Gayus adalah nama generik Romawi dengan empat tokoh besar. Gaius
Sempronius Gracchus adalah politikus penganjur pembagian pemilikan
tanah yang terbunuh oleh Lucius Opimius. Gaius Papirius Carbo adalah
negarawan dan orator yang dimakzulkan Marcus Licinius Crassus. Kedua
Gayus tersebut hidup pada abad kedua sebelum Masehi.
Kaisar Caligula juga bernama kecil Gaius. Saking bencinya kepada DPR
atau Senat Roma, ia mengangkat kudanya untuk melecehkan senator
Romawi. Sebagian sejarah ini ditulis Gaius (130-180) yang pakar hukum.
Di Indonesia, penulis Gayus Siagian adalah sastrawan terkenal.
Politikus PDI-P yang terkemuka tentulah Gayus Lumbuun. Namun, kedua
Gayus itu kini kalah pamor dari Gayus ”Kaisar” Tambunan, yang seorang
diri dari penjara bisa menaklukkan Republik Indonesia, Presiden, DPR,
kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan negeri.
Barangkali arwah dari empat Gayus Romawi bereinkarnasi di tubuh Gayus
Tambunan sehingga aparat Negara Kesatuan Republik Indonesia kalang
kabut, sempoyongan, dan dilecehkan.
Saya mengutip akar kata dan semangat zaman Romawi karena, di luar
kasus Gayus, kita melihat kisah bagai dua Gayus yang saling bunuh.
Eksekutif sedang dikritik oleh tokoh agama dengan senjata kata-kata
yang sangat konfrontatif: tuduhan bahwa pemerintah membohongi publik.
Dunia modern dengan perkembangan teknologi BlackBerry, yang coba
dihambat seorang menteri, tetap saja tak bisa lepas dari penyakit umum
manusia: cemburu, dengki, iri, dan benci karena tidak bisa menghargai
prestasi serta kinerja orang lain.
Kebangkrutan Romawi
Setiap orang berusaha memenangkan dan membenarkan diri sendiri, tak
pernah sportif mengakui dan menghormati meritokrasi. Penyakit itu
sudah ada sejak zaman Taurat dan terus hingga zaman nuklir. Ketika
otak manusia mampu menciptakan senjata pamungkas pemusnah sesama
manusia, hati nurani yang belum beranjak dari kebencian dan iri hati
berujung pada saling bunuh.
Celakanya, jika di zaman kuno kapasitas manusia untuk membunuh satu
sama lain hanya berdampak ratusan atau ribuan orang sesuai dengan
perkembangan teknologi perang dan alat bunuh-membunuh, di zaman Gayus
Tambunan kekuatan otak manusia sudah sanggup membunuh jutaan orang
sekaligus dengan nuklir, rudal, roket, dan bom bunuh diri. Sebanyak 19
orang bisa membunuh 3.000 orang sekaligus tanpa memaklumkan perang,
tetapi sudah menciptakan neraka di pusat peradaban dunia, kota New
York, AS, 11 September 2001.
Setara dengan kedahsyatan teknologi bom, epidemi korupsi yang telah
membelit Republik Indonesia mengulangi skenario dan riwayat
kebangkrutan Romawi. Kekaisaran itu bukan hancur oleh serbuan orang
barbar dari luar Romawi, tetapi ambruk karena perang saudara dan
korupsi membusuk yang dilakukan para senator, kaisar, dan elite
Romawi. Kekaisaran Romawi hanya bisa dilihat bekasnya dalam Colosseum
Romawi yang tinggal reruntuhan belaka.
Republik Indonesia tentu tak akan bangkrut karena seorang Gayus.
Namun, jika ada ribuan dan jutaan Gayus pada pelbagai tingkatan
seperti juga Romawi penuh orang bernama Gayus, sebetulnya para tokoh
agama lebih afdal mengeluarkan peringatan yang tak sektarian dan hanya
menyalahkan presiden terpilih.
Memperlemah
Pada 12 Januari lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan fatwa yang
memperlemah Presiden dalam menghadapi rongrongan legislatif dengan
pembiaran jumlah pengusul hak menyatakan pendapat menjadi hanya dua
pertiga dari dua pertiga atau empat persembilan. Suatu tirani
minoritas terhadap mayoritas. Fatwa MK itu berpotensi mengakselerasi
ambisi partisan memakzulkan Wakil Presiden Boediono yang dikaitkan
dengan masih ”mengambangnya kasus Century”.
Kelemahan Indonesia sejak orde reformasi adalah presiden terpilih tak
pernah berhasil menguasai parlemen dan harus tunduk kepada koalisi.
Dalam koalisi, sistem presidensial terbajak dan tersandera oleh
manuver koalisi parlementer. Kedudukan presiden mirip perdana menteri
dalam sistem demokrasi parlementer 1945-1960 ketika DPR dengan mudah
dapat menyatakan mosi tak percaya atau istilah sekarang: hak
menyatakan pendapat.
Susilo Bambang Yudhoyono dinilai pengecut dan plinplan. Namun,
seandainya Wiranto, Prabowo, atau Amien Rais berada pada posisi
presiden terpilih, pasti mereka juga akan berbuat sama dengan SBY.
Berkompromi, berkohabitasi, dan ”berkumpul kebo” dengan lawan politik
yang tiap saat siap menerkam jadi Brutus dan Gayus terhadap sesama.
Indonesia memang sangat ekstrem dalam reaksi terhadap tantangan
situasi. Kita pernah memakai demokrasi parlementer liberal 15 tahun
(1945-1960) dengan 10 perdana menteri atau rata-rata kabinet cuma 1,5
tahun berkuasa.
Bung Karno membanting ke ekstrem diktator, tetapi cuma enam tahun
sistem itu dibajak oleh Soeharto yang kemudian bertahan 32 tahun
memerintah Republik Indonesia. Setelah itu MPR dan DPR mengebiri
kekuasaan presiden sehingga presiden terpilih—yang memang tak mampu
menguasai mayoritas parlemen—harus hidup ”berkumpul kebo” dengan
parlemen multipartai yang sulit dijamin loyalitas maupun
solidaritasnya.
Sistem presidensial yang disandera oleh parlemen itu menghasilkan
pemerintahan yang bagai autopilot. Presiden sebagai pilot malah
diganggu awaknya. Untung Tuhan masih adil dan melihat kinerja
masyarakat hingga penerbangan Indonesia Inc dengan autopilot masih
tumbuh 7 persen.
Seandainya pilot tak diganggu oleh awak yang hiruk-pikuk, pesawat bisa
melaju dua digit menyamai China. Sekarang fatwa MK malah membuat sang
pilot semakin sulit bermanuver dan awak yang tidak dipilih rakyat bisa
mengambil alih pesawat dari kopilot yang mau digusur dengan isu Bank
Century.
Dalam hiruk-pikuk itu, tak heran seorang Gayus Tambunan dengan lihai
mengulangi skenario Romawi: ketika Gayus saling bunuh, kaisar jadi
sinis dan setengah gila mengangkat kuda jadi senator, dan senator
saling bunuh atau bunuh diri.
Presiden Republik Indonesia seharusnya berani menyatakan, ”Stop
kegilaan Gayus. Saya minta referendum seluruh rakyat.” Di manakah 70
juta rakyat pemilih SBY-Boediono, mengapa Anda membiarkan Gayus
mengkup SBY-Boediono? Jika Anda tak bergerak dalam tempo tiga bulan,
Boediono akan termakzulkan dan pemerintah sebetulnya sudah tak sah
karena suara rakyat pemilih telah dikudeta oleh ”senator model kuda
Caligula” dan epidemi korupsi Gayus.
Christianto Wibisono CEO Global Nexus Institute
http://cetak.kompas.com/read/
0 komentar:
Posting Komentar