BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Karni dan Kasiem dalam Sketsa Wajah Penegakan Hukum

Karni dan Kasiem dalam Sketsa Wajah Penegakan Hukum

Written By gusdurian on Minggu, 09 Januari 2011 | 12.01

Tahun 2011 baru saja kita jelang,tetapi kabar tentang lemahnya penegakan hukum di negeri ini masih saja menghampiri. Pelakunya adalah Karni dan Kasiem warga Bojonegoro.

Kasiem, 55, adalah narapidana yang terjeratkasuspupukbersubsidida
n dihukum oleh pengadilan dengan pidana penjara selama 3 bulan 15 hari. Kasiem menolak untuk menjalani masa hukumannya dan akhirnya digantikan oleh Karni yang butuh uang untuk membayar utangnya sebesar Rp7,5 juta. Skenario ini ditengarai turut disutradarai oleh pengacara Kasiem. Untungnya hal itu tidak berjalan mulus karena diketahui oleh tetangga Kasiem yang saat itu datang ingin menjenguk Kasiem dan terkejut ketika mendapati yang ditemuinya bukanlah Kasiem.

Kemudian dia melaporkan hal ini kepada pihak yang berwajib dan kemudian berita ini tersebar luas kepada masyarakat melalui media. Pertanyaan besarnya adalah bagaimana bisa seorang narapidana mengatur sebuah rencana untuk menghindar dari jeratan hukum dengan memanfaatkan “joki”? Istilah ini pun menjadi istilah baru di dunia hukum Indonesia setelah sebelumnya istilah plesetan ini lazim hanya kita kenal dalam istilah three in one dan ujian masuk perguruan tinggi. Karni dan Kasiem seolah menjadi sketsa wajah buruk penegakan hukum. Kasus ini menunjukkan selalu ada kesempatan untuk menjalankan teori demand and supply bagi pihak yang terbelit masalah hukum dan bagi para penegak hukum.

Selalu Terjerembab

Negeri ini seolah tidak mau belajar dari semua peristiwa hukum yang menciderai rasa keadilan masyarakat. Dari kasus ini setidaknya ada beberapa hal yang dapat menjadikan catatan bagi kita tentang permasalahan hukum di negeri ini.Di antaranya,pertama, masalah kemiskinan.Pemerintah harus melihat proses penegakan hukum sebagai mata rantai yang kait-mengait, bagaimana bisa memberantas korupsi dan perbuatan kriminal lainnya jika saja kesejahteraan masyarakat masih sangat rendah? Marx dan Engels mengatakan permasalahan utama yang mendorong seseorang melakukan kejahatan adalah permasalahan ekonomi.

Himpitan ekonomi membuat Karni tak mampu berpikir secara jernih bahwa apa yang dilakukannya bertentangan dengan hukum. Kasus ini juga menunjukkan bahwa rasa takut terhadap pelanggaran hukum sudah berkurang. Bahkan Karni rela menjadi joki di penjara yang harusnya angker. Meskipun demikian pembelajaran hukum untuk menciptakan shock therapy kepada publik atas kasus ini tidak boleh dilupakan sehingga tidak terjadi lagi adanya episode Karni dan Kasiem di waktu mendatang. Kedua, lemahnya koordinasi antarpenegak hukum. Hal ini merupakan PR terbesar yang harus segera diselesaikan antarinstitusi penegak hukum.

Selama mind set yang terpasang masih bersifat individu institusi, selama itu pula celah-celah hukum yang rentan diselewengkan dapat dilakukan dengan leluasa.Andai saja koordinasi itu berjalan baik,tentu tidak mungkin dapat seorang mengelabui pihak lembaga pemasyarakatan. Rasanya kejahatan sistemik dan direncanakan adalah pola favorit yang dipakai oleh pelanggar hukum dan penegak hukum sehingga langkah selanjutnya adalah dengan mengefektifkan fungsi pengawasan internal lembaga yang selama ini tidak berjalan dengan baik.

Dalam Pasal 270 KUHAP jelas bahwa eksekutor putusan pengadilan adalah jaksa sehingga dalam kasus ini pihak kejaksaan harus menginvestigasi secara tegas apakah ada oknum jaksa yang terlibat. Momen ini menjadi tepat ketika para adhyaksa sedang mengumandangkan program reformasi birokrasi di lingkungan kejaksaan. Sudah selayaknya aparat penegak hukum berpikir secara out of the box, tidak lagi memikirkan ego institusi dan imejnya agar tidak jatuh di mata masyarakat dalam menyelesaikan kasus yang melibatkan anggota institusinya.

Karena sesungguhnya potret buram penegakan hukum di negeri ini tidak luput dari sentuhan-sentuhan oknum nakal. Sayangnya lempar tanggung jawab masih terasa ketika kasus Kasiem ini terekam dalam liputan media yang meminta penjelasan dari beberapa pejabat yang berwenang dalam kasus ini. Mereka seakan merasa tidak bertanggung jawab dalam peristiwa ini.

Pendidikan Hukum

Ketiga, yang tak kalah penting tapi kadang terlupakan adalah permasalahan pendidikan hukum. Sampai detik ini belum ada terobosan yang dapat mengonversi kegagalan pendidikan hukum kita untuk dapat menciptakan penegak hukum yang berintegritas baik. Kita disibukkan dengan penguasaan bahasa asing serta kemampuan penunjang lain. Mahasiswa hanya diberi pengetahuan yang sifatnya teknis sehingga orientasinya adalah nilai dan bukan pemaknaan terhadap ilmu hukum yang dia pelajari.

Tidak jarang perkuliahan hanya menjadi sarana pelengkap dan meningkatkan status sosial.Apa yang diharapkan dari sistem seperti ini untuk dapat memberikan kontribusi dalam dunia penegakan hukum? Kadang kala mereka akan teralienasi dari hukum itu sendiri. Mereka paham hukum, tapi menjadi regenerasi para pelanggar hukum karena hukum tak terinternalisasi dalam diri mereka. Keempat, kerja konkret untuk menangani kasus hukum secara serius dan profesional.

Selama ini kesungguhan aparat penegak hukum, khususnya dalam menangani kasus hukum di negeri yang mendapatkan sorotan publik, masih jauh dari harapan. Misalnya tidak terdengar lagi kabar penyelesaian kasus rekening gendut Polri. Masyarakat juga kembali harus memahami bahwa kasus Century hanyalah kasus yang penuh muatan politik sehingga tidak ada upaya untuk mendorongnya ke jalur hukum. Dan berapa banyak lagi kasus yang masih terekam di memori kita masing-masing terkait dengan penegakan hukum yang memenuhi rasa keadilan.

Kelima, peran masyarakat dalam mengawal kasus hukum. Gerakan masyarakat yang bersifat gerakan moral akan menjadi lebih efektif sebagai pressure group terhadap aparat penegak hukum yang coba bermain-main dengan pelanggar hukum atau sebaliknya penegak hukum yang “menyaru” jadi penegak hukum. Masyarakat dewasa ini sudah semakin kritis sehingga diharapkan pengawalan kasus hukum dapat terus dilakukan oleh masyarakat untuk mengingatkan penegak hukum agar terus meningkatkan kinerja dalam rangka menegakkan keadilan.

Raut wajah keriput dalam sketsa tergambar dalam penegakan hukum kita. Hukum kita memperlihatkan kelelahan akan 65 tahun usianya yang tak kunjung meraih mimpi hidup sejahtera. Kondisi fisiknya pun semakin buruk karena komplikasi penyakit KKN, ditambah lagi polarisasi patologi para elite politik yang begitu haus akan kekuasaan.

Itu menjadikan mereka sebagai penyelenggara negara yang harusnya sibuk bekerja memikirkan bangsa ini, tetapi ternyata hanya dapat berpikir bagaimana caranya untuk melanggengkan kekuasaan yang dimiliki. Harusnya dalam usia yang setua ini wajah hukum dalam sketsa itu tampak tersenyum untuk menjalani masa depan yang indah dan penuh harapan bagi anak cucunya kini, esok,dan nanti.(*)

Hery Firmansyah
Dosen Fakultas Hukum
UGM Yogyakrta

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/374447/
Share this article :

0 komentar: