Pro dan Kontra terkait dengan bahaya asap rokok bagi kesehatan manusia mengemuka setelah Mahkamah Konstitusi menggelar sidang uji materi Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada Rabu (5/1).
Guru Besar Farmakologi Universitas Brawijaya Malang, Prof dr Moch. Aris Widodo Ph.D., menilai kesaksian Rima Melati dalam sidang uji materi UU tentang Kesehatan, merupakan khas pemahaman seorang awam karena keyakinannya hanya berdasar pada nasihat dokter pribadi.
"Dibutuhkan ’medical record’ (rekam medis) menyeluruh sebelum memastikan bahwa kanker payudara Rima Melati benar-benar karena asap rokok," katanya menegaskan.
Penyakit kanker sesungguhnya bukan disebabkan oleh satu faktor. Bahkan, menurut dia, sulit membuktikan bahwa penyakit kanker yang diderita Rima Melati karena asap rokok. Apalagi yang bersangkutan tidak menunjukkan jejak rekam medis yang dapat dipakai sebagai petunjuk bahwa penyakit kankernya karena kebiasaan merokok.
Sebelumnya, di depan Majelis Hakim MK, Rabu (5/1) Rima Melati mengemukakan, "22 tahun yang lalu terkena kanker usus, delapan tahun kemudian terkena kanker payudara, itu terjadi karena saya seorang perokok."
Rima adalah saksi dari pemerintah yang dihadirkan oleh Wanita Indonesia Tanpa Tembakau (WITT), organisasi yang gencar berkampanye soal bahaya tembakau (rokok).
Dalam sidang itu, pemerintah juga mengajukan sejumlah saksi untuk menegaskan bahwa tembakau merupakan zat adiktif yang berbahaya bagi kesehatan, yakni Fuad Baradja yang terkenal dalam sinetron "Jin dan Jun".
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud Md mengatakan bahwa di Madura rokok menjadi tradisi. Mahfud Md. yang asli Madura itu menjelaskan anak kecil sering mendapat hadiah berupa rokok. "Tapi sejak 1990, saya berhenti dan bisa. Sekarang saya merokok hanya dalam mimpi saja," katanya yang secara khusus ditujukan menjawab pernyataan Fuad Baradja.
Dalam sidang tersebut Fuad mengatakan terapi buat pecandu rokok sulit berhasil karena begitu kuatnya zat adiktif rokok.
Pada kesempatan yang sama, Dr Mualimin Abdi dari Kementerian Hukum dan HAM juga membenarkan bahwa tidak sulit menghentikan kebiasaan merokok.
Menurut Prof Aris efek merokok sepertinya tidak dapat digeneralisasi karena sifat efeknya yang terkait dengan banyak faktor, baik lingkungan, genetik, maupun kejiwaan seseorang.
Sementara itu, Sutiman, Guru Besar Biomolekuler Universitas Brawijaya, menyatakan bahwa rokok kretek berbeda dengan rokok yang diteliti di banyak negara.
Pendapat rokok kretek yang berkembang menjadi stigma sebagai penyebab kanker. Namun, dia menyayangkan hal itu tidak didasarkan atas penelitian atau survei dengan sampel populasi perokok kretek yang tidak sedang berobat ke dokter atau rumah sakit.
Sebuah survei skala nasional dengan sebaran yang mencakup sebagian besar etnik di Indonesia harus dilakukan untuk menakar dampak rokok di Indonesia. Survei skala nasional tersebut harus dilakukan mengingat dampak dari setiap aturan pemerintah perlu diukur dan dihitung secara saksama.
"Jangan sampai kita membuat keputusan salah karena hakekatnya mengingkari kenyataan bahwa merokok dan bercocok tanam tembakau merupakan budaya bangsa yang jauh lebih dulu eksis ratusan tahun lalu ketimbang isu sebagai pencetus kanker yang mulai diributkan Rima Melati dalam beberapa tahun terakhir," katanya.
Sutiman juga mengatakan kemungkinan membuat rokok menjadi lebih sehat sesungguhnya terbuka seiring perkembangan "Nano Science". Melalui pendekatan Fisika Kuantum, akan ada alternatif berpikir untuk membuka peluang memodifikasi asap kretek menjadi menyehatkan.
Beberapa prototipe rekayasa untuk menjinakkan asap kretek telah dilakukan dan hasilnya cukup optimistis untuk dikembangkan.
"Di Lembaga Penelitian Peluruhan Radikal Bebas yang kami kelola membuktikan, tak sedikit penderita kanker payudara stadium akhir dapat dibantu penyembuhannya dengan memanfaatkan asap ’divine cigarette’ yang dasar berpikirnya menggunakan pendekatan fisika modern," kata Sutiman.
Ia menjelaskan bahwa "divine cigarette" sebagai salah satu prototipe perlakuan terhadap rokok kretek menggunakan pendekatan "Nano Biology" sudah mulai dirintis dan dikembangkan di Unibraw dan Lembaga Penelitian Peluruhan Radikal Bebas di Malang.
"Ternyata asap ’divine cigarette’ tidak menimbulkan efek sama sekali pada kelompok tikus percobaan. Bahkan, tikusnya menjadi lebih lincah dengan ransum makanan lebih sedikit dibandingkan dengan tikus kontrol (tanpa divine cigarette)," katanya menjelaskan.
Selain itu, asap divine juga terbukti memacu pertumbuhan akar kecambah kedelai dan mendorong pertumbuhan lebih cepat, serta mampu menjadi penyedia elektron pada sistem transfer listrik dalam proses fisiologi normal.
Menurut Prof Sutiman, perlakuan "Nano Biology" juga membuat asap kretek menjadi tidak berbau dan menjadikan udara bersih sehingga sangat ramah lingkungan.
Namun dia menyayangkan bahwa fakta ilmiah semacam itu tidak pernah diperhatikan pemerintah dan industri rokok kretek Indonesia. Hal ini karena mereka tidak punya unit riset dan pengembangan produk yang memadai.
Dari segi aset dan volume perdagangan rokok di Indonesia yang nilainya sangat besar, menurut dia, sebenarnya riset semacam itu cukup mudah untuk direalisasikan.
"Riset semacam ini bisa menghilangkan stigma negatif rokok kretek dan tentunya jauh lebih murah dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk lobi dan iklan yang konon anggarannya mencapai lebih dari 60 persen biaya produksi," ujarnya.
Menurut dia, rokok kretek merupakan salah satu produk kearifan lokal yang masih tersisa, sebagai pemberi kontribusi nyata terhadap perekonomian nasional.
Namun, lanjut dia, rokok kretek terlanda isu sebagai produk tidak sehat tanpa didukung data hasil riset memadai. Isu tersebut berhembus dari luar negeri dan dibangun melalui kegiatan riset asing.
"Kementerian Kesehatan mengklaim rokok kretek merugikan kesehatan lewat rancangan peraturan pemerintah tanpa upaya menakar dampaknya pada aspek lain secara seksama," kata Sutiman.
Peraturan perundang-undangan itu, menurut dia, bisa memperlemah industri rokok dan mengingkari kenyataan bahwa merokok dan bercocok tanam tembakau merupakan budaya bangsa yang tidak mudah diubah. Bahkan, rancangan peraturan pemerintah itu berisiko melemahkan sendi-sendi perekonomian dan sosial budaya bangsa.
Dia mengingatkan bahwa rokok kretek sifatnya sangat kompleks, sarat kepentingan, dan melibatkan nasib 24 juta orang, serta aset yang nilainya mencapai ratusan triliun rupiah setiap tahun. (abd)
0 komentar:
Posting Komentar