BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Bencana Iklim: Fakta atau Fantasi?

Bencana Iklim: Fakta atau Fantasi?

Written By gusdurian on Sabtu, 22 Januari 2011 | 09.15

Agus Supangat
PENELITI KELAUTAN YANG BEKERJA DI SEKRETARIAT DEWAN
NASIONAL PERUBAHAN IKLIM

Sudah terbukti bahwa manusia adalah tersangka utama terjadinya
pemanasan global. Mari segera bertindak! Jangan sampai kita mengulangi
sejarah kelam geologi yang pernah dialami planet ini.
anjir yang terjadi di Australia B sungguh mengenaskan. Seperti yang
diramalkan para ilmuwan, perubahan iklim menyebabkan Australia dilanda
hujan lebat di bawah pengaruh La Nina yang kuat di Samudra Pasifik dan
siklon tropis. Pada saat yang hampir bersamaan, Benua Eropa mendadak
dilanda musim dingin berkepanjangan. Sejumlah bandar udara utama di
Eropa tertutup lapisan salju tebal, menahan warga yang hendak mudik
Natal. Dengan fenomena makin ekstrem yang terjadi, masihkah kita
bertanya bahwa bencana iklim adalah fakta atau hanya fantasi manusia?
Belahan Bumi Utara saat ini sedang mengalami fenomena cuaca yang
ekstrem.
Fenomena ini diindikasikan oleh beberapa kejadian ekstrem, seperti
angin beku yang berasal dari Kutub Utara dan Siberia serta udara
dingin yang membentang di sepanjang Greenland dan Islandia yang
menghalangi aliran udara moderat dari Samudra Atlantik. Fenomena ini
diketahui sebagai arctic oscillation dan North Atlantic oscillation,
yang pernah terjadi pada 1981 dan 1962-1963 tapi tidak sekuat yang
terjadi saat ini. Fenomena serupa terjadi di Beijing, yang mengalami
musim dingin terburuk sepanjang 40 tahun terakhir dengan jumlah salju
terbanyak sejak 1951.

Akibat fenomena ini adalah cuaca di belahan Bumi Utara berbeda dari
pola normalnya. Aliran udara yang seharusnya mengalir dari barat ke
timur melalui Samudra Atlantik mengalami perubahan.
Aliran udara yang mengalir di dekat Inggris justru berasal dari utara.
Sebagai gambaran, jika Kutub Utara dipandang dari atas, akan tampak
sirkulasi padat dengan udara dingin berada di atasnya. Udara tersebut
kemudian menyebar ke selatan melalui Inggris, sebagian Cina, dan
sebagian Amerika Serikat.

Analisis mengenai fenomena tersebut muncul, yaitu El Nino sebagai
penyebab perubahan iklim. El Nino memang menyebabkan gangguan pada
pola cuaca di belahan Bumi Utara selama musim dingin. El Nino
membalikkan udara di selatan Pasifik dan arus laut. Akibatnya, terjadi
gangguan aliran udara di sepanjang osilasi Atlantik Utara. Aliran
udara hangat ke Eropa berkurang. Fenomena musim dingin yang ekstrem
merupakan bukti terjadinya pemanasan global. Pada dasarnya, udara di
atmosfer bergerak dari barat ke timur me ngelilingi dunia antara Kutub
Utara dan daerah tropis sehingga udara di Kutub Utara terperangkap.

Akhir-akhir ini aliran udara tersebut membentuk pola tak beraturan
yang meningkat dari waktu ke waktu secara alami.
Perubahan pola tersebut menguat. Berbagai kalangan menilai fenomena
yang terjadi pada skala regional dalam kurun waktu pendek, termasuk
pola cuaca yang tidak normal, justru menguatkan indikasi perubahan
iklim. Sejumlah ilmuwan bahkan berpendapat bahwa musim dingin yang
ekstrem menunjukkan tren perubahan iklim jangka panjang.
Iklim ke depan?
Masih ingatkah Anda kepada film Hollywood berjudul The Day After
Tomorrow (2004), yang pada awal 2011 kembali ditayangkan beberapa
stasiun televisi Indonesia? Film ini menggambarkan bagaimana bencana
iklim melanda Amerika Utara dalam wujud zaman es baru. Kita disuguhi
suatu kemasan fenomena alam yang berkaitan dengan iklim ekstrem,
seperti angin topan, banjir, dan gelombang badai, yang melanda New
York yang sangat mendebarkan. Dari segi saintifik dan bagi para
pemerhati isu perubahan iklim, film itu merangsang pikiran, apakah
bencana iklim tersebut sungguh mulai terjadi?
Badan riset di seluruh dunia di bawah koordinasi Perserikatan Bangsa-
Bangsa mempunyai program internasional tentang pengamatan sirkulasi
arus laut dunia sebagai salah satu pertanda awal perubahan iklim
global. Hasil pengamatan ini kemudian digunakan dalam proyek pengujian
dan simulasi untuk melihat jalannya mesin iklim bumi di masa depan
dengan bantuan model komputer. Hasilnya, tahun 2100 arus laut yang
hangat akan melemah, tapi arus hangat tersebut tidak mengalami
penurunan drastis. Pendinginan akibat melam batnya sebagian sirkulasi
arus laut dunia mengganggu sebagian penghangatan permukaan di Eropa
akibat gas rumah kaca.

Mesin iklim bumi juga akan terganggu setelah tahun 2100. Sirkulasi
arus laut dunia dapat berhenti sepenuhnya dan bahkan mungkin berbalik
arah di salah satu belahan bumi. Semua berpotensi terjadi jika
pemanasan gas rumah kaca berlangsung terus-menerus dalam jangka waktu
yang cukup lama.

Bagaimanapun, masih belum jelas apakah pemanasan dan peningkatan curah
hujan akan memicu mesin iklim melewati ambang batas iklim yang lebih
dingin. Melemahnya aliran arus laut dunia tidak secara otomatis
menjadi penyebab terjadinya zaman es pada masa mendatang. Posisi garis
edar bumi saat ini dan tingginya karbon dioksida di atmosfer
menandakan bahwa zaman es baru dengan lapisan es yang luas di belahan
Bumi Utara mustahil terjadi dalam kurun ribuan tahun, melainkan jutaan
tahun mendatang.
Keadaan di Indonesia?
Indonesia juga tak luput dari fenomena pemanasan global. Hasil
analisis dampak pemanasan global terhadap tinggi muka laut (TML) dan
variabilitas iklim, yang terdiri atas El Nino dan La Nina,
menyimpulkan bahwa Indonesia mengalami kenaikan tinggi muka laut yang
berkisar 0,2-1 sentimeter per tahun dengan rata-rata kenaikan sebesar
0,6 cm per tahun.

Kenaikan TML tertinggi terjadi di Samudra Pasifik sebelah utara Pulau
Papua, yang mencapai 1 cm per tahun. Kenaikan terendah terjadi di
Pantai Selatan Pulau Jawa, yang berkisar 0,2-0,4 cm per tahun.
Model IPCC menunjukkan bahwa tingkat kenaikan tinggi muka laut
berkisar 0,7-0,8 cm per tahun.

Berdasarkan hasil penelitian sejak 2006 (dengan memasukkan perubahan
massa es dinamis dari mencairnya es di Greenland dan Antartika),
tingkat kenaikan TML akan mencapai 175 cm pada 2100 relatif terhadap
TML tahun 2000. Sementara itu, tinggi muka laut pada tahun 2030 naik
sebesar 52,5 cm, tahun 2050 naik sebesar 87,5 cm, dan naik 140 cm pada
tahun 2080.

Kecenderungan ini mendorong makin tingginya abrasi, erosi, dan
genangan air laut yang tidak hanya disebabkan oleh makin tingginya
TML, tapi juga oleh gelombang badai, pasang surut akibat gravitasi
bulan dan matahari, serta La Nina, yang termodulasi dengan tingginya
TML tersebut.

Hasil analisis kejadian extreme events (ENSO) sampai tahun 2100 dengan
menggunakan hasil model untuk SPL di daerah NINO3, menunjukkan
terjadinya kenaikan frekuensi ENSO dari 3 sampai 7 tahun sekali
menjadi 2 tahun sekali. Artinya, Indonesia akan makin sering mengalami
kejadian alam yang luar biasa.

Pada saat terjadi El Nino, tinggi muka laut akan terdepresi sebesar 20
cm di bawah normal. Pada periode La Nina, tinggi muka laut akan
terelevasi sebesar 10-20 cm. Hal ini berpengaruh terhadap risiko
erosi, abrasi, dan genangan air laut, terutama saat terjadi La Nina
dengan intensitas hujan yang lebih tinggi.

La Nina dan El Nino mengakibatkan terjadinya gelombang pasang dengan
variasi dari 2,1 meter sampai 5 meter, meski El Nino tak menimbulkan
dampak signifikan terhadap tinggi gelombang di Samudra Hindia.
Tingginya gelombang laut pada fase El Nino dan La Nina akan
meningkatkan intensitas erosi dan abrasi dengan tingkat kerusakan yang
tinggi. Akhirnya, intensitas El Nino dan La Nina yang makin tinggi
dapat mengakibatkan tingkat perubahan garis pantai yang makin tinggi,
meski tingkat kenaikan tinggi muka laut hanya 1 cm per tahun.

Masihkah Anda bertanya apakah semua fakta ini adalah fantasi yang
dibuat-buat oleh aktivis lingkungan dan ilmuwan-ilmuwan yang paranoid?
Sepertinya tidak.
Sudah saatnya tindakan-tindakan nyata yang sinergis dari individu,
swasta, media, dan pemerintah dilakukan sesegera mungkin. Dimulai dari
hal sederhana, kita harus sadar dan turut andil dalam usaha
menghentikan pemanasan global yang terus terjadi. Sudah terbukti bahwa
manusia adalah tersangka utama terjadinya pemanasan global. Mari
segera bertindak! Jangan sampai kita mengulangi sejarah kelam geologi
yang pernah dialami planet ini.

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2011/01/22/ArticleHtmls/22_01_2011_009_003.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: