BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Indonesia Krisis Pangan?

Indonesia Krisis Pangan?

Written By gusdurian on Sabtu, 22 Januari 2011 | 09.07

Siswono Yudo Husodo

Kekhawatiran akan dampak buruk perubahan iklim pada ketersediaan
pangan mulai merebak di dunia.

Hal itu terutama sejak mantan Wakil Presiden AS Al Gore meluncurkan
buku An Inconvenient Truth yang sangat impresif dan menyadarkan para
pemimpin dunia mengenai bahaya perubahan iklim.

Saat ini badai salju dahsyat di belahan utara telah mengganggu
produksi pangan. Di Queensland, Australia, banjir hebat merusak kebun
tebu dan menghambat ekspor gula. Eropa, AS, dan Australia adalah
produsen sekitar 65 persen pangan dunia. Di Tanah Air hujan
berkepanjangan. Harga produk pangan meningkat.

Di Tanah Air hiruk pikuk wacana publik tentang potensi kelangkaan
pangan cenderung dipersempit pada beras semata. Jenis pangan lain
kurang diperhatikan, padahal manusia makhluk omnivor. Beragam
pangannya bersumber dari tanaman pangan, hortikultura, perkebunan,
peternakan, laut (ikan, rumput laut, garam), dan hutan (madu, jamur,
pakis, porang).

Harga cabai mahal luar biasa. Hujan berkepanjangan bikin banyak cabai
rusak di kebun. Mayoritas penggunaan cabai di Indonesia adalah cabai
segar. Kita belum biasa membuat produk pertanian yang tak tahan lama
menjadi tahan lama, seperti membuat stok cabai kering.

Harga pangan lima tahun terakhir dan harga energi meningkat. Era harga
pangan murah sudah berlalu. Produk pertanian, terutama jagung, ubi
kayu, minyak sawit, dan tetes tebu, bersaing antara penggunaan untuk
pangan manusia, pakan ternak, dan kini untuk energi (etanol).

Andalan dunia

AS pada 2009 menggunakan 40 juta ton jagung untuk etanol. Produksi
jagung nasional kita (2009) sekitar 17,6 juta ton. Sebagai bangsa
berpenduduk nomor empat di dunia, Indonesia harus serius menetapkan
langkah sistematis untuk memenuhi kebutuhan pangan sendiri.

Dianugerahi tanah subur di khatulistiwa dan dapat berproduksi
sepanjang tahun, Indonesia harus terpanggil jadi pemasok pangan tropis
bagi dunia. Masyarakat di berbagai belahan dunia tak dapat hidup
nyaman tanpa produk pangan tropis, seperti kopi, cokelat, lada, pala,
minyak sawit, dan gula tebu. Andalan produsen pangan tropis untuk
memenuhi kebutuhan dunia terutama RI dan Brasil.

Krisis pangan di Indonesia bukan karena pasokan pangan berkurang
drastis, melainkan lebih karena daya beli rakyat yang tak mampu untuk
pangan yang harganya meningkat serta manajemen stok pangan yang kurang
baik. Sekitar 17,4 juta keluarga (70 juta jiwa) termiskin di Indonesia
tak mampu membeli pangan dengan nutrisi memadai. Ini kontras dengan
kelas menengah ke atas yang leluasa mengonsumsi pangan. Restoran
berkelas di kota besar penuh, juga warung pinggir jalan.

Mengatasi kondisi itu, pemerintah mengadakan program beras untuk
rakyat miskin (raskin). Dalam APBN 2011, program raskin menyediakan
subsidi buat 17.483.989 rumah tangga sasaran sebesar Rp 17 triliun: 15
kg beras per keluarga per bulan. Program raskin yang sudah lima tahun
sejak 2005 terbukti cukup membantu. Beberapa aspek perlu diperbaiki.
Misalnya, mengenai kualitas raskin.

Rumah tangga sasaran membeli raskin Rp 1.600 per kg. Dari harga itu,
pemerintah menyubsidi Rp 4.685 per kg. Harga yang dibeli rakyat miskin
sesungguhnya Rp 6.285 per kg. Di pasar umum, beras seharga itu
berkualitas baik. Kenyataannya di berbagai tempat kualitas raskin
memprihatinkan: coklat, bau apek, persentase yang pecah terlalu
banyak, sebagian berulat, dan tak layak makan.

Perlu diingat, bagi kelompok warga berpendapatan rendah, beras adalah
sumber pemenuhan nutrisi utama. Kemampuan mereka terbatas mengonsumsi
jenis pangan lain. Pemerintah perlu jaga kualitas raskin: selain
mengandung karbohidrat, juga protein (meski sedikit) dan vitamin.

Surplus

Seperti laporan Kementerian Pertanian dan BPS, produksi beras kita
meningkat dan surplus dibandingkan dengan kebutuhan. Selama 12 bulan
dalam setahun surplus beras di Indonesia sekitar 2 juta ton: Januari-
Juli surplus 5 juta ton dan Agustus-Desember defisit 3 juta ton.
Manajemen stok yang baik menjadi kunci bagi pengamanan persediaan
sepanjang tahun. Sewaktu bulan surplus, Bulog paling tidak harus beli
beras dalam negeri 4 juta ton dan melepas pada masa defisit. Sisanya
agar tak rusak bisa diekspor. Gudang pun dapat diisi kembali.

Bulog punya 1.160 gudang dan tersebar di lebih dari 400 kabupaten/kota
yang dibangun lebih dari 30 tahun lalu dan merupakan generasi pertama
sistem gudang penyimpanan beras. Dengan kondisi gudang kita, beras tak
bisa bertahan baik lebih dari empat bulan. Artinya, beras di gudang
Bulog maksimum empat bulan harus didistribusikan ke konsumen.

Total kapasitas simpan gudang Bulog 4 juta ton. Sepuluh tahun terakhir
maksimum pembelian beras dalam negeri oleh Bulog hanya 3 juta ton.
Untuk 2010 bahkan kurang dari 1,5 juta ton. Itu sebab di beberapa
tempat gudang Bulog dipakai untuk futsal. Pada 2011 ini, Bulog
berencana mengimpor 1,25 juta ton beras. Sungguh aneh!

Krisis pangan bagi Indonesia dapat juga dilihat dari ketergantungan
kita pada pangan impor yang terus meningkat. Lebih dari 11 miliar
dollar AS dikeluarkan saban tahun untuk impor pangan. Dari Maret 2007
ke Maret 2008 kita mengimpor gula 37,48 persen dari kebutuhan
nasional; garam rata-rata 1,5 juta ton per tahun senilai sekitar Rp
900 miliar dan merupakan 50 persen kebutuhan garam nasional; 70 persen
dari kebutuhan nasional kedelai; 11,23 persen kebutuhan jagung; 15
persen kebutuhan kacang tanah; daging sapi setara lebih dari 750.000
sapi dan merupakan 23 persen kebutuhan nasional.

Krisis pangan juga bisa dilihat dari meningkatnya konsumsi gandum yang
belum bisa ditanam di Tanah Air. Krisis itu akan lebih parah apabila
kebijakan yang tak memberi insentif pada peningkatan produksi terus
dijalankan: bebas bea masuk impor pangan, jeroan Australia dan paha
ayam Amerika murah masuk karena merupakan limbah di negara asalnya.

Kunci keberhasilan ketahanan pangan nasional adalah pada keragaman
pangan. Sukun, sagu, dan ubi kayu yang relatif lebih tahan pada musim
basah yang berkepanjangan perlu digalakkan. Ide menjadikan Indonesia
produsen pangan tropis untuk dunia tak bisa direalisasikan tanpa
perbaikan aspek fundamental, seperti peningkatan skala ekonomi petani
kita.

Siswono Yudo Husodo Ketua Yayasan Universitas Pancasila

http://cetak.kompas.com/read/2011/01/22/04443289/indonesia.krisis.pangan
Share this article :

0 komentar: