Malang
MENGAPA wa jah Indonesia demikian karut marut? Kapan wajah karut-marut
ini berubah menjadi wajah yang menarik?
Masih ada harapankah wajah negeri ini berubah menjadi wajah yang
menyejukkan, mendamaikan, dan mencerahkan?
Pertanyaan tersebut sudah sampai pada tahap pemberian label bahwa
negeri ini sedang berpenyakit parah, bervirus kanker sampai pada
stadium mematikan, atau mengidap keropos di berbagai sendisendinya,
yang jika kondisi ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin negeri ini
sampai pada ranah tinggal kenangan.
Pelabelan itu memang tidak terelakkan, pasalnya nyaris di berbagai
sektor strategis, yang notabene sebagai sektor yang berhubungan dengan
kepentingan publik, justru terjadi pembiaran dan bahkan
pengembangbiakan atau ledakan (booming) penyakit. Antara pengidap
penyakit yang satu dan yang lain, seperti terjadi proses tukar-
menukar, saling mengadopsi, dan saling mengadaptasi.
Penyakit yang membuat negeri ini lama mengidap kanker karut-marut
adalah dusta. Belakangan ini, penyakit dusta dianalogikan dengan
kebohongan publik. Mulai dai politisi, akademisi, dan tokohtokoh agama
seperti disadarkan kembali untuk mengkritik pilar-pilar bangsa yang
suka melakukan kebohongan publik atau memberikan tempat bagi
kedaulatan dusta.
Filosof Goethe mengingatkan bahwa `orang yang berbohong itu senantiasa
ingin melarikan diri, sedangkan tiada seorang pun yang mengejarnya,
namun orang yang benar itu berani seperti singa'. Peringatan filsuf
itu bermaksud menunjukkan pada kita bahwa pendusta atau pembohong
merupakan model sosok manusia yang suka melarikan diri dari tanggung
jawab.
Seseorang atau segolongan pendusta tidak bisa menjadi sosok manusia
bermental singa. Pasalnya dalam dirinya terdapat beragam penyakit yang
membuatnya tergiring pada kecenderungan untuk mengaburkan kebenaran
dan kejujuran sehingga yang ditunjukkan pada orang lain atau publik,
sebatas yang dikalkulasi atau dikonsiderasi menguntungkan,
menyenangkan, dan menyelamatkannya.
Yang terbaca dalam diri manusia Indonesia belakangan ini, khususnya
dari kalangan elite, adalah segolongan pilar negara yang ucapan maupun
perbuatannya sangat menyakitkan, yang bermuatan dusta. Me reka bermain-
main dengan semantik yang tidak menyejukkan dan mencerdaskan rakyat,
tetapi membohongi, melecehkan, dan membiaskan kepentingan
tersembunyinya.
Idealisasinya, sebagai pilar negara, bukan dusta atau kebohongan
publik yang diberikan tempat berdaulat, melainkan kejujuran sebagai
bangsa beragama dan berpancasila. Sangat disayangkan jika pilar
negara, yang sudah dipercaya rakyat untuk mengawal dan menjaga
dinamika kehidupan bangsa, justru menggelincirkan (membenarkan)
praktik pembohongan publik.
Gema yang disuarakan tokoh-tokoh agama beberapa waktu lalu kepada
pemerintah atau negara yang dianggap sudah melakukan banyak kebohongan
publik sebenarnya sebagai bentuk peringatan keras atau tuntutan kepada
para pemimpin negeri ini untuk melakukan evaluasi moral, terlebih
dalam hubungannya dengan kewajiban menyejahterakan rakyat atau usaha-
usaha maksimal dalam memeratakan (membumikan) kemakmuran.
Sudah berbulan-bulan pers dalam negeri mengingatkan pemerintah untuk
peduli pada persoalan harga kebutuhan pokok rakyat. Pemerintah tetap
saja minimalis. Namun, akibatnya sangat fatal. Skenario inflasi 2010
berantakan.
Rakyat terus menjerit. Selain itu, pers bersama komunitas pemerhati
ekonomi terus mengingatkan pemerintah untuk memperbaiki kualitas
pertumbuhan ekonomi.
Statistik ekonomi kita tampak tangguh. Namun, ketangguhan statistik
itu tidak bertransmisi pada kesejahteraan rakyat. Di tengah kekecewaan
rakyat, pemerintah malah terus membusung dada dengan klaim-klaim
tentang sukses pengelolaan ekonomi negara. Pemerintah memaksa rakyat
untuk percaya bahwa pertumbuhan ekonomi kita bagus, tetapi ketika
diminta mengendalikan harga beras cabai atau minyak goreng, pemerintah
nyaris tidak memberi respons apa pun. (SK, 11 Januari 2011). Itu
menunjukkan bahwa masyarakat sudah demikian sering dan diakrabkan
dengan praktik pembohongan publik.
Praktik itu digelindingkan dari atas hingga ke bawah dengan semantik
yang seragam, seperti kosakata `keberhasilan meningkatkan kualitas
pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesejahteraan, dan menekan laju
inflasi' dan sejenisnya, supaya masyarakat secepatnya bisa mendapatkan
informasi dan menerima kinerja pemerintah.
Pemerintah memang sahsah saja mengampanyekan (menginformasikan)
kinerjanya, tetapi pemerintah seharusnya tetap mengindahkan etika
akuntabilitas publik bahwa masyarakat membutuhkan kejujuran
kinerjanya, bukan semantik atau keindahan rajutan kata-kata yang
menyahihkannya. Sayangnya, pemerintah belum sampai pada kesadaran e
kalau kejujuran kinerja meetis, rupakan r fondasi membangun negara
ini. Masih berjayanya para koruptor atau `banditbandit kekuasaan' di
Indonesia ini setidaknya membenarkan bahwa pilar-pilar strategis
negara masih mengidap krisis kesadaran etis (kejujuran).
Anomali kekuasaan tidak akan sampai mendarah daging, bilamana pilar-
pilar negara ini selalu menempatkan kesadaran etis sebagai `panglima'
yang memimpin dirinya.
Seperti kata filsuf Goethe, bahwa karakter singa dibutuhkan untuk
memperbaiki bangsa ini.
Karakter itu merupakan tampilan mental mengaum keras dalam
menyuarakan, mengungkapkan, dan memberikan testimoni secara objektif,
bukan gaya berelasi kamuflase dan berapologi kepalsuan.
Kalaupun akibat auman tokoh-tokoh agama hingga Gayus ternyata mampu
menguak berbagai ragam penyakit serius, di antaranya sampai menyeret
sejumlah orang penting atau punggawa elite negara ini, atmosfer itu
idealnya harus disikapi secara arif. Antara petisi moral yang
digelindingkan tokoh agama dan testimoni berbasis kejujuran yang
disampaikan Gayus akan bisa digunakan sebagai pijakan moral bahwa
perubahan besar mensyaratkan keberanian, di antaranya keberanian
menguak praktik pembohongan publik.
"Kalau orang kecil berdusta, dustanya tidak banyak mengandung bisa
(racun) bagi orang lain, tapi kalau yang berdusta orang berpangkat
atau berkedudukan mapan, bisa atau racunnya bisa menjalar ke mana-
mana, bisa menggerogoti dan merapuh negara, bahkan bisa membuat negara
tinggal jadi tulang-tulang."
(Huda, 2008).
Pernyataan itu mengingatkan setiap elemen negara ini supaya tidak suka
memproduksi dan `mengindonesiarayakan' dusta, pasalnya dalam dusta itu
terkandung bisa (racun) yang menyakiti, merapuhkan, menghancurkan, dan
mematikan bangsa ini. Siapa saja yang terkena bisa, alamat dirinya
tidak cukup kuat dan punya imunitas untuk menghadapi problem
ketidakberdayaan kemasyarakatan (social empowerless).
Dus, wajah karut-marut Indonesia masih bisa diharapkan akan berubah
menjadi wajah menyenangkan dan menyejahterakan rakyat, bilamana setiap
pilar negara ini berani menegakkan khitah kejujuran dan mengalahkan
praktik pembohongan publik.
Ketidakberanian mengalahkan penyakit kanker ini identik dengan sikap
menyerah untuk dilegasi sebagai bangsa yang mengultuskan kedaulatan
dusta. Jangan sampai berlanjut julukan bangsa ini sebagai bangsa
beragama, yang menghalalkan kedaulatan dusta.
Jangan sampai dusta dibiarkan menggiring Pancasila sebatas aksesori
yang mengisi ruang kerja punggawa elite negara.
http://anax1a.pressmart.net/
0 komentar:
Posting Komentar