BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Menjernihkan Pemahaman Tragedi 1965

Menjernihkan Pemahaman Tragedi 1965

Written By gusdurian on Sabtu, 22 Januari 2011 | 08.25

KABAR KONFERENSI HARI I



Rekonsiliasi sebuah keniscayaan untuk Indonesia tapi tak mudah
mewujudkannya

Berbeda dengan Afrika Selatan yang akhirnya berhasil melakukan
rekonsiliasi di bawah kepemimpinan Nelson Mandela, Indonesia hingga
kini masih terus berjuang mewujudkannya – terkait kasus 1965. Berbagai
upaya terus dilakukan. Namun, hanya pemerintahan Gus Dur yang berani
dan mau melakukannya. Selebihnya, upaya rekonsiliasi dikerjakan hanya
oleh bagian-bagian kecil yang ada di negeri ini.

Tentu tidak adil membandingkan upaya dan hasil rekonsiliasi kedua
negara. Meskipun sama-sama bekas negara jajahan, Indonesia dan Afrika
Selatan punya banyak perbedaan. Dalam banyak hal, Indonesia jauh lebih
beragam dibanding Afrika Selatan. Yang tidak kalah penting adalah,
pemahaman terhadap Peristiwa 1965 sendiri.

Sebagaimana berwarnanya kehidupan yang dimiliki Indonesia, masalah
1965 pun sangat berwarna sudut pandang dan penafsirannya. Peristiwanya
sendiri pun sangat kaya warna kepentingan. Tidak hanya kepentingan-
kepentingan dari dalam negeri, dari luar negeripun turut serta,
berkait kelindan.

Konteks perpolitikan global dekade 1960-an yang diwarnai oleh makin
meningginya intensitas Perang Dingin, jelas sangat berandil terhadap
kondisi perpolitikan di Indonesia. Kedua blok berupaya mempengaruhi
Indonesia menjadi sekutunya. Berbagai upaya terus mereka lakukan.

Bagi Indonesia sendiri, kemerdekaan dari “cengkeraman” kedua blok
tetap masih kuat. Presiden Sukarno yang sejak Juli 1959 menjadi
semakin kuat, terus mencoba menjaga keseimbangan posisi Indonesia.
Sukarno bahkan menggalang negara-negara baru untuk membentuk blok
tersendiri di luar Blok Barat dan Timur. Bersama PM Nehru (India),
Marsekal Tito (Yugoslavia) dan beberapa tokoh negara-negara dunia
ketiga lain, Sukarno berhasil membentuk Non Blok. Sepakterjangnya di
pentas perpolitikan global kian menguat. Sukarno terus mengupayakan
terbentuknya satu tatanan global yang baru. Soekarno terus membangun
kesan sebagai motor terwujudnya dunia baru. Selain Ganefo, “Ganyang
Malaysia” menjadi salah satu kampanye terpopuler Sukarno saat itu.

Bagi Barat, upaya pengencangan pengaruh kepada Indonesia makin
penting. Melalui jenderal-jenderal di Angkatan Darat dan beberapa
intelektual, kerjasama terus mereka upayakan. Bantuan juga terus
mereka kucurkan –dan yang lebih besar tetap mereka janjikan. Mereka
juga aktif merekayasa berita. Inggris melakukannnya dengan tujuan
untuk membuat situasi jadi chaos. Dengan begitu, “Ganyang Malaysia”
bisa dilupakan. Sedangkan AS, selain tetap tidak menginginkan
Indonesia jadi komunis, juga tetap ingin mengendalikan sumber daya
alam Indonesia yang begitu melimpah.

Halangan terbesar bagi Barat dalam mewujudkan kepentingannya, tentu
saja Sukarno dan PKI. Tidak bisa tidak, keduanya harus disingkirkan.
Mereka terus memanfaatkan orang-orang yang berseberangan dengan
Sukarno dan PKI, terutama yang di Angkatan Darat. Mereka juga terus
menunggu momentum yang tepat.

Dalam periode yang sama, perpecahan antara Soviet dan China terjadi.
China tidak ingin kekuasaan terpusat di Moscow saja. Selain itu, China
menganggap dirinya merupakan satu kekuatan tersendiri. Soviet
terancam. Baginya, ancaman dari China jauh lebih penting diperhatikan.

Indonesia yang awalnya condong ke blok Timur, terpaksa harus lebih
keras menjaga keseimbangan terhadap kedua negara itu. Ada kalanya
Indonesia lebih “mesra” dengan Soviet, ada kalanya juga lebih
“romantis” dengan China. Dan, “mereka saat itu berhasil mengatur hal
tersebut,” tulis Bernd Schafer dalam makalahnya, “Setting of the Cold
War”, yang dipresentasikan pada Konferensi internasional “Indonesia
and the World in 1965” yang dihelat dari 18 -21 Januari 2011. Dan, “di
situlah PKI memainkan peran, PKI lebih condong ke China,” tulis
Schafer.

Kondisi dalam negeri Indonesia sendiri terus memanas sejak kabar
sakitnya Sukarno tersiar luas. Pihak-pihak yang berada di sekitar
Sukarno mulai resah mengenai siapa penggantinya. Yang juga tidak kalah
penting, perekonomian nasional terus memburuk hari demi hari. Inflasi
membumbung hingga 600 persen. Pemotongan nilai uang terpaksa
dilakukan. Pihak-pihak yang tidak puas kepada Sukarno terus
memanfaatkan momentum tersebut untuk terus merongrong Sukarno. Dari
dalam, terutama perwira-perwira di AD terus bermanuver. Dari luar, AS
pun makin aktif mengontak orang-orangnya –ini dibuktikan dari
banyaknya dokumen yang kemudian ditemukan. Lalu ada China yang
memanfaatkan hubungan partai komunisnya dengan PKI. Sementara Soviet
sendiri hubungannya dengan Indonesia kian menurun semenjak Indonesia
lebih condong ke Peking. Ketika G30S pecah, sebagaimana ditulis Ragna
Boden dalam “The Soviet Union and the Gestapu Events” yang
dipresentasikan, Soviet hampir tidak memiliki keterlibatan. “Dukungan
Soviet kepada PKI itu tidak bersifat resmi. Jadi reaksi pada saat itu
bersifat oportunistik,” tulis Boden.

Pecahnya G30 menjadi titik balik bagi kekuatan-kekuatan utama di dalam
segitiga politik Indonesia saat itu –PKI, Sukarno, dan Angkatan Darat
– dan juga banyak orang di tingkat bawah. PKI dipecundangi, Sukarno
disingkirkan, dan Angkatan Darat memegang kendali kekuasaan.

Orang-orang yang terkait atau yang dikaitkan dengan PKI, lalu diburu
dan ditangkapi. Partainya dibubarkan dan jutaan dari anggota atau
simpatisannya dibunuh atau hilang tanpa pernah diadili. Momen tersebut
juga dijadikan ajang balas dendam orang-orang yang tidak suka kepada
PKI atau dalam banyak kasus, ajang fitnah. Sebagaimana dikatakan
Baskara T. Wardaya, perintah pembunuhan datang dari atas. Pembantaian
terhadap mereka menjadi peristiwa berdarah terkelam dalam sejarah
perjalanan Republik.

Apa yang terjadi pada 30 September (dini hari 1 Oktober) dan
pembantaian massal yang mengikutinya, menurut John Roosa merupakan dua
hal yang berlainan. Dalam paper-nya, “Soeharto, Faust, Yudhisthira and
the Killing of Prisoners”, Roosa tetap ingin mempertahankan argumennya
bahwa G30S merupakan dalih untuk membantai para anggota PKI dan mereka
yang dituduh PKI.

Pemahaman lebih jernih atas kedua peristiwa tersebut bagi Roosa sangat
penting. Sebab, hingga kini banyak hal yang belum bisa kita pahami.
Tujuannya, untuk mencapai harmonisasi antara internal-internasional.
“Dikotomi tersebut,” jelas Roosa, “tidak bisa kita tiadakan, tetapi
kita bisa memandangnya lebih terstruktur.”

Demikian antara lain benang merah konferensi hari pertama “Indonesia
and the World in 1965”, yang dihelat di Goethe Institute Jakarta.
Dalam konferensi hari pertama ini, pemakalah yang hadir adalah, Bernd
Schafer dengan makalah “The Setting of the Cold War”, Baskara T.
Wardaya dengan makalah “The 1965 Massacre in Indonesia and Its
Context, John Roosa dengan makalah “Soharto, Faust, Yudhisthira and
the Killing of Prisoners”, Bradley Simpson dengan makalah Introductory
lecture ‘International Dimensions of the 1965-66 Killings in
Indonesia’”, Yosef Djakababa, Ragna Boden dengan makalah “The Soviet
Union and the Gestapu events”, Susanto Pudjomartono.

Sementara itu pada sesi kedua, yang menghadirkan pemakalah Jovan
Cavoski dengan makalah “On the Road to the Coup: Indonesia between the
Nonaligned and China, 1955-1965”, dan Natalia Soebagjo, antara lain
mengetengahkan keterlibatan China yang masih misterius. Sebagaimana
yang umum diketahui, pra G30S Aidit dan beberapa pimpinan PKI
berkunjung ke China. Oleh lawan politiknya, itu dijadikan dalih
sebagai bukti bahwa China memang resmi mendukung. Salah satu bukti
dalih mereka yang sebetulnya rumor, China pernah mengirimkan bantuan
untuk membantu PKI. “Selama arsip-arsip pemerintah China dan Indonesia
tidak dibuka, maka kita tidak akan bisa sepenuhnya menjawab pertanyaan-
pertanyaan ini.”[TIM MAJALAH HISTORIA ONLINE]

http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-404-menjernihkan-pemahaman-tragedi-1965.html
Share this article :

0 komentar: