BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Ironi dan Ilusi Jawa

Ironi dan Ilusi Jawa

Written By gusdurian on Sabtu, 22 Januari 2011 | 09.13

TEROKA



BANDUNG MAWARDI

Bahasa menjadi penentu Jawa. Mantra kekuasaan kolonial membuat Jawa
terbuka untuk dibongkar-dibentuk. Jawa sebagai pengetahuan juga
memungkinkan para Javanalog mengurusi Jawa dalam intimitas dengan
politik kolonial. Jawa mirip adonan ganjil dari ulah ”tuan” dan
”tukang masak” dalam geliat modernitas abad XX dan utopia mendikte
nostalgia. Kisah pelik ini kerap terlupakan oleh klaim-klaim kultural
dan afirmasi identitas eksklusif.

Solo merupakan ruang fenomenal untuk membentuk Jawa. Kekuasaan
tradisional dan modern hidup dalam ketegangan kultural-politik. Raja
merasa memiliki otoritas secara simbolis dan riil untuk mengantarkan
rakyat mencapai utopia. Pemerintah kolonial Belanda melalui agen dan
institusi intensif memaknai Jawa dalam jeratan bahasa, sastra, seni,
ilmu pengetahuan, arsitektur, politik, pakaian, ekonomi, dan gaya
hidup.

Gelagat perubahan dikisahkan dengan apik oleh Takashi Shiraishi dalam
Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (1997).
Intervensi kolonial tampak dari pembentukan Instituut voor het
Javaansche Taal (Lembaga Bahasa Jawa) sejak abad XIX. Lembaga ini
bermetamorfosis menjadi ruang eksperimen dan pembakuan Jawa melalui
perangkat pengetahuan dengan pengesahan akademik di Universitas
Leiden, Belanda. Bahasa Jawa model Solo pun menjadi ukuran baku.

Ironi bahasa

Legitimasi kultural oleh Javanalog dari Belanda dan pemerintah
kolonial mengakibatkan Jawa abad XX adalah bentukan fenomenal.
Shiraishi secara eksplisit memberi konklusi: ”Javanalog Belanda-lah
yang ’menemukan’, ’mengembalikan’, dan membentuk serta memberikan
makna terhadap masa lalu Jawa.” Konsekuensi dari takdir ini adalah
kajian Jawa terpusat di Leiden. Orang Jawa belajar Jawa untuk
menemukan ”harta karun” justru harus pergi ke sarang Javanalog di
Belanda.

Ki Padmasusastra (1843- 1926) juga membenarkan ironi kultural itu
dengan contoh bahasa. Tokoh ini terlibat dan sadar risiko. Ki
Padmasusastra lantang mengungkapkan bahwa telah berlangsung ironi
ketika pengelolaan bahasa Jawa dilakukan oleh ahli linguistik Belanda
atau elite sarjana di bawah restu politik kolonial. Bahasa sebagai
operasionalisasi kekuasaan dan kultural telah luput dari orang Jawa
sendiri. Kolonial menjadi tuan. Bahasa bisa digunakan untuk
menundukkan Jawa biar tak mengekspresikan resistensi atau revolusi.

Proyek membentuk Jawa mendapati sokongan dari keraton, priayi, dan
elite politik. Anak-anak dari Raja dikirim belajar ke Belanda dengan
risiko membenarkan ulah kolonial. Institusi pendidikan, media massa,
penerbitan, dan perpustakaan menjadi agen sistematis.

Agenda yang menafikan

Jawa terus bergerak sampai hari ini dengan lupa dan luka. Bahasa Jawa
tertinggal. Sastra Jawa tanpa sapaan. Tradisi Jawa dalam balutan ilusi
kolonial merana. Keprihatinan ini pun secara intensif dilaporkan pada
negara, lalu disodorkan pada publik agar menjadi beban.

Agenda-agenda untuk penyelamatan atau menghidupkan kembali Jawa
digulirkan dengan modal besar, kebijakan politik, dan seruan. Salah
satu agenda besar adalah rutinitas pelaksanaan Kongres Bahasa Jawa
yang tidak memperlihat geliat kemajuan.

Rekomendasi dari perhelatan prestisius ini sedikit sekali teraplikasi
atau mengindikasikan pencerahan pikiran. Karena beberapa kesalahan
mendasar, seperti ditempatkannya sastra Jawa hanya sebagai wacana
pinggiran atau catatan kaki. Peminggiran peran ini menciptakan
resistensi di kalangan para pekerja sastra Jawa. Mereka yang kemudian
merancang Kongres Sastra Jawa, dengan modal seadanya dan dengan
perhatian nol dari penguasa. Negara menjadi salah satu pelupa
terbesar, dengan mengabsenkan sastra Jawa dari perhatiannya.

Dan kritik pantas terus diajukan karena nasib bahasa dan sastra Jawa
masih sekarat. Pembelajaran bahasa Jawa di sekolah tampak setengah
hati. Penerbitan buku-buku sastra Jawa macet. Kejawaaan pun terimpit
oleh keindonesiaan dan kosmopolitanisme. Jawa terkapar dalam sandiwara
penyelamatan para birokrat dan kaum akademisi.

BANDUNG MAWARDI Pengelola Balai Sastra Kecapi Solo

http://cetak.kompas.com/read/2011/01/22/04241472/ironi.dan.ilusi.jawa
Share this article :

0 komentar: