Bukan yang congkak, bukan yang sombong/ Yang disayangi handai dan
taulan/ Hanya anak yang tak pernah bohong/ Rajin belajar, peramah dan
sopan
Lagu ini cukup populer beberapa puluh tahun silam dan banyak diajarkan
oleh para guru taman kanak-kanak kepada murid-muridnya.
Selain lagunya indah dan mudah diingat, isinya juga amat bagus untuk
pendidikan karakter anak-anak. Pesannya pun jelas. Mengajak anak-anak
untuk tetap rendah hati dan tidak sombong. Juga selalu bersikap jujur
dengan berani mengatakan apa adanya alias tidak berbohong.
Bisa saja seseorang berbuat salah, tetapi ia berani untuk mengakui
kesalahannya. Mengakui kesalahan bukan berarti lemah. Justru
sebaliknya, berani mengakui kesalahan menunjukkan adanya kekuatan
untuk berani mengungkapkan kejujuran dengan tetap rendah hati.
Rajin belajar juga dapat diartikan sebagai kemauan untuk belajar dari
kesalahan. Bahwa setiap orang bisa salah, tetapi dengan belajar dari
kesalahan, seseorang bisa berbuat lebih baik lagi di masa depan dan
tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Itulah inti pelajaran lagu
yang ditularkan oleh para guru TK beberapa puluh tahun lalu kepada
murid-muridnya.
Kini, para murid itu tentu sudah besar. Sudah tumbuh menjadi manusia
dewasa yang tersebar di mana-mana. Ada yang menjadi artis,
olahragawan, guru, politisi, bupati, gubernur, menteri, bahkan
presiden. Sementara para guru TK tentunya juga sudah berusia lanjut.
Tidak lagi mengajar dan tinggal di rumah menikmati masa tuanya.
Ingat nasihat
Meski miskin materi, para guru akan bahagia apabila murid- muridnya
tersayang tetap ingat akan nasihat-nasihatnya dulu, termasuk moral
dari lagu anak-anak yang diajarkan.
Bahwa meski sudah menjadi orang penting, janganlah lalu menjadi
congkak atau sombong. Tetaplah rendah hati, peramah, dan sopan. Maka,
kalau sudah menjadi pemimpin dan diberi kepercayaan oleh rakyat, tentu
juga harus tetap ingat akan amanat rakyat yang memercayainya sebagai
pemimpin.
Apabila gagal menjalankan tugas atau belum dapat memenuhi janjinya
saat kampanye, pemimpin juga harus berani mengakuinya secara jujur.
Bahkan bila perlu berani meminta maaf. Bukannya justru hanya sibuk
mencari- cari alasan atau bahkan kemudian berbohong lagi dengan
memanipulasi data.
Apabila memperoleh kritik sebagai upaya untuk mengingatkan atau
menyadarkan adanya hal yang tidak benar, juga tidak harus kebakaran
jenggot. Lalu berputar- putar mempersoalkan istilah yang kurang
berkenan di hati. Kalau ajaran para guru itu masih diingat, para
pemimpin justru dengan jiwa besar menyampaikan terima kasih dan
kemudian bersama-sama memperbaikinya.
Ini semua yang sangat diharapkan oleh para mantan guru TK terhadap
murid-muridnya yang kini sudah menjadi orang besar. Namun sayang
seribu sayang, harapan tersebut tampaknya hanya tetap tinggal harapan.
Kenyataan di lapangan banyak berbicara lain.
Kesombongan dalam bentuk tindak kekerasan seolah merebak di mana-mana
bagai cendawan di musim hujan. Sejumlah tindak kekerasan muncul di
mana–ma - na. Apakah itu di dalam keluarga, di sekolah, ataupun di
tengah masyarakat. Tengok saja saat berlangsung pemilihan kepala
daerah, pertunjukan musik, pertandingan sepak bola, sampai ke kasus
perusakan tempat-tempat ibadah, semua penuh kekerasan karena merasa
paling ”benar” dan paling kuat.
Masih bohong
Kebohongan pun seolah menjadi nyanyian merdu yang terdengar hampir di
seluruh negeri. Tengoklah berita tentang 155 kepala daerah, di mana 17
di antaranya adalah gubernur, tersangkut masalah hukum. Belum lagi
kasus narapidana yang dengan mudahnya bisa melenggang berwisata ke
Bali dan mancanegara, kasus bank bermasalah yang masih menggantung,
sampai para calon kepala daerah yang bisa berkampanye dengan biaya
puluhan miliar. Semua adalah cerita kebohongan.
Betapa sedih para mantan guru TK saat melihat itu semua. Untunglah
masih ada angin segar yang mengembus dari para tokoh lintas agama.
Mereka dengan hati jernih berani lantang menyuarakan kebenaran. Maka,
para guru pun akhirnya bisa tersenyum bahagia: ternyata sebagian murid
masih ingat dan berani menyuarakan ajarannya.
Terlebih apabila akhirnya para pemimpin dengan jiwa besar berani
mengakui kesalahan, memperbaiki kesalahan, dan menghentikan berbagai
kebohongan.
Lengkaplah sudah kebahagiaan para mantan guru TK itu. Mereka akan
mengacungkan jempol sambil berkata, ”Jangan berbohong lagi ya,
sayang!”
SETO MULYADI Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma
http://cetak.kompas.com/read/
0 komentar:
Posting Komentar