BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Bangsa Depresi

Bangsa Depresi

Written By gusdurian on Jumat, 21 Januari 2011 | 11.04

TAK banyak orang menyadari, semakin berilmu kita mungkin semakin
menderita depresi. Menerima kenyataan atau kebenaran yang ternyata
begitu pahit untuk ditelan dan selalu kita pikirkan dapat membuat
frustrasi.

Hari-hari ini semua orang berpengetahuan Indonesia,mungkin juga kita,
sama-sama merasakan depresi. Kebenaran semakin telanjang di depan
mata,namun tak ada daya untuk membongkarnya. Kita menjadi seperti
orang yang tak bersyukur: Menerima sudah banyak, tetapi rasanya kok
masih terlalu sedikit – memberi baru sedikit,tetapi rasanya sudah
besar sekali.Tahu cuma sedikit, rasanya kok sudah hebat sekali.

Kita bisa menjadi bangsa yang depresi karena memikirkan lebih banyak
kegagalan daripada kegembiraan atau keberhasilan. Gagal membongkar
segala jenis mafia mulai dari pajak, mafia di kejaksaan, sampai mafia
di kepolisian. Eh, sekarang malah melebar hingga ke imigrasi.Jalan
macet tak terselesaikan, banjir datang terus, sampah bertebaran
semakin banyak, bensin semakin mahal, petani tak bisa membeli beras.
Bahkan garam dan ikan asin saja harus diimpor. Sepak bola
kalah.Politisi hanya memikirkan kantongnya sendiri. Para penjahat dan
koruptor tetap dilantik sebagai bupati dan seterusnya.

Melawan Pesimisme

Menurut hemat saya, bangsa Indonesia sedang bergulat melawan kenyataan
riil. Pergulatan berat itu justru ada di kalangan terdidik yang justru
tahu banyak, kritis, dan mudah membaca hubungan antara satu kejadian
dan kejadian lainnya.Kemajuan teknologi, demokrasi, dan keterbukaan
informasi telah membuat sebagian besar masyarakat menjadi ”mengerti”
dan agak berpengetahuan. Apa masalahnya berpengetahuan? Aha! Ini ada
masalah sendiri.

Saya ingin mengajak Anda mengacu pada Lauren Alloy dan Lyn Abramson
yang 20 tahun lalu meneliti orang-orang yang mengalami depresi dengan
melakukan eksperimen. Mereka berdua menggunakan batu baterai dengan
lampu hijau yang dilengkapi alat kontrolnya. Responden dibagi dua
kelompok, yaitu kelompok orang-orang yang depresi dan kelompok orang-
orang yang sehat (nondepresi). Masalahnya, tombol pengendali tidak
dapat bekerja 100%.Kedua kelompok diminta menilai.

Yang menarik perhatian saya, temuan itu bisa disimpulkan secara
mengejutkan. Ternyata orangorang yang menderita depresi dapat
menyebutkan keadaan secara akurat. Mereka diminta menilai berapa besar
kendali yang dimiliki untuk menyalakan lampu. Benar! Mereka jawab 30%.
Bagaimana dengan orang-orang yang tidak menderita depresi? Mereka
menjawab agak ngawur. Sebagian besar bilang sebaliknya, nyala lampu
itu dapat dikendalikan 70%.

Apa kesimpulannya?

Saat itu sebagian ahli berpendapat orang-orang yang bahagia adalah
terdiri atas kaum bodoh. Begitu bahagianya mereka sampaisampai mereka
kehilangan daya nalar dan tidak kritis. Mereka bicara tidak apa
adanya, melainkan melebih-lebihkan.Sebaliknya,
mereka yang depresi
ternyata lebih realistis.Tetapi, nanti dulu. Kajian lain terhadap
hasil eksperimen ini ternyata berbicara lain.

Justru karena seseorang kritislah,ia akan selalu mengulang-ulang fakta-
fakta yang benar, dan yang lebih mengerikan fakta-fakta yang
diingatnya itu adalah fakta-fakta yang negatif. Sementara yang negatif
itu terus-menerus terjadi berulang- ulang, tidak terpecahkan. Tetapi,
oleh kelihaian berkomunikasi para pemangku kepentingan, fakta-fakta
negatif itu ditutup dan diabaikan. Orang-orang yang depresi ditemukan
lebih realistis dan lebih sedih.

Mereka mengingat semua janji-janji yang tidak dipenuhi dan kejadian-
kejadian yang memilukan. Walau menagih,mereka tidak mendapatkan
jawaban dan harapan yang sudah diberikan.Tetapi, mereka ingat semua
secara akurat. Dalam beberapa hal mereka yang depresi terpenjara oleh
lamunan sedihnya, mereka terpenjara oleh masa lalu sehingga menjadi
pesimistis terhadap masa depannya. Sebaliknya, orang-orang yang
terlihat bahagia terdiri atas orangorang yang kurang realistis.

Mengapa seperti itu? Saya jadi ingat ucapan temanteman saya, para
akademisi hebat yang beberapa kali sempat menegur. Mereka mengatakan
sinisme dan pesimisme adalah cerminan dari pikiran yang kritis. ”Kalau
Anda optimistis dan baik,Anda tidak kritis,” ujar orang-orang hebat
itu. Tetapi, masalahnya, sebagian orang bahkan tak bisa membedakan
sinisme dengan kritis.

Sinis diartikan sama dengan kritis. Walah! Ini tentu keliru
besar.Orangorang yang kritis mungkin bisa menjadi sinis,tetapi terus-
menerus sinis adalah penyakit kejiwaan. Lantas bagaimana bisa
orangorang yang terlihat bahagia menjadi tidak realistis? Temuan
berbagai studi menunjukkan, orangorang yang berbahagia adalah orang
yang mudah melupakan kesedihan dan kesusahan.

Mereka tidak mau menyimpan informasi buruk terlalu lama dalam benak
mereka. Maka jangan heran kalau melihat orang-orang tertentu yang
merasa bisa melakukan sesuatu yang lebih besar dari kemampuannya. Di
Amerika Serikat ditemukan, 80% pengendara di jalan merasa kemampuan
mengemudi mereka berada di atas rata-rata, dan 90% mahasiswa peserta
program MBA merasa kehebatan mereka setara dengan kehebatan para CEO
terkenal.

Kesimpulan sementara, orangorang yang optimistis memang berasal dari
kelompok orang yang berbahagia. Mereka yang pandangan hidupnya bahagia
ini ternyata ”Mengingat lebih banyak peristiwa yang menyenangkan
daripada yang sebenarnya terjadi,” kata Martin Selligman, bapak
psikologi positif. Mereka cenderung melupakan peristiwa-peristiwa
buruk.

Tyranny of The ”OR”

Pesimisme tentu saja tidak baik.Tetapi, kebohongan jelas lebih tidak
baik. Negeri ini butuh orang-orang kritis yang optimistis. Kalau kita
mendikotomikan keduanya (”optimistis, tetapi tidak benar” atau
”pesimistis, tetapi realistis”), kita akan hidup dalam ”tyranny of the
Or”, kata ahli manajemen Jim Collins. Hidup di masa kini harus mampu
menggabungkan dua kekuatan besar yang kata orang bertentangan.

Kita tidak bisa terusmenerus hidup dalam pilihan-pilihan buruk yang
menyengsarakan seperti yang sering saya saksikan. Seperti pilihan
antara ”cantik”atau ”pintar”; ”kaya” atau ”jujur”. Pandangan-pandangan
seperti itu sungguh sebuah tirani. Kita harus bisa keluar dari
pandangan-pandangan sempit agar mampu menjadi bangsa yang serba ”and”.
Kaya dan jujur, cantik dan pintar, lembut dan berani, serta kritis dan
optimistis. Saya senang bertemu orangorang yang kritis.

Tetapi, saya lebih senang kalau mereka tidak hanya kritis dan sinis,
tetapi juga optimistis. Inilah yang saya kira dibutuhkan oleh negeri
ini, dari para pengamat politik, para ilmuwan, pemimpin yang tengah
berkuasa, dan tentu dari para ulama dan agamawan. Optimisme adalah
modal untuk berkoordinasi dan bergerak. Kalau Anda kritis dan
optimistis,Anda tidak tinggal diam dalam kesedihan atau ocehan kosong.
Anda akan bergerak,melakukan sesuatu.(*)

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/377047/
Share this article :

0 komentar: