BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Ancaman Ledakan Penduduk pada Pembangunan Ekonomi

Ancaman Ledakan Penduduk pada Pembangunan Ekonomi

Written By gusdurian on Selasa, 18 Januari 2011 | 11.18

Saya sangat kaget ketika salah satu harian nasional kembali mengungkap
isu ancaman ledakan penduduk di Indonesia. Isu ini pernah muncul pada
Agustus tahun lalu, begitu hasil sementara sensus penduduk 2010
diumumkan pemerintah.

Beberapa teman langsung ramai mengatakan adanya ancaman tersebut.
Mereka mengatakan, program Keluarga Berencana gagal karena kurangnya
perhatian dari pemerintah.Mereka kemudian mengatakan berbagai akibat
negatif,khususnya pada perekonomian, dari peledakan penduduk itu.Ada
yang kemudian mengatakan bahwa ledakan penduduk sebagai sebab
permasalahan sosialekonomi.

Ini seperti kemacetan yang terjadi di mana-mana, termasuk Jakarta,
masih tingginya kemiskinan, masalah pendidikan, dan berbagai masalah
ekonomi lainnya. Mereka mengatakan, sensus penduduk Indonesia 2010
menghasilkan jumlah penduduk Indonesia sebesar 237,6 juta.Jumlah ini
lebih besar dari proyeksi yang dibuat para demografer dalam dan luar
negeri. Bahkan, Badan Pusat Statistik (BPS),tiga tahun sebelum
dilakukan sensus menghasilkan proyeksi penduduk pada 2010 sejumlah
234,2 juta.

Perbedaan seperti inilah yang kemudian membuat beberapa teman
mengatakan bahwa pemerintah Indonesia telah melakukan kesalahan.
Pendapat mereka ini mungkin benar, para demografer (termasuk BPS)
telah membuat perkiraan yang benar. Karena itu, pemerintah telah
melakukan kesalahan dalam kebijakan. Namun,mungkin saja yang salah
justru para demografer tersebut.

Demografer dari lembaga internasional pun belum tentu benar. Data
dasar yang mereka peroleh juga dari BPS.Beberapa demografer lupa bahwa
mereka membandingkan sensus penduduk 2010 dengan sensus penduduk
sebelumnya, yaitu sensus penduduk 2000. Padahal, sebenarnya hasil
cacahan sensus penduduk pada 2000 underestimate, terlalu kecil
dibandingkan dengan hasil yang sesungguhnya.

Terry Hull, di jurnal Bulletin of Indonesian Economic Studies baru-
baru ini telah dengan tepat menceritakan betapa sensus penduduk 2000
underestimate. Akibatnya, penghitungan pertumbuhan penduduk 2000–2010
menjadi terlalu tinggi. Lebih lanjut, para demografer tersebut
menggunakan data pada 2000 sebagai data dasar untuk proyeksi mereka.
Karena data dasarnya underestimate, proyeksi mereka juga
underestimate.

Itu dapat menjadi penyebab jumlah penduduk di sensus 2010 lebih besar
dari yang diproyeksikan para demografer, baik dalam negeri maupun luar
negeri. Namun, cobalah melihat proyeksi penduduk yang dibuat sebelum
sensus penduduk 2000. Misalnya, pada 1994, saya membuat proyeksi
penduduk Indonesia hingga 2025. Dalam proyeksi itu, penduduk Indonesia
akan berjumlah 235,1 juta pada 2010.

Dengan demikian,saat melihat hasil sensus penduduk 2010 yang hasilnya
237,6 juta, saya langsung gembira. Sebab, hasilnya mirip sekali dengan
dugaan saya pada 1994. Menurut saya, perbedaan 1,0% itu tidak penting.
Artinya, hasil sensus penduduk 2010 tidak mengagetkan, tidak ada
ledakan jumlah penduduk. Yang lebih penting lagi, angka kelahiran di
Indonesia sudah rendah. Sudah berada di sekitar replacement level,
suatu angka yang sudah relatif rendah.

Dengan angka ini, dalam waktu 40 tahun jumlah penduduk Indonesia akan
berhenti bertambah. Bahkan, dugaan saya, Indonesia pada 2010 sudah
berada di bawah replacement level. Artinya, pada 2050 jumlah penduduk
Indonesia akan menurun. Saat ini,banyak daerah Indonesia, seperti
Yogyakarta, Jakarta, dan Jawa Timur telah berada di bawah replacement
level. Kalau tak ada migrasi masuk yang lebih besar dari migrasi
keluar,jumlah penduduk Jakarta akan menurun paling lambat pada 2050.

Kalau penurunan angka kelahiran terus terjadi, penurunan jumlah
penduduk Indonesia dan banyak daerah di Indonesia akan terjadi lebih
awal. Bagaimana dengan data bahwa sekarang terdapat 4,5 juta bayi per
tahun, yang dikatakan beberapa teman sebagai “bukti”adanya peledakan
penduduk di Indonesia? Mereka menunjukkan jumlah ini hampir sama
dengan jumlah penduduk Singapura.

Bayangkan, kata mereka, tiap tahun Indonesia mendapat tambahan jumlah
bayi sebesar jumlah penduduk Singapura! Namun, mereka tidak melihat
dalam konteks Indonesia. Jumlah 4,5 juta dapat terlihat besar untuk
penduduk Singapura yang hanya 5 juta. Namun, jumlah 4,5 juta itu
jumlah yang kecil dibanding penduduk Indonesia yang berjumlah 237,6
juta. Jumlah bayi itu hanya mencerminkan angka kelahiran kasar 18 bayi
per 1.000 penduduk. Angka yang relatif amat rendah.

Jumlah bayi itu sesungguhnya, dengan ukuran yang lebih
tepat,mencerminkan angka kelahiran total (total fertility
rate),sekitar 2,3.Angka yang sudah relatif kecil, sekitar replacement
level. Singkatnya, kita tidak perlu merisaukan adanya “ledakan
penduduk” seperti yang diungkapkan salah satu harian nasional
tersebut. Walau begitu, saya sependapat dengan beberapa teman tersebut
bahwa pemerintah telah kurang memperhatikan program Keluarga Berencana
sejak reformasi pada 1998.

Sudah saatnya, pemerintah kembali meningkatkan perhatian pada Keluarga
Berencana. Perbedaan dengan program pada 1970-an adalah bahwa program
saat ini harus tidak berfokus pada penurunan angka kelahiran. Sebab,
angka kelahiran di Indonesia telah rendah. Masyarakat sudah ingin
membatasi kelahiran mereka. Alat kontrasepsi kini telah menjadi salah
satu kebutuhan dasar penduduk Indonesia.

Saat ini, masyarakat membutuhkan quality contraception, pelayanan
keluarga berencana yang bermutu, murah, dan mudah didapatkan. Bermutu
dalam arti akibat sampingan yang makin kecil. Bermutu dalam arti
masyarakat tahu betul alasan memakai alat kontrasepsi, serta
mengetahui keuntungan dan kerugian alat tersebut. Bermutu dalam arti
menggunakan alat kontrasepsi yang risiko kegagalannya kecil.

Tentu saja penyuluhan mengenai pentingnya keluarga berencana tetap
perlu diteruskan. Masyarakat tetap perlu disadarkan bahwa mereka dapat
mengatur jumlah kelahiran anak mereka. Karena alat kontrasepsi telah
menjadi salah satu kebutuhan dasar penduduk Indonesia, kegagalan
pemerintah (program KB) dalam menyediakan alat kontrasepsi yang murah
dan bermutu dapat membuat keresahan di masyarakat, walau mereka akan
enggan untuk menyuarakannya secara terbuka.

Namun,kekecewaan yang terpendam ini dapat “meledak” suatu ketika.Ini
tentu tidak menguntungkan bagi kita. Semoga pemerintah Indonesia dapat
mengelakkan terjadinya “peledakan kekecewaan” ini dengan kembali
memberikan perhatian yang besar pada program Keluarga Berencana,yakni
dengan fokus pada quality contraception.(*)

ARIS ANANTA
Ekonom Demografer


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/376333/
Share this article :

0 komentar: