BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Kebijakan Reformasi dan Problem Kelembagaan

Kebijakan Reformasi dan Problem Kelembagaan

Written By gusdurian on Jumat, 21 Januari 2011 | 11.05

Tanpa disadari,kurang lebih selama satu dekade ini terdapat perubahan
ekonomi yang cukup mendasar di Indonesia. Gelombang krisis ekonomi
datang tiada henti dan menjadi salah satu sebab penting terjadinya
perubahan ekonomi tersebut.

Dalam menyikapi masalah ini, pemerintah telah berbuat semampunya untuk
mengatasi krisis ekonomi itu,salah satunya dengan mendesain kebijakan
reformasi ekonomi. Pada beberapa aspek tertentu, upaya pemerintah
tersebut menunjukkan hasilnya,namun perlu juga disadari reformasi
ekonomi itu masih meninggalkan banyak masalah.

Salah satu sumber penting yang menjadi sebab munculnya persoalan
tersebut adalah diabaikannya aspek kelembagaan sebagai pilar penting
dalam menjalankan reformasiekonomi. Karenaitu,tulisanini akan membahas
kaitan antara kebijakan reformasi dan kelembagaan ekonomi, serta
menyusun agenda kelembagaan ekonomi untuk perbaikan ke depan.

Reformasi Ekonomi Terbalik

Sejak dekade 1980-an dinamika perekonomian dunia memang berjalan
dengan cepat. Hal itu bukan hanya terjadi di negara maju, tetapi juga
di negara-negara berkembang. Di wilayah Asia Tenggara, misalnya dengan
mengambil data1996(sebelumkrisis1997/
1998), perekonomian berhasil
mengakumulasi pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan stabil. Selama
periode tersebut pertumbuhan ekonomi di Indonesia,Malaysia, Filipina,
Singapura,Thailand, dan Vietnam rata-rata selalu di atas lima persen
setiap tahunnya.

Namun, secara mendadak pada pertengahan 1997 krisis ekonomi menyerang
wilayah Asia dan terus merembet ke negara-negara lainnya. Krisis
ekonomi tersebut dipicu oleh jatuhnya nilai tukar bath (Thailand)
terhadap dolar AS pada 2 Juli 1997 (Charoenseang dan Manakit, 2002).
Seterusnya, krisis itu merembet ke seluruh sendi perekonomian.
Mengenai sumber krisis ekonomi itu sendiri banyak versi yang
mengemuka.Salah satunya adalah pandangan yang berargumentasi
fundamental ekonomi yang rapuh dan inkonsistensi kebijakan sebagai
sumber utama krisis.

Dalam kasus Indonesia,pandangan ini dapat dilacak kebenarannya setelah
melihat situasi fundamental ekonomi nasional. Indrawati (2002),
misalnya, mengungkapkan periode sebelum krisis perekonomian ditandai
kerentanan di sektor perbankan maupun struktur korporasi. Usaha
konglomerasi tumbuh secara agresif sehingga mendominasi seluruh
kegiatan ekonomi.Sebagian besar perbankan dimiliki oleh para
konglomerat yang memanfaatkan bank untuk membiayai perusahaan satu
induknya, sehingga kerap melanggar regulasi “legal lending limit”.

BUMN juga dipaksa melakukan penyimpangan untuk mengongkosi proyek
pemerintah yang studi kelayakannya tidak jelas dan berisiko tinggi.
Sejak krisis ekonomi politik pada 1997/1998 itulah proyek reformasi
ekonomi dijajaki. Dalam implementasinya, terdapat dua kubu dalam
mendesain reformasi ekonomi, yakni kubu Asia dan kubu Eropa
Timur.Pendekatan Asia cenderung mendesain reformasi ekonomi lewat
penahapan yang berurutan (gradual tetapi sistematis).

Pendekatan ini lebih menitikberatkan kepada strategi “bottomup” serta
menempatkan reformasi pada level mikro ekonomi, seperti reformasi
kelembagaan (reformasi di sektor pertanian dan usahausaha industri)
dan reformasi harga; mendahului reformasi pada level makro ekonomi
(kebijakan fiskal, moneter, dan reformasi perdagangan luar negeri).
Sebaliknya, pendekatan Eropa Timur cenderung mengerjakan reformasi
ekonomi lewat perubahan yang radikal (big-bang approach),seperti
tampak dalam perubahan hak kepemilikan, penghapusan kontrol harga,
serta liberalisasi nilai tukar dan perdagangan.

Jika deskripsi di atas direlasikan dengan situasi Indonesia,di sini
justru mempraktikkan reformasi ekonomi terbalik, di mana pemerintah
menggeber perombakan pada level makro ekonomi terlebih dulu, persis
yang dijalankan di Eropa Timur.Pertama, pemerintah mengubah secara
drastis hak kepemilikan sumber daya ekonomi menuju kepemilikan swasta
(private property rights), termasuk sumber daya ekonomi yang
seharusnya dikuasai oleh negara.Kedua,kontrol harga dilepas satu per
satu,khususnya yang berkenaan dengan komoditas pertanian, padahal
kelembagaan produksi dan distribusi belum sepenuhnya disentuh
pemerintah.

Ketiga, liberalisasi dijalankan secara ekstensif,baik di sektor
perdagangan maupun investasi asing. Keempat, strategi privatisasi
lebih dipilih pemerintah untuk membangun kultur korporasi dan
efisiensi BUMN ketimbang memperbaiki tata kelolanya. Secara lebih
sistematis, reformasi ekonomi Indonesia dapat dibuat dalam tiga level
berikut: Pertama, reformasi ekonomi pada lapis makro dimulai pada
dekade 1980-an ketika beberapa sektor ekonomi (manufaktur,perbankan,
transportasi, dan lain-lain) dideregulasi dan diliberalisasi cukup
masif (McCawley, 2002).

Kedua, reformasi ekonomi pada level meso, yakni mendesain manajemen
pembangunan ekonomi (politik) yang mulai didesentralisasi,yang
kemudian dikenal dengan istilah otonomi daerah.Manajemen sentralisasi
di masa lalu dipandang sebagai sumber macetnya pembangunan ekonomi,
padahal potensi yang seharusnya dicapai jauh lebih besar dari yang
telah digapai.Ketiga, reformasi pada level mikro perekonomian berjalan
secara sehat, yang dirumuskan dalam UU No 5/1999 tentang Larangan
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.Sebelum periode
1997/1998, perekonomian nasional dikenal sangat distortif karena
penguasaan ekonomi digenggam oleh segelintir pelaku ekonomi.

Ongkos Reformasi Ekonomi

Harus diakui telah banyak kemajuan ekonomi yang dicapai berkat
kebijakan reformasi ekonomi yang didesain selama satu dekade terakhir.
Namun, dalam perkembangannya, ternyata kebijakan reformasi itu
menimbulkan soal-soal akut berikut. Pertama, liberalisasi
keuanganhanya menjadiinstrumen menafkahi kepentingan sektor keuangan
itu sendiri,bukan menumbuhkan sektor riil. Kedua, petani makin
terjerembab karena kontrol harga dilepas, sementara penentu harga
(price maker) adalah pedagang.

Hasilnya,harga komoditas melambung, tapi nisbah ekonomi terbesar tidak
jatuh ke petani.Ketiga, pertumbuhan ekonomi ditopang oleh non-
tradeable sectoryang import content-nya tinggi dan penyerapan tenaga
kerjanya rendah.Keempat, marjinalisasi pelaku ekonomi tradisional
akibat dan skala kecil kalah bersaing dengan pelaku ekonomi besar di
sektor perdagangan. Kelima, ketimpangan pendapatan meningkat seiring
laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi.Lima implikasi ini merupakan
ongkos reformasi yang harus ditanggung rakyat.

Terdapat dua argumen penting untuk menelisik kegagalan sebagian
reformasi ekonomi tersebut.Pertama, analisis yang fokus kepada pilihan
dan urutan kebijakan reformasi ekonomi. Pendekatan ini meyakini bahwa
pilihan kebijakan reformasi antarnegara tidak bisa dibikin seragam
(harus otentik), karena masing-masing negara mempunyai karakteristik
dan problem ekonomi yang berlainan. Kedua, alasan lemahnya desain dan
penegakan kelembagaan (rules of the game) sebagai “kaki” dari
kebijakan yang telah diproduksi.

Pendekatan ini pada level makro berkonsentrasi kepada penyusunan
kerangka hukum, ekonomi, dan politik agar kebijakan yang diproduksi
bisa menjawab tujuan yang ditargetkan. Sementara itu, pada level mikro
pendekatan kelembagaan ini secara spesifik mendesain aturan main yang
memungkinkan semua pelaku ekonomi dapat bersaing (competition) atau
bekerjasama (cooperation) secara adil (fair).

Dalam kasus Indonesia, reformasi gelombang pertama justru menyentuh
sektor keuangan, khususnya kontrol modal.Kebijakan liberalisasi sektor
keuangan ini dijalankan saat sektor perdagangan masih diselimuti oleh
praktik proteksi dan iklim monopoli yang pekat. Basri dan Hill (2002)
menunjukkan sampai 1995 kebijakan perdagangan masih bersemangat
proteksionis.

Dengan kata lain,liberalisasi sektor keuangan di Indonesia mendahului
sektor perdagangan (berbeda dengan China dan India). Berikutnya, basis
perekonomian Indonesia berada di sektor pertanian, industri, dan
perdagangan dengan masalah rata-rata kepemilikan lahan yang sempit di
sektor pertanian, local contentyang rendah di sektor industri, dan
dominasi pelaku ekonomi skala ekonomi besar di sektor perdagangan.
Dalam agenda reformasi, problem itu diatasi dengan kebijakan pelepasan
kontrol di komoditas pertanian, promosi non-tradeable sector, dan
penciptaan akses yang luas bagi sektor perdagangan besar.(*)

Tulisan ini merupakan rangkuman dari
pidato pengukuhan Guru Besar
pada 30 Desember 2010

Prof Ahmad Erani Yustika
Guru Besar Ilmu Ekonomi Unibraw,
Direktur Eksekutif Indef

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/376987/
Share this article :

0 komentar: