Demikian ditulis majalah Tempo edisi 7–13 Februari 2011. Agaknya suasana yang semakin membingungkan dewasa ini telah membuat gerah kalangan lingkar dalam Istana. Seorang pejabat tinggi di lingkungan satu, mantan aktivis dan Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (UI) pun merasa perlu buka mulut, meluruskan apa yang mereka—orangorang di sekeliling Presiden—telah bengkok atau bahkan telah dibengkokkan. Penjelasan dari ”ring satu”, istilah yang selalu digunakan untuk kelompok yang dekat dengan kekuasaan, memang perlu dicermati. Karena bukan mustahil kata-kata tersebut adalah ungkapan hati Presiden sendiri. Pada masa Orde Baru,kalangan Istana memang sangat irit berbicara.
Bahkan selalu berusaha menghindar dalam memberikan penjelasan yang terlalu panjang lebar.Berusaha berbicara sekadarnya dan kalau perlu dengan nada tergagap-gagap agar pendengar atau yang berusaha mengorek keterangan menjadi bosan untuk meneruskan pertanyaan.Hal biasa yang sangat dimengerti para pemburu berita.Para pejabat ini tahu bahwa setiap kata yang mereka ucapkan bisa dianggap mewakili suatu kebijakan ataupun putusan yang masih dalam pertimbangan. Karenanya, ungkapan diam itu emas menjadi pegangan mereka. Mereka yang berada di lingkar dalam Istana merupakan para pejabat terpilih,tidak boleh diragukan intelektualitas dan integritasnya. Kalau tidak memenuhi persyaratan ini, sebaiknya jangan bercita-cita menjadi kalangan dekat Presiden.
Karena itu,pada masa pemerintahan Soeharto,pemilihan para pejabat di lingkungan Sekretariat Negara dan Sekretariat Kabinet dilakukan sangat teliti dan hati-hati. Ibarat organ tubuh, Setneg dan Setkab adalah kedua tangan Presiden. Bisa menunjuk ke sana-kemari,mengambil dan meletakkan yang diinginkan. Di sisi lain juga mampu merangkul sahabat setia yang loyalitasnya tak diragukan. Pemilihan selektif atas para pejabat lingkar dalam Istana memang perlu dilakukan. Ini karena sosok mereka yang berada di lingkaran satu itu juga merupakan perwujudan dari negara dan pimpinannya sendiri. Ketelitian dan kehati-hatian diperlukan untuk mencegah kebocoran karena mata dan telinga Presiden terletak di sana.
Kalau mata kurang awas dan telinga tersumbat kepentingan s e n d i r i , sudah bisa dipastikan informasi yang sampai kepada Presiden tidak akan efektif. Hal ini tentu berlaku juga bagi seluruh jajaran lingkar dalam yang pada masa Orde Baru memang sangat dibatasi jumlahnya.Ketertiban administrasi yang merupakan ciri utama pemerintahan almarhum Soeharto memang patut mendapat acungan jempol ke atas. Pejabat di lingkungan ”ring satu” Istana memang memiliki kekhususan. Bukan saja karena mereka bertugas menjadi pembantu terdekat Presiden, tetapi juga karena hampir seluruh atau bahkan semua rahasia negara berada di lingkungan Sekretariat Negara.
Sebagai kepala pemerintahan, seorang Presiden dibantu oleh Sekretaris Kabinet yang bertugas memonitor dan melakukan koordinasi para anggota kabinet.Sedangkan Sekretaris Negara melayani Presiden sebagai kepala negara, terutama dalam hubungan dengan negara-negara sahabat di seluruh dunia. Itulah alasannya kenapa jajaran pejabat dalam lingkungan Sekretariat Negara dan Sekretariat Kabinet perlu diisi oleh mereka yang berwawasan luas. Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), jumlah pejabat ”ring satu” ini cukup besar sejak periode pertama. Pada periode kedua,mulai Oktober 2009, jumlah tersebut bukan berkurang, justru bertambah.
Berbagai institusi dalam lingkaran Presiden ditambah dan banyak pejabat yang diangkat. Kalau sudah demikian kenyataannya, kapan perampingan akan dilakukan? Bila lingkaran dalam Istana sendiri tidak mau dan mampu melakukan reformasi birokrasi,apa mungkin dapat menjadi contoh dan panutan bagi instansi pemerintah yang lain? Agaknya suatu reformasi birokrasi perlu dilakukan untuk langkah awalnya menyangkut institusi dan personalia ”Lingkar Satu Istana”terlebih dulu.(*)
PROF PRIJONO TJIPTOHERIJANTO
Mantan Asisten Menteri Sekretaris Negara (1998-2000)
http://www.seputar-indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar