kritik tokoh lintas agama terkait dengan kinerja pemerintah SBY.
Sebagaimana dengan kritik-kritik yang lain, sesungguhnya seruan moral
yang disampaikan oleh tokoh lintas agama ini adalah hal biasa.
Namun menjadi luar biasa karena disampaikan sebagai respons atas klaim
keberhasilan pembangunan oleh pemerintah. Jika dilihat ke belakang,
seruan moral dari tokoh lintas agama dan kelompok lainnya merupakan
reaksi atas situasi yang tidak ramah dalam kaitan dengan hubungan
antar lembaga suprapolitik (eksekutif- legislatif-yudikatif) pasca-
Pemilu dan Pilpres 2009.Ketidakramahan ini membuat situasi politik
terutama dalam 1 tahun terakhir menjadi agak panas.
Beberapa kasus hukum telah menjadi pemicu karena penyelesaiannya
kurang tuntas seperti bailout Bank Century, mafia perpajakan, dana
aspirasi,dan lainnya.Hal ini sekaligus menjadi cermin dari produk
lembaga politik yang tidak terkonsolidasi. Kondisi tersebut mendorong
komunitas atau elite politik di luar kekuasaan menjadi geram,jengkel
dan bahkan marah melihat performance negara yang dilihatnya semakin
tidak kurang menyejahterakan dan menjauh dari keadilan.
Peran, tugas, dan kerja lembaga- lembaga politik sangat tidak optimal
dalam memajukan kehidupan bangsa dan negara. Masyarakat justru melihat
lembaga politik sibuk dengan kepentingan kelompoknya dari pada
melayani urusan publik.Misal saja DPR yang gemar untuk studi banding,
mengurus rencana pembangunan Gedung DPR RI senilai Rp1,8 triliun.
Padahal, lembaga politik ini dihadapkan pada tugas untuk mengemban
amanat rakyat yaitu menyelesaikan agenda reformasi di segala bidang
pasca Soeharto.
Terjebak Eksperimentasi
Selama 12 tahun perjalanan demokrasi, lembaga-lembaga politik belum
mampu menuntaskan disain sistem demokrasi. Sejumlah konsep dasar dari
demokrasi nampaknya belum dipercayai sebagai pijakan. Karena itu, dari
waktu ke waktu sistem demokrasi masih bersifat eksperimen. Sebagai
contoh, saat sekarang (pembahasan RUU Politik, khususnya soal pemilu)
masih diwarnai tarik-menarik antar partai politik mengenai batas
minimum untuk electoral threshold dan parliamentary threshold.
Demikian pula dengan masalah pemilihan Gubernur, bupati dan wali kota
yang direncanakan tidak langsung oleh rakyat melainkan melalui DPRD.
Ide atau rencana mengubah sistem pilkada ini agak ironis karena
alasannya lebih karena ekses negatif dari pilkada seperti politik uang
dan biaya mahal. Sekalipun dalam proses membangun demokrasi dibutuhkan
eksperimen-eksperimen agar menghasilkan konsep yang baik.
Hanya saja, tidak berarti eksperimentasi tanpa titik henti. Lembaga-
lembaga politik mengesankan kurang memiliki batas waktu (time frame)
dalam konteks pelembagaan demokrasi. Hal ini sangat merugikan
masyarakat karena rakyat dihadapkan pada ketidakjelasan atau kepastian
tentang sistem demokrasi yang akan dibangun. Menurut Guilermo O’Donnel
(1993), pengalaman sejumlah negara dalam proses transisi demokrasi
hanya dibutuhkan waktu sekurang- kurangnya dua kali pemilu sebagaimana
terjadi di Korea Selatan dan Afrika Selatan.
Pada dasarnya situasi transisi yang berkepanjangan dapat diartikan
sebagai kondisi darurat sipil sehingga dapat menciptakan situasi
politik yang semakin bertambah panas dan ketidakpercayaan rakyat pada
sistem demokrasi.Bahkan yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah masa
transisi yang berkepanjangan dapat mendorong tumbuh dan berkembangnya
fenomena dan benih-benih radikalisme pada kelompok tertentu yang
memiliki agenda politik di luar demokrasi.
Karena itu, tahun 2011-2014 perlu ditempatkan sebagai momentum untuk
perbaikan hubungan antar lembaga politik dalam memastikan sistem
demokrasi lebih yang terkonsolidasi. Ciri-ciri transisi yang ditandai
dengan keberadaan lembaga ekstra tertentu seperti KPK, dalam artian
normal harusnya mulai terintegrasi model penangannya ke dalam lembaga
penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan).
Bagi lembaga pemerintah, sudah waktunya untuk lebih meningkatkan
efektivitas kinerjanya.Jika diperlukan sangatlah penting, melakukan
penggantian atau reshuffle terhadap pos kementerian yang dinilai tidak
bagus. Dalam dunia sepak bola adalah wajar melakukan penggantian
terhadap pemain yang cidera, kurang baik maupun yang dicerca oleh
penonton. Demikian pula untuk lembaga legislatif (DPR) dan partai
politik untuk mengakhiri kerja-kerja yang sifatnya ad hoc seperti;
rencana pembangunan gedung DPR RI dan memaksakan dana aspirasi dalam
APBN.
Menghasilkan produk legislasi yang lebih pasti sebagai fondasi
demokrasi sangatlah mendesak seperti; sistem pemilu dan pemilukada,
penegakan hukum dan keadilan. Dengan kata lain,menunda persoalan
tersebut sama artinya dengan menunggu bom waktu yang sewaktu-waktu
akan meledak, di mana dalam situasi ini ancaman instabilitas sosial,
politik, dan ekonomi dan disintegrasi dapat menjadi kenyataan.
Pengalaman Eropa Timur, khususnya Uni Soviet dan Yugoslavia barangkali
dapat dijadikan sebagai pelajaran.Kedua negara ini— pasca rezim
otoriter—boleh disebut gagal menuntaskan proses transisi menuju
demokrasi karena kapasitas kelembagaan politiknya gagal melakukan
konsolidasi.
Sehingga harus dibayar mahal dengan terpecah belahnya bangsa Slav
menjadi beberapa negara. Karena itu,tanpa kesungguhan dari lembaga-
lembaga politik untuk menuntaskan masa transisi,demokrasi berisik
sangatlah pantas disandang Indonesia sekalipun tidak membawa
kesejahteraan bagi bangsa dan negara.Semoga ini hanya kekhawatiran
belaka.(*)
Suhardi Suryadi
Pemimpin Umum
Majalah Prisma, LP3ES
http://www.seputar-indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar