besar, yaitu tuberkulosis dan tembakau. Tuberkulosis sudah menyebabkan
penderitaan dan kematian sebagai wabah pertama.
Apalagi, meningkatnya kasus HIV (human immunodeficiency virus)
terutama pada anak muda menambah jumlah penderita tuberkulosis.Wabah
kedua yang penting pada negara berpenghasilan rendah adalah tembakau.
Bahkan, World Bank tahun 1999 pernah mengeluarkan pernyataan, “Dengan
pola merokok sekarang ini, 500 juta orang yang hidup hari ini akhirnya
akan terbunuh oleh penggunaan tembakau.Lebih dari separuh di antaranya
saat ini adalah anak dan remaja.
Hingga tahun 2030,tembakau diperkirakan akan menjadi penyebab tunggal
terbesar kematian di seluruh dunia.” Di Indonesia sendiri,kebiasaan
merokok pada masyarakat semakin lama semakin tinggi tingkat
konsumsinya. Data dari Tobacco Control Support Centre (TCSC) Ikatan
Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia bahwa konsumsi rokok di Indonesia
tahun 2008 sebanyak 240 miliar batang.
Jika kita lihat fakta lain terhadap prevalensi merokok tahun 2001,
sebanyak 31,5% orang dewasa merokok dan meningkat menjadi 34,4% pada
tahun 2004. Hal yang lebih memprihatinkan adalah prevalensi merokok
pada usia 15-19 tahun 2001 sebanyak 12,7% dan meningkat 4,6% menjadi
17,3% pada 2004.Data dari WHO tahun 2008,Indonesia menempati peringkat
ketiga jumlah perokok terbesar setelah China dan India.Hampir sama
seperti penderita tuberkulosisparu (TBC paru) yang juga menduduki
peringkat ketiga setelah India dan China.
Biaya Ekonomi
Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional BPS tahun 2004, 71%
keluarga Indonesia punya minimal 1 perokok dengan 84% berusia 15 tahun
ke atas. Ini akan meningkatkan kerentanan perokok pasif di rumah
karena perokok pasif memiliki risiko tiga kali lebih berbahaya untuk
menderita penyakit akibat rokok dibandingkan perokok aktif.Kematian
akibat rokok sebanyak 427.948 orang/ tahun, yang berarti sama dengan
1.172 orang per hari.
Ada sekitar 1,5 juta orang dari rumah tangga perokok yang berobat
penyakit hipertensi dengan biaya yang dihabiskan mencapai Rp219 miliar
sebulan atau Rp2,6 triliun lebih setahun. Survei yang sama juga
menggambarkan bahwa rumah tangga perokok juga mengeluarkan belanja
untuk berobat penyakit asma sebanyak Rp1,1 triliun, penyakit TBC
sebesar Rp636 miliar, penyakit pernafasan lain Rp4,3 triliun, dan
penyakit jantung Rp2,6 triliun.
Tanpa subsidi biaya rawat inap, maka total biaya yang dikeluarkan oleh
masyarakat karena penyakit yang berkaitan dengan tembakau berjumlah
Rp15,44 triliun. Perhitungan ini di luar kerugian tidak langsung
akibat rokok yang lebih besar. Bahkan, penelitian dari Kementerian
Kesehatan mendapatkan angka kerugian ekonomi total penduduk Indonesia
Rp338,75 triliun atau enam kali penerimaan pemerintah dari cukai
rokok.Angka itu sendiri senilai dengan anggaran belanja Kementrian
Kesehatan selama 15 tahun.
Kerugian dihitung dari jumlah uang yang dibelanjakan untuk rokok,biaya
berobat penyakit akibat rokok, biaya yang hilang akibat tidak bekerja
karena sakit,dan penghasilan yang tidak diterima dari anggota keluarga
yang meninggal karena penyakit akibat rokok. Sering kita berpikir
bahwa jika terjadi regulasi rokok yang ketat maka akan terjadi defisit
pemasukan negara dari cukai rokok dan pengurangan penerimaan
pemerintah karena industri rokok memberikan sumbangan besar pada
penerimaan pemerintah.
Selain itu,ada pemikiran dengan semakin meningkatkan cukai rokok
dampak lainnya akan menurunkan angka ekspor rokok.Hal lain yang
menjadi alasan penolakan terhadap regulasi rokok adalah regulasi yang
ketat terhadap rokok akan mengakibatkan petani tembakau dan industri
rokok menjadi mati. Ini sebagian dari beberapa argumentasi yang
didengungkan pemangku kepentingan industri rokok.
Boleh saja para pemangku industri rokok tersebut berargumentasi
demikian tapi fakta di lapangan berbicara beda. Pemasukan negara dari
cukai rokok jika dibandingkan dengan penerimaan negara hanya sekitar
6-7%, dan ini jauh di bawah penerimaan dari PBB dan PPh. Jika cukai
dinaikkan sebesar 10%, volume penjualan akan berkurang 0,9-3% tetapi
penerimaan cukai akan bertambah Rp29-59 triliun.Cara yang paling
efisien untuk meningkatkan penerimaan pemerintah dari rokok adalah
dengan meningkatkan cukai rokok.
Dengan tetap mempertahankan cukai rokok maka konsumsi akan cenderung
meningkat pada anakanak dan remaja. Sementara pada sisi ekspor pun tak
akan begitu terpukul.Faktanya ekspor rokok selama tahun 1999- 2007
hanya sebesar 0,22-0,31% dibanding jumlah seluruh nilai ekspor. Tahun
2006 jumlah rokok yang diekspor sebanyak 41 juta batang padahal yang
diproduksi di dalam negeri 244 juta batang, artinya sebagian besar
(83%) rokok produksi Indonesia untuk konsumsi domestik.
Fakta lain tentang tembakau adalah semakin lama lahan pertanian
tembakau semakin susut dalam periode tahun 2002-2005 areal pertanian
tembakau turun dari 261.000 hektar menjadi 198.000 hektar. Jumlah
petani tembakau pun mengalami penyusutan selama tahun 2002-2007
sejumlah 808.897 menjadi 582.093 petani sementara pekerja buruh
industri rokok tahun 2006 sebanyak 316.991 pekerja, ini hanya 1,4%
dari seluruh sektor industri.
Regulasi Ketat
Bagaimana peran pemerintah dalam mengintervensi kebijakan terhadap
rokok? Sudah seharusnya pemerintah melakukan regulasi terhadap
tembakau dan produknya (rokok) lebih ketat. Mengingat beban ekonomi
dan sosial yang diakibatkan oleh rokok makin lama makin meningkat dan
beban ini akan ditanggung oleh masyarakat miskin. Hampir 80% perokok
mulai merokok pada usia kurang dari 19 tahun.
Sebagian mereka merokok akibat terpengaruh gencarnya iklan rokok yang
umumnya menunjukkan tampilan prilaku sukses, sementara pada usia
tersebut kemampuan untuk menilai dan mengambil keputusan secara benar
masih belum dimiliki. Umumnya mereka belum mengerti bahaya merokok
sejak muda dan bahaya adiktif merokok. Keputusan konsumen tidak
didasarkan atas informasi yang cukup mengenai dampak produk yang
dibeli, efek ketagihan dan dampak pembelian yang dibebankan kepada
orang lain.
Salah satu cara pemerintah untuk melindungi anakanak dan remaja
mengonsumsi rokok adalah dengan menaikkan cukai rokok, melarang
penjualan rokok pada anak usia di bawah 18 tahun, dan melarang
penjualan rokok secara eceran. Sampai saat ini terlihat belum ada
ketegasan pemerintah terhadap aturan mengenai rokok. Saat ini
rancangan peraturan pemerintah tentang pengamanan produk tembakau
sebagai zat adiktif bagi kesehatan masih mengalami pembahasan
antardepartemen.
Informasi terakhir yang diterima oleh penulis RPP yang diajukan oleh
Kementerian Kesehatan ini mengalami penolakan dari kementrian lain
terutama Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan
Kementerian Pertanian. Hal ini yang menjadi dilema bagi Kementerian
Kesehatan karena RPP tersebut merupakan turunan dari UU Kesehatan No
36 Tahun 2009 tentang Pengamanan Produk Tembakau Sebagai Zat Adiktif
bagi Kesehatan.
Hal yang sama dialami undangundang penanggulangan dampak produk
tembakau terhadap kesehatan (UU-PDPTK). Undangundang ini sudah masuk
ke dalam prioritas Prolegnas 2009-2014. Isi undang-undang ini
diharapkan membawa perubahan positif terhadap dampak merokok. Tetapi,
hingga akhir tahun 2010 tidak ada pengesahan dari paripurna DPR
meskipun secara substansi sudah tidak ada masalah. Ada beberapa hal
yang mungkin menjadi penghalang.
Salah satunya adalah penolakan yang amat kuat dari kalangan industri
rokok secara masif dengan cara mengerahkan massa untuk menolak
pembahasan undang-undang ini. Beberapa fraksi di DPR RI pun ikut
melakukan penolakan kuat. Mereka ini mengkhawatirkan dampak negatif
terhadap ekonomi dan industri jika undang-undang ini jadi disahkan,
yang sebenarnya jika merujuk pada data-data di atas tak
mengkhawatirkan sama sekali.
Selain itu, kita semua tahu salah satu kendala dalam terbentuk hingga
disahkannya sebuah undangundang di DPR adalah birokrasi yang rumit.
Jadi sekarang kita tinggal lihat bagaimana DPR dan pemerintah agar
bisa berperan untuk segera menyelesaikan aturan tersebut mengingat
dampak yang berbahaya terutama bagi generasi muda. Tentunya, pihak
pemerintah juga harus memberikan solusi yang terkait dengan kalangan
industri, buruh, dan petani terhadap dampak yang ditimbulkan oleh
regulasi rokok.
Kementrian Pertanian misalnya sudah memberikan alternatif bagi para
petani tembakau yang ingin menanam tanaman semusim yang memiliki nilai
jual sebanding dengan tanaman tembakau jika ingin dilakukan substitusi
tanaman. Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, maupun
Kementeerian Keuangan sebaiknya memikirkan untuk menaikkan harga cukai
rokok sehingga nilai profit menjadi lebih tinggi tanpa harus
meningkatkan produksi rokok.
Karena dengan naiknya harga rokok,segmentasi rokok diubah dari
mayoritas kalangan kelas menengah ke bawah menjadi kelas menengah ke
atas tanpa harus kehilangan keuntungan perusahaan karena sifat rokok
bagi penggunanya adalah inelastis. Pengawasan dari Kementerian
Kesehatan terhadap iklan rokok dan penjualan rokok di tingkat anak
remaja juga harus kuat sehingga aturannya menjadi efektif dan dampak
dari merokok bisa benar- benar diminimalisasi. Mudahmudahan harapan
sebagian rakyat Indonesia untuk bisa terbebas dari jeratan rokok bisa
segera terealisasi dengan disegerakannya regulasi tentang rokok.(*)
Satria Pratama
Dokter Spesialis Paru,
Mahasiswa S3
Fakultas Kesehatan
Masyarakat UI
http://www.seputar-indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar