BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » PK Bukan Hak Jaksa

PK Bukan Hak Jaksa

Written By gusdurian on Sabtu, 12 Februari 2011 | 11.43

Secara umum konstitusi atau undang-undang dasar suatu negara dibuat secara tertulis untuk menjamin dan melindungi hak individu atau lebih populer sebagai hak asasi manusia dari kesewenang- wenangan negara c.q. pemerintah yang diberi kekuasaan begitu besar untuk menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara.


Selain itu, konstitusi juga biasanya mengatur kekuasaan negara agar dilakukan secara wajar dan tidak berlebihan (detournement de pouvoir) atau digunakan secara salah (abus de pouvoir). Untuk itu, agar kekuasaan negara tidak berlebihan atau disalahgunakan, kekuasaan negara dibagi tiga: kekuasaan legislatif,kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif, yang dikenal sebagai Trias Politika, di mana kekuasaan tadi saling mengawasi satu terhadap yang lain (checks and balances). Pengaturan kekuasaan seperti ini pun diatur dalam UUD 1945 walaupun tidak persis seperti Trias Politika yang diperkenalkan oleh Montesquieu beberapa abad yang lalu (1689-1755).

Atas ide persamaan negara dan individu itulah maka Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAPidana) yang diundangkan pada 1981 dianggap sebagai master piece karena menjamin hak individu atau hak asasi manusia individu. Seorang tersangka/ terdakwa/terpidana dianggap sebagai subjek hukum dan bukan objek hukum sebagaimana dianut Het Herziene Indonesisch Reglemen (HIR). Hak-hak tersangka/ terdakwa/terpidana dihormati sehingga dalam proses penyelidikan, penyidikan, dakwaan, tuntutan, peradilan, dan pelaksanaan putusan (hukuman) pengadilan diatur secara cermat dan rinci. Hak asasi manusia individu dijamin dari abuse of power oleh negara c.q. pemerintah.

KUHAPidana sebagai hukum acara pidana Indonesia menjamin hak individu dari kesewenangwenangan negara antara lain melalui Pasal 263 tentang Peninjauan Kembali (PK) sebagai hak individu dan ahli warisnya.Pasal 263 ayat (1) KUHAPidana mengatur PK sebagai berikut: “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”. Sedangkan alasan-alasan untuk dapat mengajukan PK ada tiga hal dan diatur dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAPidana: Pertama,apabila ada “keadaan baru” atau novum.

Kedua, apabila dalam pelbagai putusan terdapat saling pertentangan. Ketiga, apabila terdapat kekhilafan yang nyata dalam putusan. Kesetaraan dan perlindungan individu terhadap kesewenangwenangan negara dikenal secara universal dalam konstitusi suatu negara. Hal ini dapat dilihat dari buku The Supreme Court and The Constitution: Readings in American Constitutional History (edisi ketiga), yang diedit oleh Stanley L Kutler.Dalam buku itu dinyatakan: “…written constitution were deemed essential to protect the rights and liberties of the people against the encroachments of power delegated to their governments,… They were limitation upon all the power of government, legislative as well as executive and judicial.” Jadi kekuasaan negara: legislatif, eksekutif, dan yudikatif dibatasi konstitusi agar tidak diselenggarakan secara salah dan sewenang-wenang.

KUHAPidana sebagai produk legislasi Republik Indonesia membatasi kekuasaan negara terhadap individu atau hak asasi manusia individu. Dengan paradigma seperti itulah, KUHAPidana harus dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten. Penyimpangan dan pengecualian asas penerapan KUHAPidana merupakan abuse of power atau excessive power.

Persamaan di Hadapan Hukum

Sebagai negara hukum (rechsstaat), Republik Indonesia menjamin dan melindungi hak asasi manusia tersangka/terdakwa/terpidana dari kepastian hukum, perlakuan yang sama di hadapan hukum, perlindungan hukum, pengakuan sebagai pribadi (subyek hukum) di hadapan hukum, dan perlakuan diskriminatif.

Semua itu dijamin dalam Pasal 28 D ayat (1) (tentang kepastian hukum dan perlakuan yang sama di hadapan hukum), Pasal 28 G ayat (1) (tentang hak atas perlindungan serta atas rasa aman dari ancaman untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu), Pasal 28 I ayat (1) (tentang hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum),(2) (tentang perlindungan dari perlakuan diskriminatif), (4) (tentang perlindungan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah) dan ayat (5) (tentang pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan pemerintah) Bab XA UUD 1945.

Merujuk pada Pasal 263 ayat (1) KUHPidana, alasan PK hanya diberikan kepada terdakwa/terpidana atau ahli warisnya adalah berasal dari paradigma individu perlu dilindungi dari kekuasaan negara yang begitu dominan dan mengancam terdakwa/terpidana sebagai individu.Kedudukan negara vs individu menjadi timpang apabila negara c.q. pemerintah yang dilengkapi dengan fasilitas lembaga penyidikan (polisi), lembaga penuntutan (jaksa),lembaga peradilan (hakim),dan pelaksana putusan pengadilan (lembaga pemasyarakatan) dihadapkan dengan tersangka/ terdakwa/terpidana yang tidak dilengkapi dengan perangkat yang sama dengan negara.

Maka, terdakwa/terpidana perlu mendapatkan perlindungan dari kekuasaan negara berupa kepastian hukum dan persamaan di hadapan hukum. Karena itu, PK hanya diberikan kepada terdakwa/ terpidana atau ahli warisnya dan bukan kepada jaksa.

Hak Peninjauan Kembali

Atas dasar teori kekuasaan negara yang superior itulah kenapa PK diberikan hanya kepada terdakwa/ terpidana atau ahli warisnya, dan tidak kepada jaksa atas nama negara. Pemberian hak PK kepada jaksa dalam perkara Muchtar Pakpahan,Syahril Sabirin,Djoko Tjandra, dan terakhir terbetik berita Kejaksaan Agung RI sedang mempertimbangkan PK dalam perkara sisminbakum khususnya dalam perkara Prof Romli Atmasasmita, yang dibebaskan atas dasar ontslag van alle rechtsvervolging (tuntutan tidak diterima).

Pemberian PK dalam perkaraperkara di atas merupakan kesalahan fundamental Mahkamah Agung RI karena PK bukanlah hak jaksa tetapi hak terdakwa/terpidana dan ahli warisnya sebagai perlindungan atas hak asasi manusia terdakwa/terpidana, kepastian hukum,dan persamaan di hadapan hukum.Lebih lanjut,PK bukan hanya hak hukum terdakwa/terpidana semata, tetapi juga merupakan hak konstitusional terdakwa/terpidana. Prof Romli Atmasasmita selayaknya mendapatkan rehabilitasi atas nama baik dan reputasinya sebagai dosen, ahli hukum, dan tokoh hukum pidana yang tercoreng dalam perkara sisminbakum.Cara mengenai bagaimana rehabilitasi inilah yang belum diatur secara rinci oleh KUHAPidana dan bagaimana negara merehabilitasi nama baik Prof Romli Atmasasmita.

Apalagi dia pernah ditahan selama ±5 bulan tanpa alasan sah menurut KUHAPidana, yaitu untuk mengulang perbuatan waktu itu tidak masuk akal dan apalagi melarikan diri.Hal ini dikarenakan selain dia tidak menjabat lagi sebagai Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum di Departemen Hukum dan HAM, juga beliau merupakan dosen dari Universitas Padjajaran dan mempunyai tanggung jawab mengajar. Mahkamah Agung RI khususnya majelis yang memberikan hak PK kepada jaksa telah melakukan kesalahan mendasar yang melanggar konstitusi dan mengabaikan hak asasi manusia terdakwa/terpidana, yang akan menjadi preseden buruk dalam sejarah peradilan pidana kita.Begitu pula “due process of law” sebagai inspirasi pembentukan KUHAPidana telah dilanggar.

Justru KUHAPidana mengharuskan adanya penghormatan “due process of law”. Pemberian hak PK kepada jaksa telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan hilangnya makna perlindungan hak individu dan hak asasi manusia yang menjadi paradigma pembentukan KUHAPidana.

Kepastian Hukum

Diberikannya terdakwa/terpidana atau ahli warisnya hak mengajukan PK bukan hanya sebagai perlindungan hak asasi manusia, tetapi juga demi kepastian hukum. Jika jaksa diperbolehkan mengajukan PK,sama saja perkara yang sama diperiksa dua kali (nebis in idem) karena terdakwa yang sudah bebas baik karena bebas murni (vrijspraak) maupun tuntutan tidak diterima (ontslag van alle rechtsvervolging) diminta jaksa untuk diperiksa kembali. Ini sama saja dengan mengadili kembali perkara pidana yang sudah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Dalam perkara sisminbakum yang menyangkut Prof Romli Atmasasmita, dia dibebaskan karena tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi.Kalau sampai jaksa mengajukan PK itu sama saja jaksa meminta tuntutan diulang dan diperiksa kembali oleh pengadilan. Lalu di mana letak perlindungan hak asasi manusia individu.

Ini akan menjadi preseden buruk dan terjadi pengabaian hak asasi manusia, hak konstitusional, dan ketidakpastian hukum bagi terdakwa/terpidana yang sudah diputus final tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Apabila Kejaksaan Agung Republik Indonesia mengajukan PK dan Mahkamah Agung RI menerima PK tersebut, dengan kata lain kedua institusi tersebut telah mengabaikan hak asasi manusia dan hak konstitusional Prof Romli Atmasasmita. PK adalah hak asasi manusia dan hak konstitusional seorang terdakwa/ terpidana dan bukan hak jaksa.Hakim tidak boleh membiarkan perkara pidana yang sudah berkekuatan hukum tetap dikenakan PK oleh jaksa.

Pemeriksaan PK dalam perkara pidana yang sudah berkekuatan hukum tetap berakibat peradilan mengabaikan hak asasi manusia dan pengabaian asas due process of law yang menjadi jiwa KUHAPidana. Semoga ini tidak terjadi karena jika terjadi akan menimbulkan lembaran hitam dalam sejarah peradilan pidana di Indonesia.(*)

Dr Frans H Winarta
Ketua Umum Persatuan Advokat Indonesia (Peradin)

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/381387/
Share this article :

0 komentar: