BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Liga Para Menteri

Liga Para Menteri

Written By gusdurian on Minggu, 09 Januari 2011 | 11.59

Di tengah persaingan antara Liga Super Indonesia dan Liga Primer Indonesia, terdapat kompetisi yang lain,yakni ketar-ketir para menteri yang hendak di-reshuffle.Isu ini merebak sejak pertengahan tahun lalu.

Entah mengapa, pergantian posisi di kabinet selalu mengundang reaksi. Padahal, bagi negara yang matang berdemokrasi dan paham sistem presidensial, tidak masalah menteri diganti kapan pun. Menteri jelas pembantu presiden.Menteri juga tak termasuk dalam lembaga negara. Pergantian menteri paling cepat terjadi dalam sistem parlementer, terutama era 1955–1959. Kabinet jatuh bangun dalam hitungan bulan.

Sistem yang “anomali” ini dianut oleh para pendiri republik untuk menyambut kedatangan bala tentara Sekutu yang menang perang.Kebetulan pasukan Inggris yang memimpin pendaratan di Hindia Belanda. Inggris menganut sistem parlementer di negaranya dengan Perdana Menteri Winston Churchill. Indonesia menampakkan diri sebagai negara demokrasi.

Setelah penyerahan kedaulatan dari tangan Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, sistem presidensial yang “manipulatif” dari sisi penerapan diganti. Sistem parlementer diberlakukan mutlak dengan adanya UUD Sementara 1950. Sistem ini dipakai setelah pemilu diadakan pada tahun 1955. Karena kegagalan dalam menyepakati UUD baru, sistem parlementer diakhiri dengan Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959. Setelahitu,
menteriadalahpembantu presiden.

Jumlah menteri pernah mencapai seratus orang di masa Soekarno. Para mahasiswa “angkatan 1966” bergerak agar kabinet itu di-retool.Pergantian ke masa Soeharto memunculkan efisiensi jumlah menteri. Namun, justru di zaman modern dengan teknologi yang semakin maju jumlah menteri bertambah lagi.

Dalam Kabinet Indonesia Bersatu II,para wakil menteri dihidupkan di sejumlah kementerian. Belum lagi sejumlah direktorat dimekarkan.Pegawai negeri sipil ditambah, baik di pusat ataupun di daerah. Para PNS ini menjadi birokrasi yang tunduk kepada para menteri.Ujung-ujungnya,mereka adalah pelayan publik,sekaligus pembantu presiden.

Menteri-Menteri Pilihan

Masalahnya, di tengah minimnya kecakapan yang dimiliki oleh paracalon presiden—sebagaimana mengemuka hari-hari belakangan ini—sudah selayaknya para menteri berasal dari kualifikasi yang terbaik. Tidak masalah mereka berasal dari kalangan partai politik ataupun bukan, para menteri perlu memasuki fase-fase fit and proper testterbuka di depan publik.

Jangan sampai presiden menjadi individu yang semena-mena memilih menteri,hanya karena dasar pertimbangan subjektif semata. Presiden Soeharto baru “berhasil” mendapatkan sejumlah menteri terbaik pada era Kabinet Pembangunan IV dan V (tahun 1983-1993). Para menteri itu ada yang di-rolling, misalnya dari bidang perekonomian ke bidang kesejahteraan rakyat. Sosok seperti Prof Dr Emil Salim yang dikenal sebagai ekonom, malah di kemudian hari lebih diingat sebagai ahli lingkungan hidup.

Diakui atau tidak, para menteri itu direkat oleh kesamaan almamater atau minimal kesamaan bidang,yakni ekonomi. Tapi, menteri-menteri pilihan seperti itu hanya bisa diambil oleh seseorang yang sudah melewati fase “jatuh-bangun” seperti Presiden Soeharto dengan waktu pemerintahan panjang. Selain itu, sistem relatif tertutup,penuh pengendalian, serta dikenal sebagai zaman demokrasi Pancasila yang mendekati negara totalitarian.

Di belakang konsep dan kebijakan ekonomi,serta pembangunan yang mengikuti, selalu tersedia pengawalan penuh oleh tentara. Stabilitas politik dan keamanan menjadi unsur penentu bagi pembangunan, pertumbuhan, dan pemerataan. Model seperti itu berubah dalam era reformasi. Faktor yang utama sepertinya dukungan atau garansi politik. Hal itu dimulai sejak Presiden Abdurrahman Wahid,sampai sekarang. Loyalitas menjadi alat ukur,disertai dengan seberapa kuat dukungan publik kepada masingmasingsosok.

Darisini,faktorpolitik menjadi penting, di samping yang utama sebetulnya kedekatan dan kenyamanan dari sang presiden yang memiliki kekuasaan tunggal sistem presidensial. Akibatnya,pilihan-pilihan yang tersedia menjadi amat terbatas. Saya bersyukur pernah berdebat dengan sebagian besar menteri Kabinet Indonesia Bersatu II, terutama yang menjadi tim kampanye nasional SBY-Boediono.

Mereka memang orang-orang yang memiliki jerih payah tersendiri untuk membela pasangan SBY-Boediono. Jerih payah itu dibayar dengan lunas, yakni jabatan menteri atau jabatan lainnya.Tanpa memiliki kontribusi politik dalam pemenangan pilpres, mustahil ada peluang untuk menjadi menteri di kabinet.

Terobosan Mencari Menteri

Tetapi, terdapat kelemahan mendasar dari “transaksi politik” untuk menjadi menteri ini. Saya mendapat sejumlah cerita dari orang-orang yang menolak menjadi menteri, terutama karena memiliki loyalitas juga kepada pasangan yang kalah pilpres. Padahal, dari sisi kualifikasi, mereka memiliki kemampuan dan juga pengalaman, jaringan dan pengetahuan.

Akibatnya, pilihan presiden terpilih menjadi terbatas. Kalau pola ini dipertahankan, bisa dipastikan bahwa justru semakin sedikit orang yang mau atau bisa menjadi menteri dari kalangan terbaik.Siapa yang benar-benar mau mempertaruhkan kompetensinya untuk mendukung Kristiani Yudhoyono atau Aburizal Bakrie atau Hatta Rajasa sedari awal? Ya, bisa dipastikan hanya berasal dari kalangan politisi.

Bagaimana dengan kalangan profesional, kaum cendekiawan atau dunia usaha yang memiliki skilltinggi? Selayaknya mulai dipikirkan semacam Liga Para Menteri ini. Tidak hanya sekadar pemberitaan media, melainkan sistem kompetisi yang terbuka,namun sekaligus juga memiliki risiko tersendiri. Menjadi pengurus partai politik, misalnya, adalah cara yang selama ini tersedia.Tetapi,bisakah dengan cara lain yang lebih elegan yang memungkinkan seorang guru besar tetap mengajar, namun memiliki preferensi politik atas dasar kesamaan ideologi atau platform?

Persoalannya, sedikit yang berani menunjukkan preferensinya. Kalaupun ada,nada yang keluar terasa emosional, bukan lagi rasional. Media sosial seperti Twitter,misalnya, adalah tempat yang paling banyak digunakan untuk men-diskreditkan sosok-sosok yang punya nama di dunia nyata.Para pemilik akun semakin mudah memberikan persepsi dan opini, tanpa perlu verifikasi. Tanpa ada terobosan penting dalam memilih para menteri,maka bisa dipastikan para menteri yang terpilih nanti akan (kembali) jadi bulan-bulanan publik yang semakin cerdas.

Komunalitas maya memberi peluang untuk itu, sehingga siapa pun yang hadir dengan mudah terkena stigma. Para menteri juga dengan sangat terpaksa menyewa konsultan pencitraan agar terlihat lebih berkualitas di publik. Individualitas dan sentuhan personal menjadi hilang, digantikan dengan beragam alat bantu yang dipegang dan dikendalikan oleh industrialisasi kalangan spin doctoratau surveyor.

Akibatnya? Sosok para menteri bukan lagi manusia yang berani melakukan terobosan, tetapi manusia pengecut yang hanya memikirkan agar kursinya tak hilang. Ketakutan seorang pembantu presiden. Ketakutan seseorang yang sedang memegang tangkai sapu di Istana Negara dengan fasilitas mewah.(*)

Indra J Piliang
Dewan Penasihat
The Indonesian Institute
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/374445/
Share this article :

0 komentar: