BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Wapres: Perbaiki Citra Pelayanan Publik

Wapres: Perbaiki Citra Pelayanan Publik

Written By gusdurian on Kamis, 16 Desember 2010 | 11.37

ImagePELAYANAN PRIMA Menteri Negara PAN dan Reformasi Birokrasi EE
Mangindaan memberikan sambutan disela-sela penyerahan piala Citra
Pelayanan Prima oleh Wakil Presiden Boediono di Istana Wapres,
Jakarta, kemarin.


JAKARTA(SINDO) – Wapres Boediono meminta kepada semua instansi
pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk memperbaiki pelayanan
publik dengan melakukan gerakan reformasi birokrasi. Wapres berharap,
dengan adanya gerakan ini, pelayanan publik tidak lagi dinilai bertele-
tele oleh masyarakat.

“Sering kali kita mendengar keluhan dari publik, wah yang namanya
birokrasi kok begini ya, birokrasi itu terlalu berteletele,” ujar
Wapres Boediono saat memberikan sambutan pada penyerahan Piala Citra
Pelayanan Prima di Istana Wapres,Jakarta. Wapres Boediono siang
kemarin menyerahkan piala Citra Pelayanan Prima kepada 83 unit
pelayanan publik yang telah berhasil menciptakan inovasi dalam
meningkatkan kinerja penyelenggaraan pelayanannya. Penentuan pemberian
penghargaan ini dilakukan melalui mekanisme seleksi penilaian yang
transparan dan objektif.

Meneg PAN dan Reformasi Birokrasi EE Mangindaan mengatakan, program
pemberian penghargaan kepada unit pelayanan publik ini sudah dilakukan
sejak 1995 dengan nama penghargaan Abdisatyabhakti. Pada 2002 nama ini
diubah menjadi penghargaan Citra Pelayanan Prima, yang bermakna
gambaran tampilan sosok kinerja pelayanan yang sangat baik. “Dasar
filosofi kegiatan ini adalah sebagai upaya pembinaan aparatur negara,
khususnya aparatur penyelenggara pelayanan publik,”ungkapnya.
(rarasati syarief)

Social Business

MEMBACA buku kedua Mohammad Yunus, Social Business (2010),
mengingatkan saya pada kejadian di sebuah hotel butik di Ubud belum
lama ini. Di hotel mewah milik keluarga Puri Ubud ini semua terlihat
sempurna.

Dapat saya katakan inilah hotel terindah yang pernah saya singgahi.
Tarifnya pun tidak terlalu murah untuk ukuran Bali: di atas USD450 per
malam untuk vila satu kamar yang dilengkapi kolam renang. Di belakang
vila mengalir air bening Sungai Ayung yang setiap hari diarungi
sekitar 600 perahu karet arung jeram.Konturnya berupa jurang di tepi
sungai yang menjorok ke bawah, pepohonan dan semak-semak yang tertata
membuat kawasan ini kaya oksigen. Bagi tamu-tamu high class, apalagi
yang mereka cari kalau bukan privacy? Tetapi kejadian di suatu siang
itu cukup membuat semua pegawai hotel bingung. Entah apa yang
terjadi,vila yang didiami sepasang tamu paruh baya terlambat
dibersihkan.

Padahal sebelumnya hal ini tak pernah terjadi.Bagi tamu itu, untuk
sebuah hotel butik pukul 11.00 kamar sudah harus kembali rapi. ”Saya
belum pernah menghadapi kenyataan seperti ini,”tamu itu komplain. Dia
tidak bisa menerima pelayanan yang menurutnya tidak memuaskan. Semua
jawaban yang diberikan pihak hotel tidak membuatnya senang. Mereka
adalah tamu penting yang biasa berlibur ke mancanegara. Bahkan untuk
menginap di Bali mereka datang dengan jet pribadi. Jadi bisa diduga
siapa mereka. Kalau mereka sampai berbicara di media atau menulis di
blog,sudah pasti bisa berakibat buruk bagi citra hotel dan masa depan
Ubud.Bagi saya sendiri pelayanan di hotel ini sudah lebih dari cukup.

Urusan Sosial

Amarah tamu penting itu akhirnya baru reda setelah ditemui pimpinan
tertinggi,seorang muda yang juga dikenal sebagai penduduk di Desa
Ubud.Tentu saja bukan karena jabatannya yang tinggi yang membuat tamu
menurunkan ”tone”-nya, melainkan karena apa yang mereka bicarakan.

General manager muda itu menuturkan bahwa hotel ini dikelola oleh
orang-orang desa yang seharihari bekerja menjaga kelestarian alam di
Bali. Bila pagi mereka bekerja, menjemput tamu, mengangkat koper ke
kamar, memasak, membersihkan kamar, sore harinya mereka
berkesenian,menjaga kesucian air, memelihara tradisi, mengikuti
upacara adat,ikut rapat di banjar-banjar,dan seterusnya. Perbincangan
itu rupanya cukup menarik perhatian tamu itu yang lalu mengalihkan
perhatiannya pada urusan lingkungan.Sikapnya cepat sekali berubah
setelah mengetahui bagaimana hubungan antara sosial dan bisnis di
hotel ini. ”Kalau di perusahaan Anda mungkin harus untung dulu baru
berbagi lewat program-program CSR.

Bagi kami sebaliknya. Kami harus berbagi,melakukan CSR sekalipun belum
untung,”ujarnya. Inilah yang membedakan social business dengan
business ”as usual.” Dalam bisnis yang seharihari kita temui, orang
bekerja keras dengan tujuan mengejar keuntungan. Dalam social
business, seperti yang digariskan penerima Nobel Ekonomi Mohammad
Yunus, orang berbisnis dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan
sosial, mengurangi kemiskinan, memperbaiki mutu lingkungan, dan
pendidikan rakyat. Tujuan itu kerap tak ada hubungannya sama sekali
dengan bisnis. Bahkan Anda bisa saja mengatakan semua ini adalah
urusan negara,bukan urusan Anda. Dalam paradigma business, kalau
meraih untung tentu baik untuk berkontribusi sosial.

Di dalam social business bukan berarti harus untung dulu baru kemudian
berbagi. Konsep maximization wealth yang Anda pelajari di fakultas
ekonomi menjadi tidak penting bagi pemilik usaha sosial, namun penting
untuk dibagikan kepada masyarakat. Mohammad Yunus sendiri bukanlah
pengusaha biasa. Dia memang dikenal sebagai entrepreneur yang sukses
dengan microfinance dan usaha telekomunikasi dengan pasar yang sangat
luas (Grameen Phone) di Bangladesh.He is really a businessman. Tetapi
kita semua tahu, tujuannya bukanlah mengejar personal wealth,
melainkan public wealth. Di Ubud, ratusan vila mewah berkembang pesat,
dibangun banyak orang dalam lima tahun belakangan.

Sebagian besar dibangun orang-orang kebangsaan asing atau orang-orang
dari luar Bali. Tentu saja tidak semua pemilik hotel itu paham tentang
nilai-nilai dan budaya Bali. Tetapi saya tahu persis,generasi pertama
usahawan asing atau pendatang dari Jakarta yang masuk ke Bali sempat
frustrasi saat mengatur jadwal kerja karyawan lokal yang jauh lebih
mengutamakan kegiatan gotong-royong dan sosial di balai-balai adat dan
banjar-banjar daripada masuk kerja kantor mengikuti jadwal resmi.
Mereka lebih rela diberhentikan oleh kantor daripada dikucilkan adat.
Waktu berjalan, lama-lama kedua belah pihak (pengusaha dan karyawan)
menemukan titik temu. Hotel bisa bekerja dengan pelayanan
prima,karyawan bisa tetap berkesenian dan berkegiatan sosial. Intinya
sebenarnya cuma time management saja.

Di desa seperti Ubud,model social business jelas sebuah bentuk
yangtidakdapatdiabaikandanmenj
adi model yang penting bagi kita untuk
mencari model seperti apa yang cocok untuk dikembangkan di Indonesia.
Semakin tinggi segmen yang hendak dibidik, semakin penting perilaku
sosial seorang usahawan. Maka mengapa tidak membuat social business
saja dari awal.

Konsumen dan Warga Negara

Sebuah model baru dalam berusaha? Tentu saja saya tak bermaksud
mengatakan model berusaha yang kita kenal telah berada di ruang yang
salah dalam bentuk yang sudah tak sesuai lagi dengan kebutuhan. Namun
perhatikanlah, siapa yang paling mampu memberikan kesejahteraan,
negara atau dunia usaha? Perhatikan pula mana yang lebih berkuasa:
konsumen atau warga negara? Sebagai warga negara kita hanya vote
paling sering dua atau tiga tahun sekali. Tetapi sebagai konsumen,
kita vote berkali-kali sehari dalam proses pembelian.

Kita vote untuk bank, airlines, minuman kesehatan,kecap,sabun, air
mineral, teh kopi, telekomunikasi beberapa kali dalam sehari. Itu
sebabnya, sebagai konsumen, kita menjadi lebih powerfulketimbang
sebagai warga negara. Lihatlah betapa frustrasinya kita menyaksikan
arah pemberantasan korupsi yang tak kunjung tuntas belakangan
ini.Sebagai warga negara kita frustrasi, namun sebagai konsumen kita
bisa jadi tetap bahagia. Di sisi lain, kita juga melihat begitu cepat
sekali perusahaan membagikan asuransi dan biaya pendidikan kepada
karyawankaryawannya ketimbang kecepatan negara. Bahkan dalam
upayaupaya untuk membantu para pengungsi yang terlanda bencana alam
terlihat jelas perusahaanperusahaan bergerak lebih lincah dalam
membangun fasilitas-fasilitas fisik ketimbang negara.

Saya sering bertanya dalam hati, mana yang lebih efektif bagi saya
untuk membangun negeri ini: menjadi pejabat negara dan duduk dalam
struktur birokrasi atau mendirikan sebuah social business seperti yang
dicontohkan hotelhotel di Ubud atau usaha yang dirintis Mohammad
Yunus. Anda mungkin akan mengatakan, kalau menjadi pejabat langkahnya
bisa besar karena negara mengurus uang yang besar; sedangkan
perusahaan uangnya terbatas. Saya pun sepakat. Di Rumah Perubahan kami
juga hanya mengurus soal-soal kecil seperti Rumah Baca, PAUD,Taman
Kanak-kanak, dan mengurus sampah.Dampaknya ya kecil-kecil
saja.Kalaupun sudah ribuan orang yang belajar kewirausahaan dan mulai
menjadi entrepreneur,sudah pasti mereka mulanya dari usaha kecil dan
menengah.

Pasti setahun dua tahun ini mulainya masih kecilkecilan. Tetapi ada
satu hal yang saya pelajari, kegiatan yang skopnya terbatas ini
ternyata mampu menginspirasi murid-murid kami. Sejumlah orang lalu
mulai bertanyatanya bagaimana cara menggandakan gagasan ini. Ketika
orang banyak merasa juga bisa melakukan hal ini, maka dia pun bisa
bergulir menjadi besar, menjadi sebuah gerakan perubahan. Kalau itu
bisa kita lakukan bersama, maka hidup kita akan menjadi lebih terang
benderang. Saya kira social business akan menjadi model usaha yang
menarik bagi Anda,Pembaca.(*)

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/370171/
Share this article :

0 komentar: