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif) sedikit berbeda dari posisi raja-raja absolut pada masa lalu, yang mengklaim sebagai inkarnasi Tuhan atau wakil Tuhan di dunia. Mohammad Hatta (pernah menjabat wakil presiden) dalam bukunya Menuju Negara Hukum mengecam, Demokrasi Terpimpin bertentangan dengan jiwa Pancasila yang diciptakan Soekarno sendiri.

Hatta bahkan menyatakan, Soekarno telah mengubur Pancasila yang digalinya sendiri. Sebagai kritik terhadap Demokrasi Terpimpin,Hatta menulis buku Demokrasi Kita yang membela nilai-nilai hakiki demokrasi yang tidak bisa ditindas. Boleh jadi dapat ditindas untuk sementara waktu di bawah rezim Demokrasi Terpimpin, tetapi nilai-nilai itu akan tetap bertahan hidup. Di bawah rezim Demokrasi Terpimpin, Harian Abadi dan majalah Pandji Masyarakat pimpinan Hamka diberangus.Pada akhirnya, sistem Demokrasi Terpimpin runtuh bersamaan dengan tumbangnya Orla (1966).

Agar fair, perlu pula dikemukakan kekuatan Soekarno yang utama dan pertama yaitu sebagai pencipta Pancasila.Pancasila merupakan kontribusi Soekarno yang paling besar dan signifikan yang dapat mempersatukan seluruh bangsa Indonesia walaupun berbedabeda dalam kesukubangsaan, tradisi, bahasa daerah, budaya, dan agama.Pancasila mampu mempertahankan bangsa Indonesia untuk selalu eksis di atas prinsip kesatuan dalam keragaman atau keragaman dalam kesatuan.Di atas bangunan pilar-pilar Pancasila yang kukuh inilah, kohesi sosial dan integrasi nasional menjadi semakin kuat.

Demokrasi Pancasila

Menolak Demokrasi Terpimpin, Orba pada 1966 menerapkan sistem Demokrasi Pancasila. Presiden Soeharto dalam bukunya Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya mengemukakan, Demokrasi Pancasila tidak ditentukan oleh paksaan kekuatan,melainkan lewat proses musyawarah-mufakat yang bersumber dari prinsip hikmat kebijaksanaan. Demokrasi Pancasila menolak kediktatoran, baik kediktatoran perorangan, golongan,kelas,maupun militer.

Ada jurang pemisah antara teori dan praktik dalam pelaksanaan Demokrasi Pancasila. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam tulisannya di Kompas Pancasila dan Liberalismemengatakan, perlu dipertegas dan diperjelas aspek-aspek apa yang terkandung dalam demokrasi liberal yang harus ditolak dan seharusnya diterima oleh Pancasila. Gus Dur melihat, banyak pendapat rakyat yang berbeda dengan pendapat pemerintah sering dianggap menentang kebijakan pemerintah. Dengan gaya bahasa retoris,Gus Dur mempertanyakan, bukankah sikap Orba seperti itu justru “membunuh” impuls-impuls demokrasi yang muncul dari Pancasila itu sendiri? Di bawah Demokrasi Pancasila ala Orba, posisi DPR saat itu loyo dan tidak berdaya, sementara posisi presiden terlalu kuat dan melampaui batas yang ditentukan UUD 1945.

Contoh sederhananya, DPR saat itu menolak usul pemerintah tentang kenaikan tarif listrik, tetapi pemerintah tetap menaikkannya. Posisi DPR/MPR tersubordinasi di bawah kekuasaan eksekutif.Fenomena terpuruknya posisi DPR-MPR dapat dilihat misalnya pencalonan para anggota kedua lembaga negara itu harus melalui screeningsecara ketat yang kriteria dan kualifikasinya ditetapkan sendiri oleh rezim. Pertanyaan yang wajar adalah: siapa yang sesungguhnya diwakili oleh para wakil rakyat itu? Pemerintah atau rakyat? Screening itu dipakai oleh rezim Orba sebagai alat pukul yang mematikan untuk memblokade calon-calon wakil rakyat yang sama sekali tidak mempunyai potongan yes-men terhadap selera kemauan rezim.

Demokrasi Pancasila di tangan rezim Orba tak ada bedanya dengan Demokrasi Terpimpin. Mungkin lebih vulgar. Benar, sudah ada pemilu dalam lima tahunan, tapi banyak rekayasa dan kecurangan politik untuk tetap melanggengkan kekuasaan rezim. Partai politik seperti PPP dan PDI saat itu ba-gaikan kosmetika demokrasi,sekadar ada,tapi tetap dibonsai.Rezim bertindak sebagai regulator dan sekaligus aktor atau eksekutor dalam pemilu sehingga pemilu berlangsung kotor dan tidak ‘jurdil’, hanya menguntungkan the ruling party. Saat itu belum ada KPU dan KPUD seperti sekarang ini.Oposisi dan partai oposisi tidak dibenarkan.

Para pegawai dan karyawan secara beramai-ramai sehabis apel bendera sudah diskenariokan membacakan pernyataan politik untuk tetap mendukung presiden yang sudah berpengalaman dalam pemilu mendatang.Presiden yang berpengalaman hanya satu orang, tentunya calonnya ya itu-itu juga. Mana mungkin ada dua presiden atau lebih (yang berpengalaman) dalam satu negara? Demokrasi Pancasila di tangan besi Orba juga mencatat pemberangusan beberapa surat kabar dan majalah di negeri ini seperti Abadi, Kompas, Sinar Harapan, dan Tempo. Tiga media cetak yang disebut terakhir akhirnya dapat terbit kembali. Tokoh-tokoh vokal seperti Mahbub Djunaidi dan AM Fatwa dibui karena menyuarakan pandangan yang berbeda dengan penguasa Orba.

Walaupun tidak lagi memakai label Pancasila, demokrasi pasca- Orba sudah mengalami metamorfosis ke arah yang lebih baik.Walaupun belum maksimal,demokrasi di Era Reformasi mengalami kemajuan. Kekuasaan presiden dibatasi hanya dua periode. Media cetak bebas, tak ada yang diberangus. Partai tidak didikte.Yang menyuarakan pendapat berbeda dengan pemerintah tidak ditangkap atau ditahan.Partai yang memosisikan sebagai partai oposisi dibiarkan. Sudah ada KPU dan KPUD yang netral dalam pelaksanaan pemilu dan pemilukada.

Demokrasi memang memerlukan proses pembelajaran yang panjang. Kita berharap, ke depan demokrasi di negeri ini makin matang dan mantap disertai pemerintahan yang bersih dan baik.(*)

Prof Dr Faisal Ismail MA
Guru Besar UIN Yogya dan Mantan Duta Besar

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/381383/
Share this article :

0 komentar: