Jeritan Kemiskinan
Alangkah tragisnya dampak kemiskinan karena telah membawa kematian, seperti terlihat pada beberapa kasus bunuh diri belakangan ini.
Fenomena kemiskinan memang sangatlah kasatmata sebagai realitas berlapis-lapis yang terus menjerit-jerit, crying poverty. Kadar kemiskinan tidak lagi sekadar masalah kekurangan makanan, tetapi bagi warga masyarakat tertentu bahkan sudah mencapai tahap ekstrem sampai level kehabisan dan ketiadaan makanan.
Lebih dari kebutuhan dan hak asasi apa pun, hak mendapatkan makanan merupakan yang paling fundamental karena menyangkut soal hidup dan mati. Jelas sekali, bagi setiap orang, makan sangat penting, tetapi khusus bagi orang miskin, jauh lebih penting bagaimana mengelola rasa lapar yang menyerang hampir setiap saat.
Tidak sedikit orang terkapar karena tidak tahan menderita kelaparan dan kekurangan gizi yang membuka jalan lebih cepat ke arah kematian dini. Inilah proses kematian secara pelan-pelan tetapi kejam. Waktu tidak lain dirasakan sebagai perjalanan menuju maut, Zeit zum Tode, seperti dikatakan pemikir Martin Heidegger.
Tidak sedikit orang gagal mengelola rasa lapar dan kemiskinan. Kekalutan hidup itu menghancurkan harapan, merasa diri kalah dan tidak berdaya, serta fatalistik, yang pada orang tertentu tergiring menempuh jalan pintas bunuh diri sebagai upaya membebaskan diri dari situasi tertekan. Tindakan bunuh diri dianggap bersifat liberatif.
Tidak semua kasus bunuh diri karena persoalan ekonomi, tetapi bisa saja karena faktor lain. Namun, kasus bunuh diri karena alasan ekonomi termasuk sangat tragis karena memperlihatkan pudarnya rasa kemanusiaan dan kepedulian. Jatuhnya korban karena kemiskinan sekaligus memperlihatkan kemiskinan lain, yaitu kemiskinan nurani kolektif bangsa dan lemahnya kepedulian.
Para tetangga tak lagi peduli terhadap sesama di sekitarnya yang hidup menderita kelaparan dan kesulitan makanan. Para pemimpin juga kehilangan sensitivitas atas nasib rakyat yang bergulat dengan kemiskinan. Sebagian uang bagi program perbaikan nasib warga miskin dicuri dalam praktik korupsi yang semakin kompleks dan merebak luas dari pusat sampai ke daerah-daerah. Kemiskinan nurani sedang menghinggapi kaum elite bangsa.
Dampak kemiskinan nurani ini sungguh luar biasa sebagai kejahatan dengan membiarkan sebagian warga masyarakat menderita dan bergulat dengan kesulitan hidup. Persoalan kemiskinan itu terasa semakin dramatis karena berlangsung di negeri yang digambarkan sangat kaya sumber daya alam. Masih ada sebagian warga masyarakat untuk dapat makan sekali sehari saja sulit.
Potret kemiskinan itu menjadi sangat kontras karena sebagian warga masyarakat hidup dalam kelimpahan, sementara sebagian lagi hidup serba kekurangan. Kekayaan bagi sejumlah orang berarti kemiskinan bagi orang lain. Tingkat kesenjangan luar biasa dan sungguh berbahaya!
Jet Siluman China dan AU Kita
Sejak Perang Teluk 1991, dunia militer dibuat terpesona oleh kekuatan udara. Seolah membenarkan apa yang dulu diramalkan.
Para penganjur kekuatan udara, seperti Giulio Douhet, William Mitchell, atau Alexander de Seversky, pernah meramalkan, perang dapat dimenangi oleh kekuatan udara. Meski tak semuanya sepakat, apa yang terjadi dewasa ini membesarkan keyakinan itu.
AS, Rusia, dan Perancis, serta kemitraan Inggris-Italia-Jerman-Spanyol, memperlihatkan capaian mengesankan dalam pembuatan jet tempur pada pengujung abad ke-20. Namun, ingin jadi yang paling unggul di udara, AS memelopori pembuatan jet tempur yang lebih canggih lagi, melibatkan teknologi stealth, yang membuat pesawat tak bisa atau amat sulit dideteksi oleh radar lawan.
Setelah mewujudkan dalam pesawat F-117 Nighthawk (yang kini sudah dipensiun), AS kini mengoperasikan pesawat keunggulan udara paling maju di dunia, yakni F-22 Raptor.
Rusia, yang menjadi seteru utama semasa Perang Dingin, sebenarnya juga tak mau kalah. Ia juga punya program jet tempur canggih, seperti Su-47 Berkut atau Su-37, yang punya kemampuan membelok-belokkan dorongan jet (thrust vectoring), yang menambah kelincahan manuvernya.
Kemarin kita baca di harian ini, China juga mengembangkan jet siluman yang diberi kode J-20. Langkah China masuk akal karena tanpa didukung oleh pesawat paling mutakhir, yang dikategorikan sebagai pesawat tempur generasi kelima, percuma saja kekuatan yang ada.
Kita juga tidak bisa mengabaikan semua perkembangan di atas, yaitu munculnya jet canggih tidak kasatradar dan juga keyakinan akan semakin pentingnya kekuatan udara. Hanya saja, pada sisi lain, kita juga paham bahwa program apa pun menyangkut kekuatan udara selalu mahal. Jangankan F-22 yang harganya sekitar Rp 2,7 triliun sebuahnya, untuk membangun satu skuadron Sukhoi Su-30 yang sebuahnya sekitar Rp 450 miliar dengan senjata lengkap saja kita sudah terengah-engah.
Namun, di tengah kendala yang ada, kita tetap harus serius memikirkan masalah ini karena meski ada tesis bahwa perang menjadi semakin mahal dan tak terjangkau oleh kebanyakan negara, irasionalitas bisa muncul sewaktu-waktu. Dan, manakala hal semacam itu terjadi, kekuatan udara diyakini akan memainkan peran menentukan.
Kini, meski masih diliputi pro-kontra, kita juga punya program mengembangkan sendiri kemampuan membuat pesawat tempur bersama dengan Korea Selatan. Kita menempuh langkah itu, mengingat di dunia praktis tidak ada negara—di luar negara-negara yang bersekutu—yang bersedia berbagi teknologi kedirgantaraan militer yang dikembangkan dengan biaya mahal.
0 komentar:
Posting Komentar