BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Mental Birokrasi

Mental Birokrasi

Written By gusdurian on Minggu, 09 Januari 2011 | 12.00

PARA birokrat dan aparat pemerintah kembali jadi sorotan publik setelah Gayus Tambunan dengan kelihaiannya berhasil jalan-jalan ke luar negeri bersama sang istri dalam statusnya sebagai terdakwa kasus mafia pajak yang tengah disidangkan.

Gayus begitu mudah mengakali dan mengecundangi aparat birokrasi kita sehingga dia bisa memperoleh paspor dan identitas baru, tidur di rumah mewahnya, serta melancong ke Malaysia, Singapura, dan Makau. Peristiwa ini adalah tontonan konyol yang jadi bahan tertawaan banyak orang di mana-mana. Pertanyaan di benak kita sekarang, apa yang sedang terjadi dalam birokrasi kita? Bukankah reformasi birokrasi telah ditiupkan dan digalakkan sejak perjalanan Reformasi? Bukankah remunerasi yang sementara ini diyakini sebagai bagian dari solusi pembenahan mental birokrasi sudah diterapkan?

Terus mengapa semua itu belum mampu juga memperbaiki kebobrokan birokrasi kita? Pangkal persoalan yang membekap aparat birokrasi kita sebenarnya bukan soal remunerasi. Gaji yang cukup, bahkan lebih dari cukup,bukan jaminan bagi aparat birokrasi untuk bertindak korup, melanggar aturan demi mendapatkan imbalan materi.Spanduk-spanduk yang menggelorakan semangat antikorupsi pun terlihat sudah terpampang di kantor-kantor pelayanan publik,di kantor pemda,pelayanan pajak,dan sebagainya.

Tapi praktiknya kebanyakan masih terjadi pungutan liar (pungli) atau budaya uang pelicin agar urusan jadi mudah dan cepat. Padahal semestinya memberikan pelayanan yang mudah dan cepat kepada masyarakat adalah bagian yang melekat pada diri seorang birokrat sejak dia dilantik menjadi pegawai pemerintah. Kalau dilihat dari perspektif hukum pasar korupsi bisa terjadi karena ada penawaran dan permintaan.

Awalnya masyarakat yang ingin mendapatkan keistimewaan layanan dengan sukarela memberi imbalan materi kepada aparat birokrasi yang membantunya.Karena gaji yang paspasan, oknum aparat mulai menikmati hasil dari memberi keistimewaan itu.Tapi,lama kelamaan,terjadilah manipulasi dengan slogan yang sangat akrab di telinga kita: kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah? Kalau ingin mendapat pelayanan cepat harus bayar lebih besar.

Akhirnya wilayah pelayanan publik menjadi lahan bisnis yang menggiurkan dan oknum pelayan publik seperti Gayus mampu menggunakan peluang itu untuk memperkaya diri dengan mengumpulkan uang hingga ratusan miliar rupiah. Posisi masyarakat yang seharusnya dilayani dengan baik oleh aparat birokrasi menjadi sulit ketika harus berhadapan dengan wilayah bisnis yang menggiurkan tadi. Bagi yang kebetulan mampu dan memiliki akses kepada para pejabat,pasti tidak jadi soal.

Dia bisa menggunakan pengaruh uang dan aksesnya itu untuk memperoleh pelayanan yang supermewah. Kalau perlu aparat birokrasinya yang datang ke rumah untuk mengantarkan langsung pelayanan itu.Tapi bagaimana dengan jutaan masyarakat kita yang lain yang tidak mampu dan tidak punya akses seperti sekelompok orang yang mendapatkan fasilitas serbamewah tadi? Jangankan dilayani, banyak calon pasien pemegang kartu miskin yang ditolak saat akan berobat di rumah sakit yang sudah ditunjuk pemerintah.

Mereka harus menunggu berjam-jam, berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun untuk mendapatkan pelayanan yang mestinya sudah diatur limitasi waktunya sesuai peraturan dengan yang ditetapkan pemerintah.Terkadang atau bahkan seringkali masyarakat yang ingin membayar pajak pun kesulitan saat berhadapan dengan aparat birokrasi. Fakta-fakta semacam ini harus dijadikan pembelajaran. Jangan hanya bereaksi saat media massa menyorotnya.Ketika sudah ada isu lain yang jadi fokus perhatian kemudian hilang begitu saja dan ini sudah berkali-kali terjadi.

Kita berharap kasus Gayus bisa menjadi momentum penting untuk membuka kotak pandora.Kita yakin masih banyak aparat birokrat kita yang memiliki integritas tinggi dan sungguh-sungguh tulus melayani masyarakat dengan senyum.Tapi mungkin saja mereka yang berintegritas ini sedang tertekan oleh oknum-oknum yang bermental korup itu sehingga tidak berani bersuara. Kita berharap aparat-aparat berintegritas tinggi ini merupakan silent majority yang sedang menunggu datangnya seorang pemimpin yang berani dan patut diteladani dalam memberantas korupsi.(*)

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/374446/
Share this article :

0 komentar: