Perubahan- perubahan pada tingkat global tersebut sulit dihindari oleh anggota masyarakat internasional, apalagi isu-isu yang dibawa oleh perubahan itu tidak lagi mengenal batas wilayah “bermain”. Perkembangan dan perubahan tersebut sebagian, kalau tidak seluruhnya, memengaruhi substansi maupun arah politik luar negeri sebuah negara. Indonesia adalah salah satu negara yang tidak dapat menghindar dari perubahan-perubahan pada tingkat global.
Apa yang ia lakukan dalam hubungan luar negerinya sejak awal tahun 2010 menunjukkan upaya Indonesia untuk melakukan penyesuaianpenyesuaian dalam politik luar negerinya. Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, pada awal tahun 2010, mengatakan bahwa dalam menjalankan politik luar negerinya, Indonesia perlu memperhatikan perubahan lingkungan eksternal.Pernyataan itu mengasumsikan bahwa perubahan- perubahan di lingkungan eksternal menjadi salah satu pertimbangan dalam pengambilan keputusan luar negeri.
Oleh Indonesia perubahan-perubahan itu dilihat bukan hanya sebagai hambatan, tetapi juga peluang politik luar negerinya. Perubahan itu menjadi penting ketika ia membawa pengaruh terhadap Indonesia. Krisis finansial global adalah salah satu contohnya dan sampai batas tertentu mempengaruhi Indonesia.
Karena itu kerja sama internasional Indonesia,bilateral maupun multilateral, menjadi suatu keharusan ketika pengaruh dari krisis itu tidak bisa ditangani secara sedirian. Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa di awal tahun 2010 juga mengatakan bahwa diplomasi multilateral akan menjadi bagian penting dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia selama 2010.
Peran Aktif
Upaya Indonesia untuk menggalang sentimen internasional dalam mengatasi antara lain masalah perubahan iklim, adalah refleksi komitmen Indonesia untuk mengatasi isu-isu internasional bersama. Bisa dimengerti mengapa selama 2010 Indonesia lebih fokus pada penanganan secara multilateral masalah-masalah ancaman pandemik global, krisis pangan dan sebagainya.
Dalam tahun 2010 Indonesia beberapa kali menjadi tuan rumah pertemuan internasional mengenai perubahan iklim.Ini menunjukkan bahwa Indonesia ingin menjadi bagian penting dalam penyelesaian masalah-masalah internasional. Di tahun 2010 ini Indonesia memang menunjukkan keinginannya untuk memperbesar peran internasionalnya baik di tingkat global maupun regional. Semboyannya memiliki “seribu sahabat tanpa musuh” sepertinya menjadi semacam panduan politik luar negeri Indonesia selama tahun 2010 dan untuk tahun-tahun mendatang.
Keinginan Indonesia untuk menjadi bagian dari kolaborasi internasional untuk menyelesaikan masalah-masalah internasional, misalnya dengan mengajukan usul penyelesaian masalah krusial seperti Palestina, pemanasan global, krisis finansial dunia,menunjukkan kepeduliannya terhadap masalahmasalah global dan hal itu perlu diapresiasi. Selain untuk meningkatkan posisi internasional Indonesia, kepedulian itu juga untuk menunjukkan upaya Indonesia untuk memperluas dan memperdalam hubungan luar internasionalnya.
Perangkap Peran
Semboyan Indonesia mencari “seribu sahabat tanpa musuh” dapat dilihat dari latar belakang tersebut. Semboyan demikian muncul di saat Indonesia juga sudah mengalami perubahan fundamental di dalam negeri.Keanggotaan Indonesia di G20,gagasan Indonesia untuk membentuk Bali Democracy Forum dan mengundang negara sebanyak mungkin ke forum tersebut. Juga diterimanya tawaran mediasi Indonesia untuk menyelesaikan masalah-masalah internasional bukan hanya bentuk apresiasi dunia internasional terhadap Indonesia,tetapi juga upaya global Indonesia untuk menciptakan sahabat sebanyak mungkin.
Semboyan “seribu sahabat tanpa musuh” dalam praktiknya sangat sulit diwujudkan dalam beberapa kasus karena beberapa faktor. Pertama,dilihat dari perspektif pemikiran realis klasik,kepentingan nasional menjadi acuan utama hubungan antara negara. Karena itu, sekeras apapun upaya Indonesia untuk “berkawan” dengan seribu negara tidak akan memberikan efek positif bagi kredibilitas internasional Indonesia,utamanya kalau negara yang “diajak berkawan” itu tidak melihat ada prospek untuk mendapatkan manfaat strategik dari “pertemanan” dengan Indonesia.
Jika asumsi demikian benar, maka Indonesia membiarkan dirinya “terperangkap” dalam visinya itu, sebuah visi yang penuh dengan retorika dan tidak memiliki efek praktikal yang positif. Kedua, telah diketahui oleh umum bahwa keanggotaan Indonesia dalam G20 adalah manifestasi dari apresiasi negara-negara maju terhadap peran internasional Indonesia dan kemajuan dalam pembangunan ekonominya.Keberadaan Indonesia di forum itu adalah juga bagian dari upayanya untuk “berkawan” dengan sebanyak mungkin negara.
Tetapi publik di dalam negeri Indonesia belum merasakan hasil optimal dari keberadaan Indonesia di forum itu. Bahkan muncul kritik bahwa keberadaan Indonesia di forum itu hanyalah untuk tujuan pencitraan pemerintah SBY. Yang cukup mengejutkan adalah bahwa di forum G20 tahun 2010, presiden SBY mengatakan bahwa Indonesia mengklaim akan memainkan peran dalam arsitektur ekonomi global di masa depan. Dalam forum itu presiden SBY juga mengatakan Indonesia akan menjadi “kekuatan dunia/world power” dalam jangka waktu 10 hingga 15 tahun.
Pernyataan demikian dinilai ambisius, karena tidak memperhatikan kondisi riil Indonesia saat ini dan di masa depan. Untuk menjadi kekuatan dunia, negara tersebut harus memiliki keseimbangan antara kekuatan militer dan ekonomi.Indonesia jelas tidak memiliki kualifikasi itu. Dalam forum G20 itu,Indonesia bukan hanya terperangkap dalam iron cage negara-negara maju G20 karena harus memenuhi persyaratan pemberian bantuan ekonomi negara-negara Barat, tetapi juga “terjebak” dalam “mimpi” untuk menjadi kekuatan dunia, sesuatu yang sangat tidak mungkin dapat direalisasi,bahkan dalam waktu 20 tahun sekalipun.
Ketiga,gagasan Bali Democracy Forum memang bagus dan ini adalah bukti komitmen Indonesia untuk ikut mendukung proses pengembangan demokrasi di negaranegara lain dan mencari kawan sebanyak mungkin.Tetapi forum ini bisa menjadi ajang bagi negaranegara lain untuk menyaksikan kemunduran dalam proses demokrasi di Indonesia jika hal itu memang benar terjadi.
Kalau misalnya dalam forum itu Indonesia gagal memperlihatkan praktik terbaiknya dalam berdemokrasi, maka ia akan terjebak secara permanen dalam agenda semacam itu dan ini bisa saja diartikan bahwa semakin banyak negara yang mengetahui kemunduran-kemunduran dalam praktik demokrasi. Keempat, Indonesia adalah bagian dari kerja sama regional dan percaya bahwa kerja sama regional itu akan membawanya pada perluasan dan penguatan hubungan internasional Indonesia.
Tahun 2010 menyaksikan keterlibatan Indonesia secara ekstensif dalam proses regional, baik itu APEC, ARF, KTT Asia Timur maupun ASEAN Plus.Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa pernah mengatakan bahwa keterlibatan Indonesia dalam proses itu akan memandu arah hubungan luar negeri Indonesia di kawasan. Sebagai salah satu negara kunci di Asia Tenggara dan yang akan menjadi ketua ASEAN tahun 2011 Indonesia dituntut tampil optimal dalam proses regional tersebut.
Tetapi peran demikian dapat dilakukan hanya kalau Indonesia memperlihatkan kemajuan berarti dalam proses demokrasi dan menjaga stabilitas dalam negeri.Kegagalan dalam proses tersebut bukan hanya akan membuat citra Indonesia buruk di forum-forum tersebut di atas, tetapi juga akan membuat peran regionalnya menjadi tidak maksimal, karena Indonesia akan terbebani dengan, dan lebih berorientasipada, persoalan-persoalan domestik.
Singkatnya, Indonesia akan kembali terjebak dalam semboyannya “seribu teman tanpa musuh” kalau saja dalam praktiknya Indonesia justru dinilai tidak produktif dalam kerja sama regional. Kelima, hingga pertengahan 2010 Indonesia terus memprakarsai apa yang dikenal dengan sebutan interfaith dialog.
Untuk Indonesia, ide demikian bukan hanya untuk mencari kawan sebanyak mungkin, tetapi juga untuk membantu menjaga kerukunan antar umat baik pada level nasional maupun global.Tetapi proses demikian akan kontra produktif jika saja Indonesia gagal membangun kerukunan antar umat di level domestiknya dan ini dapat menjadi contoh buruk bagi para peserta dialog itu.
Investasi Masif
Tahun 2010 menyaksikan berbagai inisiatif Indonesia dalam hubungan luar negerinya, baik pada level global maupun regional. Indonesia konsisten dalam menjalankan politik luar negerinya yang bebas dan aktif. Apa yang dilakukan oleh Indonesia selama 2010 harus dilihat dalam konteks perubahan-perubahan yang terjadi pada level domestik maupun internasional dan dalam upayanya untuk menyesuaikan dengan perubahan- perubahan tersebut.
Semboyan “seribu kawan tanpa musuh” atau politik luar negeri segala arah (omnidirectional foreign policy) adalahmanifestasiIndonesia untuk menjadi bagian,kalau bukan pemimpin, dari perubahan-perubahan tersebut.Tetapi Indonesia akan terjebak dalam semboyannya itu sendiri kalau secara praktikal ia tidak mampu menerjemahkan semboyan itu dalam aksi-aksi yang lebih konkret karena kegagalannya mengelola masalah-masalah dalam negerinya.
Ini membuktikan korelasi strategik antara persoalan domestik danluarnegeri. Selainitu,semboyan semacam itu juga akan dinilai tidak realistik untuk jangka panjang kalau ia tidak mampu memberikan keuntungan-keuntungan strategik untuk Indonesia. Di atas semuanya itu, kelihatannya dibutuhkan investasi yang masif dalam bidang hubungan luar negeri Indonesia kalau ia tidak mau dilihat pasif dalam politik luar negerinya pada 2011 nanti dan mencegah agar semboyan “seribu sahabat tanpa musuh”itu tidak dinilai sebagai paper tigerbelaka.(*)
Bantarto Bandoro
Peneliti Indonesia Institute
for Strategic Studies (IISS), Jakarta
http://www.seputar-indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar