BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Gayus Bak Wabah dan Gula

Gayus Bak Wabah dan Gula

Written By gusdurian on Selasa, 18 Januari 2011 | 11.35

RUANG rapat jembar di lantai tiga gedung Komisi Pemberantasan
Korupsi itu menjadi mimbar bagi pengacara senior Adnan Buyung
Nasution. Kamis pekan lalu, ia diundang Komisi membeberkan kelemahan
penanganan perkara dugaan mafia pajak Gayus Halomoan Tambunan, yang
selama ini ditangani Markas Besar Kepolisian RI. Di hadapan pemimpin
dan puluhan penyidik Komisi, Buyung memetakan sejumlah celah hukum
membongkar keterlibatan wajib pajak yang diduga menyuap kliennya itu.

Pekan-pekan ini, KPK memang tengah getol menjaring informasi
untuk memulai penyelidikan perkara Gayus. Yang dibidik para wajib
pajak yang diduga menyuap bekas pegawai pajak rendahan berekening
jumbo itu. Sebelumnya, beberapa kali penyidik Badan Reserse Kriminal
Mabes Polri mendatangi kantor Komisi menyerahkan dokumen pendukung.
Komisi juga akan segera melayangkan surat kepada Menteri Keuangan agar
diizinkan mengakses data para wajib pajak itu. "Akan kami bongkar
megaskandal struktural ini," ujar Ketua KPK Busyro Muqoddas kepada
Tempo, Kamis pekan lalu.

Pintu masuk Komisi mengungkap kasus Gayus adalah laporan Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan mengenai aliran dana di 22
rekening milik Gayus dalam bentuk tabungan dan deposito di BCA, Bank
Panin, dan BRI. Satu rekening Bank DKI atas nama Milana Anggraeni,
istrinya, juga ditelusuri. Menurut seorang penyidik Komisi, puluhan
rekening ini menjadi lalu lintas uang Rp 28 miliar yang belakangan
dibuka blokirnya oleh polisi pada perkara pajak Gayus. Ada 18 wajib
pajak yang menyetor ke rekening itu, baik langsung maupun melalui
konsultan pajak. "Sebagian besar Gayus sendiri yang memasukkan uangnya
ke rekening miliknya," kata penyidik itu.

Soal arus keluar, PPATK hanya bisa memberikan data lama. Setelah
blokir dibuka, uang dari puluhan rekening itu berhamburan ke mana-
mana. Rp 900 juta, misalnya, ia setor ke rekening istrinya di BII.
Kepada Andi Kosasih, kini terpidana enam tahun perkara keterangan
palsu saat menjadi saksi perkara pajak Gayus, mengalir Rp 1,95 miliar.
Gayus sendiri memindahkan Rp 10 miliar ke Bank Mandiri. Rp 6,2 miliar
di Bank Mandiri ini lalu dicairkan Gayus yang diduga untuk sejumlah
penegak hukum yang telah berhasil menghadiahinya vonis bebas
Pengadilan Negeri Tangerang.

Untuk melacak lalu lintas uang Gayus yang tidak terekam PPATK,
komisi antikorupsi menghimpun keterangan Gayus dan sejumlah informasi
dari terdakwa rekayasa perkara pajak Gayus di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan. Berkas pemeriksaan polisi dan internal kejaksaan juga
ditelisik. Di pengadilan, Gayus mengaku memberikan uang masing-masing
Rp 5 miliar untuk penyidik, jaksa, dan hakim melalui Hapo-san
Hutagalung, pengacaranya. Hapo-san sendiri, kata Gayus, kebagian Rp 5
miliar. Karena kurang, Gayus mengaku Haposan minta tambahan US$ 275
ribu atau hampir Rp 2,5 miliar.

"Kicauan" Gayus itu menelan korban. Dua penyidik Polri,
Komisaris M. Arafat Enanie dan Komisaris Sri Sumartini, dijerat pidana
dengan tuduhan menerima suap. Keduanya kini telah dihukum Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan. Arafat divonis lima tahun dan telah dikuatkan
di tingkat banding. Sri Sumartini divonis dua tahun. Hakim Pengadilan
Negeri Tangerang, Muhtadi Asnun, ikut terseret. Pengadilan Negeri
Jakarta Timur memvonis Asnun dua tahun penjara karena terbukti
menerima suap dari Gayus.

Tak mau dihukum sendirian, Arafat menyeret sejumlah atasannya
yang turut menikmati duit Gayus, termasuk Kepala Bareskrim Ito
Sumardi, dan atasannya langsung Komisaris Besar Pambudi Pamungkas yang
dituding menerima Rp 1 miliar dari Gayus melalui Haposan. Dua bos itu
membantah. Ito menilai Arafat ngawur, dan Pambudi menganggapnya sok
tahu.

Untuk jaksa, kesaksian datang dari Gayus. Ia mengaku telah
menyuap jaksa US$ 550 ribu atau nyaris Rp 5 miliar. Lagi-lagi Gayus
mengutip Haposan. Uang itu, kata dia, untuk penuntut sampai Jaksa
Agung Tindak Pidana Umum. Kejaksaan sudah melakukan pemeriksaan
internal. Dari pemeriksaan itu, jaksa pengawasan mengantongi secarik
kertas yang diklaim Gayus berisi tulisan tangan Haposan soal aliran
duit ke jaksa. Ini, kata penyidik KPK, satu-satunya bukti materiil
aliran dana Gayus ke penegak hukum. Haposan sendiri menilai pengakuan
Gayus itu sebagai ocehan orang sinting.

PPATK pun tidak bisa mengendus dana gentayangan itu karena tran-
saksinya tunai. Namun, menurut sumber Tempo, agar bisa mengungkap
aliran dana ke sejumlah penegak hukum, PPATK bisa menelusurinya ke
bank-bank besar pemegang safety deposit box, meminta informasi soal
simpan-an para penegak hukum yang disebut-sebut kecipratan duit Gayus
itu. Ketua PPATK Yunus Husein menyatakan akan terus memantau aliran
dana dari Gayus. "Saat ini kami serahkan yang ada dulu," kata Yunus.

Selain soal aliran dana, KPK telah mengantongi 149 perusahaan
yang keberatan pajak mereka pernah diurus Gayus. Sebanyak 44 di
antaranya wajib pajak yang memang dipegang langsung oleh Gayus.
Sisanya, menurut penyidik kepolisian, diduga pajaknya diurus jaringan
Gayus. Dari semua keberatan pajak para wajib pajak itu, hanya PT Surya
Alam Tunggal yang ditolak, yang lainnya mulus. "Ada wajib pajak yang
potensi kerugian negaranya sampai Rp 7 triliun," kata penyidik itu.

Di pengadilan, Gayus mengaku mengatur persoalan pajak perusahaan
Grup Bakrie. Selain tertahannya Surat Ketetapan Pajak PT Kaltim Prima
Coal, ia membantu proses banding pajak PT Bumi Resources serta
membuatkan surat pemberitahuan pajak pembetulan pengurusan sunset
policy PT Kaltim Prima Coal dan PT Arutmin Indonesia. Tiga perusahaan
itu sebenarnya tidak masuk daftar perusahaan yang ditangani Gayus.
Atas jasanya itu, Gayus mendapat imbalan Rp 30 miliar. Juru bicara PT
Bumi Resources, Di-leep Srivastava, membantah keterangan Gayus
tersebut. Aburizal Bakrie sendiri menolak disebut pemilik tiga
perusahaan itu. "Itu perusahaan publik," kata Bakrie.

Kasus Gayus ini akan menjadi ujian bagi Busyro yang belum genap
sebulan memimpin KPK. Busyro berjanji tidak akan tebang pilih
menangani kasus ini. "Saya gemas terhadap Gayus," kata -Busyro kepada
Tempo saat ia masih menjadi Ketua Komisi Yudisial. Sebaliknya, Gayus
justru gemas terhadap penegak hukum, salah satunya Ketua KPK. Dalam
duplik yang ia bacakan disebutkan, "Jadikan saya staf ahli Kapolri,
Jaksa Agung, dan Ketua KPK, saya janji dalam dua tahun Indonesia
bersih. Saya tidak hanya tangkap kakap- saja, tapi paus dan hiu saya
tangkap."

Tentu saja kita tak perlu serius menanggapi ocehan dalam duplik
Gayus, karena rekam jejaknya memang telah membuktikan dia benar-benar
"licin". Tembok penjara dan lapis pengamanan di Rumah Tahanan Markas
Komando Brigade Mobil Mabes Polri, Depok, terbukti tak mengungkung
Gayus. Berkat "kedermawanan"-nya, sejak Juli lalu, ia diduga 68 kali
bebas keluar-masuk rumah tahanan. Selain pelesiran ke Bali pada
November lalu, ia sebelumnya ngelencer ke Singapura, Malaysia, dan
Makau, Cina. Untuk Kepala Rumah Tahanan Komisaris Iwan Siswanto, Gayus
merogoh kocek sekitar Rp 50-60 juta. Total duit yang diterima Iwan Rp
368 juta. Selain dicopot dari jabatannya, Iwan ditetapkan sebagai
tersangka oleh polisi. Selain itu, delapan orang sipir menjadi
tersangka karena menerima "gaji" Rp 5-6 juta per bulan dari Gayus.

Setelah pelesirannya ke luar negeri September tahun lalu
terbongkar, uang yang ia keluarkan untuk sindikat pembuat paspor palsu
pun terendus. Menurut Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri
Inspektur Jenderal Anton Bachrul Alam, paspor Gayus itu seharga US$
100 ribu atau sekitar Rp 900 juta. Tapi hal ini dibantah pengacara
Gayus, Hotma Sitompul. "Hanya Rp 200 juta," katanya.

Kepolisian sendiri menduga, untuk pelesiran selama masa di rumah
tahanan, Gayus dibiayai pengusaha kaya. Menurut Kepala Bareskrim,
sosok pengusaha ini tidak terkenal atau bukan tokoh penting. "Dia
orang biasa," kata Ito.

Sumber Tempo menyebutkan bandar Gayus ini diduga kuat wajib
pajak yang tidak mau kasusnya terbongkar ke publik. Gayus, kata dia,
bagi para wajib pajak yang pernah memakai jasanya adalah wabah yang
harus dijinakkan. "Tapi, kalau bagi sejumlah polisi, dia itu gula,"
kata sumber Tempo yang petinggi pajak ini. Bak "semut", polisi tentu
senang mendatangi gula Gayus.

Anton Aprianto



http://majalah.tempointeraktif.com//id/arsip/2011/01/17/LU/mbm.20110117.LU135675.id.html
Share this article :

0 komentar: