Indonesia gudangnya cerita absurd, paradoks, dan irasional. Kita
sekarang tahu negeri ini semakin merosot justru karena pengelola
negara semakin kaya dengan kekayaan yang juga absurd.
Bayangkan seorang guru besar yang telah pensiun sesudah mengabdikan
diri mendidik para sarjana selama 40 tahun! Ia mendapatkan pesangon
pensiun sebesar Rp 34 juta dan uang pensiun setiap bulan Rp 2,5 juta.
Bandingkan dengan seorang pegawai pajak berusia 30 tahun yang berhasil
meraup uang negara puluhan—mungkin ratusan—miliar rupiah dan dihukum
tujuh tahun penjara. Belum lagi ribuan cerita absurd lain di negeri
ini.
Benarlah cerita pendek Somerset Maughan tentang belalang yang rajin
dan belalang yang malas menghadapi musim dingin. Tak usah rajin
bekerja di republik ini sebab para pemalas yang akan menikmati kerja
keras orang lain. Para pemalas itu bisa berstatus pejabat apa pun. Tak
mengherankan bahwa banyak kandidat pejabat yang rela menjual sawah,
ternak, bahkan rumah buat merintis jalan menduduki kursi jabatan.
Jabatan adalah kekuasaan. Dengan kekuasaan yang tak terkontrol siapa
pun, meski tersedia lembaga kontrol, Anda akan jadi despot gurem yang
cukup ampuh menilep hasil kerja keras belalang-belalang bodoh yang
masih percaya kisah moral macam itu.
Kekuasaan tidak bermoral
Rakyat negeri ini dikenal dan mengaku diri religius serta menjunjung
tinggi moral. Namun, apabila kekuasaan sudah tak bermoral, orang-orang
baik menjadi orang-orang bodoh. Di tengah belalang bodoh semacam itu,
si jahat bebas melakukan hukumnya sendiri yang berbalikan dengan
moralitas.
Terjadilah hukum terbalik di Indonesia: yang kerja keras tetap miskin,
yang tak bekerja justru kaya; yang jujur selalu salah, yang tak jujur
selalu benar; kejujuran adalah kebohongan, kebohongan adalah
kejujuran; yang profesional tak dipakai, yang amatir justru berkuasa.
Hukum terbalik inilah yang membuat negara dan bangsa bukan berjalan
maju, melainkan berjalan mundur. Bukan tak ada menjadi ada, tetapi
dari ada semakin tak ada. Indonesia pun menjadi tidak-Indonesia.
Hukum terbalik Indonesia ini hanya dapat dikembalikan dengan hukum
kewarasan kembali, yakni yang ditindas menjadi penindas, yang miskin
menjadi kaya dan yang kaya dimiskinkan, yang profesional mengganti
yang amatir, yang kriminal adalah kriminal, dan yang pahlawan adalah
pahlawan. Belalang rajin makan saat paceklik serta belalang malas dan
bodoh akan kelaparan.
Sekarang ini absurditas masih realitas bahwa kriminal adalah pahlawan
bangsa, sedangkan pahlawan sejati dijadikan kriminal. Negara ini
sedang menjadi negara kaum kriminal, tetapi para kriminal bukan masuk
penjara, justru menjadi para pahlawan bangsa. Apa beda antara pahlawan
dan kriminal?
Logika sekarang menyatakan: tidak ada bedanya. Semakin Anda brutal
dalam kriminal, dan dengan demikian kaya raya, Anda akan mendapatkan
pemuja-pemuja. Mereka bagai anjing-anjing yang setia menanti remah-
remah kriminalitas Anda.
Itulah sebabnya, para syahid korban kriminal ini menjelang kematian
tidak mau dikuburkan di taman makam pahlawan. Taman makam pahlawan
telah menjadi taman kriminal. Kalau mau menengok kuburan orang-orang
syahid Indonesia, lebih baik pergilah ke kuburan-kuburan rakyat
jelata, korban dari para pahlawan bangsa sekarang ini.
Semar gugat
Ada cerita dalam wayang Jawa tentang Semar gugat. Tokoh yang dipuja
orang Jawa ini hanyalah abdi atau hamba para kesatria Pandawa.
Wujudnya paradoks, lelaki tetapi ditampilkan berpayudara seperti
perempuan dalam fisiknya yang kebulat-bulatan. Dia adalah wakil rakyat
kecil. Namun, sebenarnya Semar yang juga bernama Ismaya atau Maya
adalah saudara kembar Manik atau Batara Guru yang berkuasa atas dunia
dan isinya.
Dalam cerita itu, Batara Guru sering memutuskan secara tidak adil
nasib manusia. Kita lihat bahwa para dewa saja bisa tidak adil,
apalagi dewa-dewa Indonesia sekarang. Melihat para majikan Semar
diperlakukan tidak adil oleh Batara Guru, Semar marah besar. Pandangan
matanya yang senantiasa berair dan kabur itu tiba-tiba mengalirkan air
mata terus-menerus. Perutnya menjadi mual dan kembung oleh
ketidakadilan sehingga kentut terus-menerus.
Bau kentut Semar bisa membuat mabuk para dewa, bahkan mematikannya.
Semar, yang hamba dina ini, akan naik ke swargaloka untuk menghajar
kembarannya, Batara Guru. Dengan mudah sang dewa penguasa itu dibekuk,
minta ampun, dan akhirnya berjanji akan berbuat adil.
Para guru besar, pengusaha jujur, atau petani yang keras bekerja di
terik matahari adalah Semar. Mereka cuma hamba-hamba pelayan
masyarakat yang telah lama diperlakukan tak adil oleh para dewa
kriminal.
Mata mereka tak rembes alias berair dan tak bisa kentut. Namun, mereka
adalah kekuatan terpendam: bisa marah seperti Semar berkulit hitam
legam. Si hitam ini akan mampu membekuk Batara Guru yang kuning.
Yang kuning dijadikan hitam dan yang hitam menjadi kuning. Hukum
terbalik itu sudah kodrati, tak bisa dihindari seperti hukum kematian
manusia. Begitu juga kriminal tak selamanya pahlawan.
Negeri ini tinggal tunggu waktu kapan jam 12 malam akan tiba, saat
Semar dan anak-anaknya muncul di layar wayang. Itulah saat Semar
menggugat kekuasaan yang sungsang terbalik ini.
Jakob Sumardjo Esais
http://cetak.kompas.com/read/
0 komentar:
Posting Komentar