BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Demokrasi Minus Regulasi

Demokrasi Minus Regulasi

Written By gusdurian on Sabtu, 12 Februari 2011 | 11.35

DEMOKRASI bukanlah kehidupan tanpa regulasi.Aturan main justru adalah keniscayaan untuk berjalan sehatnya kehidupan yang demokratis.


Demokrasi adalah kehidupan dengan aturan main yang tepat. Demokrasi dengan regulasi yang terlalu longgar akan cenderung menghadirkan tindakan masyarakat yang anarkistis. Sebaliknya, regulasi yang terlalu banyak mengekang akan mematikan demokrasi dan melahirkan pemerintahan yang otoriter. Maka negara yang demokratis membutuhkan adonan yang pas antara: kebebasan dan peraturan.Masyarakat yang terlalu bebas tanpa aturan akan cenderung anarkistis. Sebaliknya,pemerintahan yang terlalu ketat dengan aturan tanpa kebebasan akan mematikan kehidupan yang demokratis.Maka pemerintah harus toleran dengan kebebasan, sedangkan masyarakat harus memberi ruang bagi peraturan.

Kita pernah mengalami kehidupan berbangsa dengan aturan yang terlalu mengekang,dan agaknya sedang mengarah kepada kebebasan yang mulai tanpa batas. Kedua-duanya bukanlah kehidupan yang demokratis, dan masingmasing menyimpan problematikanya sendiri.Pada kesempatan kali ini mari kita lihat tiga contoh pelaksanaan kebebasan berorganisasi dan menyatakan pendapat,kebebasan beragama,dan kebebasan pers. Dahulu, pengekangan dalam kebebasan berorganisasi sangat terasa. Asas berorganisasi tidak boleh ada yang lain, kecuali Pancasila. Perbedaan pendapat dikekang dan dilarang. Sedikit saja ada organisasi yang kritis dan menentang pemerintah, Undang-Undang (UU) Subversi dan tuduhan makar diterapkan.

Tidak heran penjara diisi dengan tahanan dan narapidana politik (tapol dan napol). Karena,berbeda pendapat,utamanya dengan penguasa, sama dengan tindak pidana. Saat ini organisasi bebas hadir. Perbedaan pendapat lahir dengan merdeka. Diskusi tidak jarang menjadi debat kusir yang memenuhi pemberitaan media cetak dan elektronik.Tapol dan napol dibebaskan, utamanya sejak zaman Presiden Habibie. UU Subversi telah dicabut. Pendapat bisa dilontarkan siapa saja, bahkan yang berbau makar, menentang, hingga menyerukan penggulingan pemerintah sekalipun. Demonstrasi ada di mana-mana meskipun lebih banyak demo bayaran dan demo tandingan, bukan lagi demo perjuangan. Demonstrasi massal bahkan berujung pada kekerasan dan kematian.Lambang negara bisa diperlakukan apa saja.

Mulai dari fotonya yang dicoreng-moreng, dibakar, bahkan disimbolkan sebagai kerbau. Kebebasan berpendapat dan berorganisasi itu pun akhirnya berimbas pada kebebasan beragama. Dulu kehidupan beragama sangat dibatasi oleh negara.Agama Konghucu tidak dapat hidup bebas.Kebudayaan Tionghoa dikembangkan secara sembunyi-sembunyi. Adalah Presiden Abdurrahman Wahid sebagai Bapak Kebhinnekaan yang membuka keran kebebasan. Saat ini negara memberi ruang kebebasan beragama yang luas. Batasan justru datang dari dalam masyarakat sendiri.Atas nama kebebasan berpendapat dan berorganisasi, kekerasan berkembang dan mencederai keberagaman kita dalam beragama. Perbedaan pendapat dan pemahaman dalam beragama sudah ada sejak zaman “kuda makan besi”. Namun, perbedaan demikian seharusnya tidak menjadi dasar pembenar bagi kekerasan apalagi pembunuhan.

Di negeri yang ber-Bhinneka Tunggal Ika, ber-Pancasila, keberagaman dalam beragama harus disikapi dengan toleransi yang tinggi, bukan dengan pengerahan massa,apalagi pembunuhan yang keji. Maka kepada siapa pun yang menggunakan kekerasan, hukum harus ditegakkan. Pelanggaran hukum tidak dapat ditoleransi meski berlindung di balik pembelaan agama sekalipun. Demikian pula halnya dalam kebebasan pers. Dahulu, pers dikekang dengan berbagai aturan. Termasuk dengan sistem perizinan yang ketat. Surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) adalah alat kontrol pemerintah yang kuat, Departemen Penerangan yang ketat menyensor pemberitaan.

Sejak era reformasi, dimulai dengan pelonggaran perizinan oleh Menteri Penerangan Yunus Yosfiah,di masa Presiden Habibie, kebebasan pers berkembang amat pesat. Sekarang, kebebasan pers kita sewajibnya diakui lebih baik dibandingkan di era otoritarian dahulu. Bukan berarti tidak ada masalah. Bukan sedikit ancaman dihadapi oleh wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya. Beberapa bahkan merenggang nyawa karena mengungkap kejahatan, utamanya kasus korupsi.Namun, kehidupan pers juga mulai menghadirkan tantangan. Pengaturan agar bisnis pers tidak dikuasai oleh sekelompok pengusaha atau politisi, dan hanya dimanfaatkan untuk kepentingan politiknya,adalah salah satu contoh tantangan tersebut.

Bukan berarti media tidak boleh berpolitik. Setiap kita pasti berpolitik,dengan kadar yang berbeda. Namun, politik-media dan media-politik seharusnya dilaksanakan dengan fair, dan tidak melanggar hukum.Menjadi tidak fair jika kebebasan pers kemudian dimanfaatkan oleh sekelompok orang untuk melindungi kepentingan bisnis dan politiknya saja, terlebih jika kepentingan bisnis dan politik tersebut sebenarnya berpotensi koruptif. Pergeseran dari ketatnya aturan kepada longgarnya regulasi; serta pergeseran dari minimnya kebebasan menjadi kebebasan yang kebablasan; adalah tantangan demokrasi kita saat ini.

Kita tentu tidak ingin demokrasi kita terlalu sarat regulasi sehingga kembali terjerumus ke jurang kehidupan yang otoriter.Namun,kita tidak boleh juga mengarahkan perahu kebangsaan ini kepada demokrasi yang minus regulasi sehingga kita menjadi masyarakat yang tanpa aturan, menjadi negara yang bebas-bablas. Pada titik mencari adonan yang tepat inilah arti pentingnya membuat regulasi yang pas, dan mempunyai penegakan hukum yang efektif. Pengantar Ilmu Hukum, ilmu yang dipelajari setiap sarjana hukum mengajarkan tujuan utama hukum adalah menciptakan law and order di dalam kehidupan bermasyarakat. Regulasi kita saat ini sudah relatif lebih baik dan demokratis.

Tentu masih banyak yang perlu dibenahi karena tidak mungkin ada aturan yang sempurna tanpa cacat.Karena itu,upaya perbaikan terus dilakukan sehingga apresiasi layak diberikan. Kalaupun ada regulasi yang antidemokrasi, mekanisme pengujian ke Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung telah disediakan. Yang lebih problematik adalah penegakan hukum kita. Selama praktik mafia hukum masih merajalela, penegakan hukum yang efektif tidak akan pernah hadir, dan keadilan akan selalu menjadi ajang jual beli. Keadilan yang harusnya hadir bagi yang benar menjadi mahal dan transaksional, bergantung siapa yang kuat membayar. Jadi demokrasi harus hadir dengan regulasi.Tidak boleh dibiarkan demokrasi minus regulasi.

Regulasinya adalah aturan yang pas. Yang menghormati hak asasi dan tidak menolerir penegakan hukum yang transaksional.Indonesia yang lebih baik mensyaratkan demokrasi dengan regulasi yang pas dan efektif diterapkan, tanpa praktik mafia di dalamnya.Tetap doa and do the best.Keep on fighting for the better Indonesia.(*)

DENNY INDRAYANA
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, HAM & Pemberantasan KKN

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/381412/
Share this article :

0 komentar: