BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Desentralisasi Korupsi BOS

Desentralisasi Korupsi BOS

Written By gusdurian on Selasa, 18 Januari 2011 | 11.21

Ade Irawan
KOORDINATOR DIVISI MONITORING PELAYANAN PUBLIK INDONESIA
CORRUPTION WATCH

Mengubah mekanisme penyaluran dana saja tidak cukup untuk mengatasi
masalah dalam program BOS. Langkah penting yang harus segera dilakukan
adalah memenuhi kebutuhan sekolah agar mampu menyediakan pelayanan
berkualitas tanpa membebani warga.
Perubahan mekanisme penyaluran dana kepada pemerintah kabu paten dan
kota mulai 2011 tidak menjawab masalah mendasar da lam program Bantuan
Operasional Sekolah (BOS). Karena itu, sekolah dasar dan sekolah
menengah pertama gratis serta berkualitas yang menjadi tujuan utama
program BOS tidak akan tercapai.

Ada tiga faktor yang menyebabkan pemerintah melalui program BOS gagal
merealisasi pendidikan dasar gratis dan berkualitas. Pertama, dana BOS
terlalu sedikit bila dibandingkan dengan kebutuhan riil sekolah.
Kedua, mekanisme penggunaan dana yang ditetapkan Kementerian
Pendidikan Nasional dalam petunjuk pelaksanaan BOS sangat kaku serta
kerap bertolak belakang dengan kebutuhan dan masalah yang dihadapi
sekolah. Ketiga, korupsi yang merajalela, terutama pada tingkat
sekolah dan dinas pendidikan.

Sebaliknya, jika mekanisme penyaluran dana tidak diikuti pengawasan
ekstraketat, terutama terhadap dinas pendidikan, potensi korupsi BOS
akan jauh lebih besar dibanding pada tahun-tahun sebelumnya.
Hasil riset Indonesia Corruption Watch memperlihatkan bahwa tanpa
memiliki kewenangan dalam proses distribusi pun ternyata dinas
pendidikan (kecamatan dan kabupaten/kota) tetap bisa ikut
"menikmati"dana BOS.
Korupsi Paling tidak ada empat cara yang mereka gunakan. Pertama,
meminta setoran langsung. Selama ini pola penyaluran dana BOS langsung
diberikan pemerintah pusat kepada sekolah tanpa melalui jalur
birokrasi. Tujuannya untuk menghindari potongan-potongan langsung yang
kerap dilakukan oleh dinas pendidikan pada tingkat provinsi, kabupaten/
kota, maupun kecamatan, yang biasanya terjadi dalam proyek-proyek
sekolah. Namun mekanisme tersebut ternyata disiasati dengan baik oleh
dinas pendidikan. Mereka menggunakan kewenangannya dalam mengangkat,
memindahkan, dan memberhentikan kepala sekolah untuk mengendalikan
sekolah.
Sementara dalam model penyaluran yang lama modus yang digunakan adalah
potongan, dalam model penyaluran langsung modus yang digunakan adalah
dengan "sistem sodok". Dana BOS dari pemerintah pusat diterima utuh
oleh sekolah. Namun tidak semuanya digunakan untuk kepentingan belajar-
mengajar. Sebab, sekolah harus memberikan setoran kepada dinas
pendidikan. Jumlahnya tiap daerah berbeda karena cara menghitungnya
pun berbeda.
Ada yang berdasarkan persentase total uang yang diterima sekolah.
Tapi ada pula yang menghitung dengan patokan murid, misalnya alokasi
tiap murid dipotong Rp 5.000 kemudian dikalikan dengan total jumlah
murid di sekolah. Bahkan, dalam kasus yang terjadi di Kabupaten Garut,
Musyawarah Kepala Sekolah, pengawas, organisasi profesi guru tertentu,
dan wartawan pun ikut memperoleh "jatah"dana BOS.
Jika tidak setor, sekolah akan dipersulit dalam urusan administrasi
atau tidak akan mendapat bantuan lagi. Cara kedua, menjual produk.
Penjualan dilakukan secara paksa. Di Kabupaten Tangerang, kantor
cabang dinas ramai-ramai membuat lembar kerja siswa (LKS) yang
kemudian mereka edarkan ke sekolah. Semua wajib membeli, walau
harganya sangat mahal dengan kualitas sangat buruk. Akibatnya, LKS
hanya menumpuk di ruang guru karena tidak dapat digunakan untuk
membantu proses belajar-mengajar.

Dalam kasus yang terjadi di Kabupaten Serang, dinas pendidikan bekerja
sama dengan perusahaan swasta guna membuat website sekolah. Sekolah
diminta secara paksa membayar biaya sebesar Rp 1,7 juta untuk
pembuatan website dengan menggunakan dana BOS. Para pengawas yang
menjadi tim pengumpul uang dari sekolah.

Cara ketiga adalah suap. Biasanya diberi kan secara langsung kepada
mereka yang datang untuk mengawasi penggunaan dana BOS. Beberapa pihak
yang selama ini melakukan pengawasan, antara lain, pengawas dari dinas
pendidikan. Namun, alih-alih melihat penggunaan uang BOS di sekolah,
para pengawas justru meminta sejumlah uang kepada kepala sekolah atau
bendahara. Jumlahnya bervariasi, tapi umumnya disesuaikan dengan
kerelaan sekolah.

Keempat, modus yang paling sering digunakan adalah meminta biaya
administrasi. Biaya biasanya berkaitan dengan proses pencairan uang
(biaya rekomendasi) maupun proses pertanggungjawaban dana BOS kepada
dinas pendidikan. Jumlah uang yang diberikan sekolah kepada dinas
pendidikan berkaitan dengan biaya administrasi bervariasi dan berbeda-
beda tiap daerah.

Perubahan mekanisme distribusi akan mengukuhkan kewenangan dinas
pendidikan. Korupsi dengan menggunakan keempat pola tersebut pasti
makin menjadi.
Tidak hanya itu, adanya kewenangan untuk mendistribusikan dana juga
membuka peluang bagi pemerintah daerah menggunakan cara-cara lama agar
mendapat ke untungan, seperti menahan anggaran supaya memperoleh
"bunga".

Selain itu, walau Kementerian Pendidikan Nasional menggunakan alasan
otonomi daerah untuk mengubah mekanisme penyaluran, pemerintah daerah
tidak memiliki kewenangan untuk menentukan peng gunaan dana BOS.
Pemerintah daerah dan sekolah tidak bisa melakukan impro visasi,
mereka hanya menjadi pelaksana karena tinggal mengikuti petunjuk pe
laksanaan yang telah dibuat oleh Ke menterian Pendidikan Nasional.

Mengubah mekanisme penyaluran dana saja tidak cukup untuk meng atasi
masalah dalam program BOS. Langkah penting yang harus segera dilakukan
adalah memenuhi kebutuhan sekolah agar mampu menyediakan pelayanan ber
kualitas tanpa membebani warga.

Alokasi dana yang disediakan sekarang jelas tidak mencu kupi. Itu
sebabnya, pemerintah harus menambah anggaran BOS dan mendorong agar
pemerintah daerah turut menyediakan dana pendamping.

Pada sisi lain, perang terhadap korupsi dalam penggunaan dana BOS pun
terus dikobarkan. Kementerian Pendidikan Nasional harus memberi
contoh. Caranya dengan menerapkan nilai-nilai antikorupsi dan tidak
melakukan korupsi. Perencanaan dan pelaksanaan kebijakan maupun
anggaran dilakukan secara terbuka dan akuntabel. Kementerian
Pendidikan Nasional bisa mengawalinya dengan menjelaskan jumlah dana
BOS yang mereka kelola, terutama untuk iklan dan mencetak buku
panduan.

Selain itu, jalan yang sudah dibuka oleh Komisi Informasi Pusat dengan
memutuskan bahwa surat pertanggungjawaban dana BOS beserta kuitansi di
dalamnya merupakan dokumen publik harus dimanfaatkan. Keputusan Komisi
Informasi Pusat dimasukkan dalam panduan pelaksanaan BOS dan
Kementerian Pendidikan Nasional menyatakan siap menjalankan keputusan
dengan membuka surat pertanggungjawaban kepada publik. Jika sudah
begitu, tanpa diminta pun, sekolah dan dinas pendidikan akan mencontoh
Kementerian Pendidikan Nasional. Jadi bola kini ada di tangan
Kementerian Pendidikan Nasional.

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2011/01/18/ArticleHtmls/18_01_2011_011_003.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: