Terlepas dari cara dan pilihan kalimat yang mungkin terkesan keras,
apa yang dikemukakan para tokoh itu sebetulnya mencoba mengajak
pemerintah untuk tidak terlalu larut dalam indikator makro pembangunan
yang acap kali kurang memerhatikan realitas di tingkat mikro.
Mahbub ul Haq (1983), salah seorang ahli kemiskinan dari kubu teori
ketergantungan, jauh-jauh hari telah mengingatkan, betapa bahayanya
jika para perencana pembangunan terlalu percaya dan memuja angka
statistik, sebaliknya tidak peka pada isu-isu dan persoalan nyata
masyarakat miskin sehari-hari.
Ketika pemerintah atau negara mengklaim telah berhasil menghela laju
pertumbuhan ekonomi dan asyik menghitung tingkat penanaman modal,
biasanya yang dilupakan adalah apakah arus investasi yang masuk itu
dipergunakan untuk kegiatan industri yang ramah tenaga kerja lokal
atau tidak?
Tidak sedikit kasus membuktikan bahwa industrialisasi, yang berhasil
didorong perkembangannya di sejumlah wilayah, ternyata sering kali
lebih banyak menguras kekayaan sumber daya alam, menyebabkan kerusakan
lingkungan, dan bahkan memarjinalkan masyarakat lokal.
Salah satu dosa perencana pembangunan yang paling tidak bisa
dimaafkan, menurut Mahbub, adalah ketika para perencana pembangunan
terlalu terpukau oleh tingginya laju pertumbuhan produk domestik bruto
dan mengabaikan tujuan sebenarnya dari usaha pembangunan.
Kritik Mahbub memang tidak ditujukan kepada Indonesia, tetapi
pertanyaan kritis yang dikemukakan Mahbub kepada negara tempat ia
melakukan studi—Pakistan—sebenarnya bisa juga menjadi bahan
introspeksi bagi Pemerintah Indonesia: Apalah artinya pertumbuhan
ekonomi tinggi jika di sisi yang lain masih terjadi polarisasi tingkat
kesejahteraan dan kesenjangan antardaerah yang mengusik rasa keadilan?
Indikator makro
Mengacu indikator kinerja pembangunan yang diekspos Badan Pusat
Statistik dan bahkan sejumlah lembaga internasional, harus diakui apa
yang dilakukan pemerintah selama ini telah membuahkan hasil:
mendongkrak kembali angka pertumbuhan ekonomi dan mengurangi jumlah
absolut penduduk miskin. Semua itu bukanlah hal mudah sehingga apa
yang dicapai pemerintahan SBY-Boediono tetap perlu untuk diapresiasi.
Akan tetapi, masyarakat miskin tentu bukan sekadar membutuhkan laporan
keberhasilan pembangunan dan angka-angka statistik, bukan pula sekadar
perencanaan program pembangunan yang diskenariokan untuk kepentingan
masyarakat miskin. Mereka terutama membutuhkan program pembangunan
yang benar-benar berjalan efektif, bisa diakses, dan yang tak kalah
penting program itu harus pula bersifat kontekstual.
Di tengah kondisi perekonomian yang masih belum sepenuhnya pulih,
tekanan kebutuhan hidup yang makin mahal, iklim persaingan usaha yang
makin ketat, dan lapangan kerja masih sulit didapat, kita tentu
sepakat bahwa di Tanah Air ini masih banyak keluarga miskin yang
kehidupannya makin terpuruk dan terjebak dalam spiral kemiskinan yang
membelenggu. Sebuah keluarga miskin yang sumber penghasilannya makin
kecil, sementara biaya untuk memenuhi kebutuhan hidup makin melambung,
tentu akibatnya bisa dengan mudah diprediksi: mereka makin rentan dan
papa.
Dalam beberapa kasus, yang disebut keluarga miskin memang terkadang
mampu tetap bertahan dan bahkan bangkit kembali, terutama jika mereka
memiliki jaringan atau pranata sosial yang melindungi dan
menyelamatkan. Tidak sedikit pula keluarga miskin yang berhasil
memberdayakan diri dan keluar dari tekanan kemiskinan setelah mereka
memperoleh dukungan dana dan program dari pemerintah. Namun, seseorang
atau keluarga yang jatuh pada spiral atau perangkap kemiskinan,
umumnya, sulit untuk bangkit kembali.
Seseorang yang dibelit perangkap kemiskinan acap kali tidak bisa ikut
menikmati hasil pembangunan dan justru menjadi korban pembangunan,
rapuh, tak meningkat kualitas kehidupannya, dan bahkan acap kali
justru mengalami penurunan kualitas kehidupan.
Di daerah di mana industrialisasi tengah berkembang sangat pesat,
tidak selalu ada jaminan bahwa perubahan yang terjadi juga melibatkan
partisipasi masyarakat lokal. Bahkan, bukan tidak mungkin masyarakat
miskin yang ada di daerah itu justru hanya menjadi penonton dan
mengalami penurunan taraf kehidupan karena terjadinya proses invasi
dan suksesi pemilikan aset produksi penduduk asli kepada para
pendatang.
Rakyat tak butuh janji
Dalam posisi yang serba tidak berdaya, rentan, dan mengalami proses
marjinalisasi, apa yang dibutuhkan masyarakat miskin bukanlah janji-
janji politik, apalagi klaim-klaim yang sifatnya reaktif. Yang lebih
penting adalah bagaimana pemerintah bersedia turun ke bawah, mendengar
dan menyaksikan langsung berbagai problem yang mereka alami sehari-
hari dan mengembangkan pendekatan yang disebut Robert Chambers (1987)
sebagai pendekatan learning from the people, yakni pendekatan yang
menempatkan masyarakat miskin benar-benar sebagai subyek pembangunan.
Dengan demikian, tugas pemerintah adalah bersedia mendengar apa
sebetulnya yang dibutuhkan masyarakat miskin, dan sekaligus belajar
dari masyarakat miskin tentang cara yang paling efektif dan
kontekstual untuk memberdayakan taraf kehidupan dan meningkatkan
posisi tawar mereka.
Berdebat apakah pilihan kosakata ”pemerintah telah berbohong” itu
terlalu keras dan cenderung provokatif, mungkin perlu dilakukan dalam
rangka menumbuhkan etika berdemokrasi dan untuk menghindari kekeliruan
dalam proses penyampaian pesan.
Akan tetapi, alangkah lebih arif jika kritik sekeras apa pun tidak
lantas disikapi dengan reaktif, tetapi justru diperlakukan sebagai
masukan yang berharga untuk memperbaiki dan memastikan agar program-
program pembangunan yang disusun pemerintah lebih bisa dijamin
efektivitas dan implementasinya di lapangan.
Angka statistik dan kehidupan nyata, bagaimanapun, adalah dua hal yang
berbeda. Bagi masyarakat miskin, apa yang mereka butuhkan adalah
bagaimana pemerintah bisa segera menerjemahkan angka-angka statistik
yang makro itu dalam kehidupan nyata secara berkeadilan.
Bagong Suyanto Dosen Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial di Departemen
Sosiologi FISIP Universitas Airlangga
http://cetak.kompas.com/read/
0 komentar:
Posting Komentar