BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Ketika Uang (Gayus) Jadi Panglima

Ketika Uang (Gayus) Jadi Panglima

Written By gusdurian on Minggu, 09 Januari 2011 | 11.55

Oleh Ikrar Nusa Bhakti

Rrrrruaaaarr biasa! Dua kata itu amat tepat untuk menggambarkan sepak
terjang mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak Gayus Halomoan
Partahanan Tambunan dalam mengelabui hampir semua lini aparat penegak
hukum dari kejaksaan, kepolisian, hingga kehakiman, bahkan aparat
imigrasi.

Gayus tepat pula untuk dijuluki sebagai ”Man of The Year 2010” karena
sepanjang tahun itu tak putus-putusnya media di Tanah Air memberitakan
kasus megaskandal pajak yang melibatkan Gayus.

Kasus Gayus muncul ke permukaan berawal dari testimoni mantan
Kabareskrim Polri Susno Duadji yang mengungkap kasus penggelapan pajak
senilai Rp 25 miliar yang dilakukan pegawai Ditjen Pajak, Gayus
Tambunan, dan melibatkan beberapa oknum Polri dari pangkat komisaris,
ajun komisaris besar, sampai dua jenderal berbintang satu. Kasus Gayus
kemudian berkembang menjadi seri kisah kriminal yang tiada taranya di
negeri ini.

Sulit dipercaya

Bayangkan betapa ”saktinya” Gayus Tambunan. Dengan uang Rp 5 miliar
yang diserahkan melalui pengacaranya, Haposan Hutagalung, ia bisa
mendapatkan berkas rencana tuntutan dari jaksa penuntut umum di Kejari
Tangerang. Gayus juga diduga menyuap ketua majelis hakim Pengadilan
Negeri Tangerang Muhtadi Asnun agar ia dibebaskan dari tuntutan yang
semula satu bulan penjara.

Ia juga menyuap beberapa oknum penyidik Mabes Polri agar rumah
mewahnya di Kelapa Gading dan uangnya di rekening bank tidak diblokir
dengan imbalan konon mencapai 500.000 dollar AS (Rp 4,5 miliar).

Hebatnya lagi, saat ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Markas Komando
Brimob, Kelapa Dua, Depok, Gayus diketahui 68 kali keluar tahanan
antara Juli dan November 2010, sesuatu yang sulit untuk dipercaya. Ini
dimungkinkan karena Gayus menyuap Kepala Rutan Brimob Komisaris Iwan
Susanto yang diduga menerima Rp 368 juta dan delapan bawahannya diduga
menerima masing-masing Rp 5 juta-Rp 10 juta.

Gayus bukan saja dapat pelesiran ke Bali menonton pertandingan tenis
internasional pada awal November 2010, melainkan juga pelesiran ke
Makau pada 24-26 September 2010 dan ke Kuala Lumpur pada 30 September
2010 dengan paspor palsu yang dikeluarkan Kantor Imigrasi Jakarta
Timur atas nama Sony Laksono. Sungguh menakjubkan!

Kriminal tingkat tinggi

Jika hampir semua lini aparat penegak hukum berhasil dibobol Gayus,
ini bukan kriminal biasa, tetapi benar-benar tingkat tinggi. Gayus
dituduh merupakan bagian dari mafia pajak yang melibatkan 149
perusahaan, tiga di antaranya masuk dalam Grup Bakrie, yakni PT Kaltim
Prima Coal, PT Bumi Resources, dan PT Arutmin.

Gayus mengaku menerima hampir Rp 35 miliar dari pekerjaan membantu
penanganan terkait dengan pajak tiga perusahaan Grup Bakrie itu
(Kompas, 9/12/2010). Sampai saat ini, Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan masih mengusut sumber dana senilai Rp 28 miliar dan
Rp 74 miliar milik Gayus.

Anehnya, pengadilan pada 12 Desember 2010 memberikan vonis hukuman 20
tahun penjara kepada Gayus karena kasus gratifikasi. Kita patut
bertanya, mengapa dari jumlah uang yang lebih dari Rp 100 miliar
tersebut hanya terungkap 3,5 juta dollar AS atau setara dengan Rp 35
miliar yang bersumber dari tiga perusahaan milik Grup Bakrie tersebut.
Lalu, sisanya bersumber dari mana? Berapa jumlah uang yang diberikan
oleh 146 perusahaan lain?

Pengadilan dan Polri juga tidak berupaya mengungkap berapa
sesungguhnya pajak yang seharusnya dibayarkan oleh 149 perusahaan itu
kepada negara dan berapa yang benar-benar dibayarkan setelah kasus-
kasus pajaknya dibantu oleh Gayus. Sebagai mantan pegawai negeri sipil
yang baru aktif kurang dari 10 tahun, amat janggal apabila Gayus
memiliki uang sebanyak itu dan ia melakukan penggelapan pajak
sendirian. Kasus mafia pajak ini wajib hukumnya diungkap secara
tuntas.

Kejanggalan-kejanggalan lain yang muncul adalah mengapa Polri hanya
mengajukan mereka yang berpangkat komisaris dan ajun komisaris besar
sebagai oknum yang bermain dalam kasus Gayus dan tidak mengungkap
mereka yang berpangkat jenderal bintang satu atau lebih.

Sikap ”lembek” Presiden

Mengapa pula Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kukuh agar kasus Gayus
tetap ditangani Polri, sementara ada beberapa oknum Polri yang
terlibat dalam kasus itu. Apakah ini untuk menyelamatkan muka
institusi Polri ataukah ada persoalan politik terkait dengan soal ini.

Mengapa pula Presiden Yudhoyono bersikap ”lembek” dalam kasus
pelesiran Gayus ke Bali, Makau, dan Kuala Lumpur, padahal ia sudah
berjanji untuk memimpin secara pribadi penanganan kasus-kasus besar
korupsi di negeri ini!?

Dari sisi politik, sampai saat ini hanya perusahaan milik Grup Bakrie
yang diungkap. Mengapa 146 perusahaan lain tidak terungkap? Apakah ada
persoalan corruption and kickback yang dilakukan banyak perusahaan itu
terkait dengan donasi politik yang diberikan perusahaan-perusahaan itu
ke partai-partai politik pada masa kampanye pemilu legislatif dan
Pemilu Presiden 2009? Jika itu tidak terungkap, kita benar-benar akan
semakin miris pada situasi penegakan hukum yang terjadi di negeri ini.

Kapolri, Ketua KPK, dan Jaksa Agung, yang semuanya baru, tidak cukup
hanya mengatakan bahwa mereka benar-benar berkomitmen untuk
menyelesaikan kasus korupsi terkait dengan kasus Bank Century dan
kasus Gayus Tambunan. Akan tetapi, apabila kekuatan-kekuatan politik
yang ada di parlemen, khususnya yang tergabung dalam Sekretariat
Gabungan (Setgab), saling ”menyandera” serta ”tukar guling” antara
kasus Bank Century dan kasus Gayus, meminjam istilah Prof Saldi Isra,
apakah asa kita sudah hilang dalam melawan korupsi?

Mengapa pula Adnan Buyung Nasution sebagai pengacara Gayus kini juga
membuat pernyataan ”memble” terkait dengan pelesiran Gayus ke luar
negeri? Apakah uang Gayus sudah menjadi panglima sehingga semuanya
bisa dibeli?

Kita patut bersedih, siapa lagi yang bisa kita percaya dalam
menegakkan hukum di negeri ini, khususnya terkait dengan ko- rupsi
besar, jika para aparat penegak hukumnya begitu bobrok dan korup.

Ini akan semakin runyam jika nantinya terbukti partai-partai politik
di dalam dan di luar Setgab ternyata saling melindungi kepentingan
mereka masing-masing. Ini akan menciptakan demokrasi yang kolutif dan
koruptif!

Ikrar Nusa Bhakti Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs, Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta

http://cetak.kompas.com/read/2011/01/07/04265680/ketika.uang.gayus.jadi.panglima
Share this article :

0 komentar: