Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat RI telah memilih Busyro Muqoddas
sebagai pemimpin sekaligus Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi yang
baru, menggantikan Antasari Azhar. Dengan tampilnya Busyro, secara
otomatis kandidat lain, yakni Bambang Widjojanto, tersingkir. Secara
kasatmata, gagalnya Bambang Widjojanto menjadi Ketua KPK disayangkan
banyak pihak.
Meskipun kedua calon pemimpin KPK adalah jebolan terbaik dari sebuah
proses panjang seleksi oleh Panitia Seleksi KPK, karakter Bambang
Widjojanto jauh lebih diharapkan dapat mendobrak berbagai kebuntuan
dalam agenda pemberantasan korupsi ketimbang Busyro, yang memiliki
pembawaan lebih kalem.
Tampilnya Busyro sebagai Ketua KPK yang baru sebenarnya sudah dapat
diprediksi sejak awal. Dalam perhitungan politik DPR, Busyro dipandang
lebih dapat memberikan situasi psikologi politik yang “nyaman”,
meskipun publik percaya, baik Bambang Widjojanto maupun Busyro
bukanlah tipikal orang yang bisa diajak berkompromi. Sebaliknya,
publik sekarang sangat berharap pembawaan karakter Busyro yang santun
tidak melunakkan sikap dan keputusan KPK dalam menangani perkara
korupsi, terutama yang melibatkan politikus Senayan.
Kehati-hatian DPR dalam menentukan sikap politik terhadap Ketua KPK
baru diikuti dengan keputusan untuk membatasi masa jabatan Busyro
hanya satu tahun.Tafsir sepihak parlemen tentu saja mengindikasikan
adanya kekhawatiran yang demikian besar bahwa Busyro juga akan membawa
“gempa dahsyat”bagi politikus Senayan jika dibiarkan menjabat hingga
empat tahun ke depan. Sikap tidak konsisten parlemen dalam menafsirkan
isi undang-undang menunjukkan bahwa kepentingan politik sempit lebih
ditonjolkan daripada kepentingan pemberantasan korupsi di Indonesia.
sia.
Masalah internal Tantangan pertama bagi Ketua KPK baru adalah
bagaimana dia mampu mengidentifikasi persoalan internal KPK yang
semakin rumit pascakriminalisasi Bibit dan Chandra. Sinyalemen yang
menunjukkan ancaman bagi integritas kelembagaan KPK bisa dilihat dari
gamangnya sikap kolektifkolegial pimpinan KPK dalam menghadapi
indikasi pelanggaran kode etik yang dilakukan pegawainya. Sebagai
contoh untuk disebutkan, Fery Wibisono, Direktur Penun tutan KPK yang
diduga melakukan pelanggaran kode etik kala memberi perlakuan istimewa
bagi koleganya, Wisnu Subroto, saat diperiksa oleh tim KPK dalam kasus
Anggodo, sampai saat ini tidak diberi sanksi apa pun. Celakanya, saat
ini Fery justru dipercaya merangkap sebagai Direktur Penyidikan KPK.
Demikian halnya, isu mengenai loyalitas ganda penyidik KPK yang
berlatar belakang jaksa ataupun polisi tidak dapat ditutup-tutupi
lagi. Kabar yang beredar, jika hasil keputusan rapat internal KPK akan
dapat diketahui oleh pihak-pihak tertentu di luar KPK, kian menegaskan
terpecahnya orientasi kalangan internal KPK. Jika situasi ini
dibiarkan, ia akan memberi pengaruh negatif terhadap kinerja KPK,
paling tidak menurunkan kualitas penanganan perkara korupsi. Pasalnya,
lembaga penegak hukum yang saat ini mendapat kepercayaan tinggi dari
publik untuk memberantas korupsi hanya KPK. Jika masalah internal KPK
tidak diantisipasi, tentu saja dukungan publik terhadap KPK juga dapat
memudar.
Masalah internal lain yang harus dibaca oleh Busyro adalah bagaimana
dia bisa mengkonsolidasikan kembali kekuatan be
Di luar masalah internal, Ketua KPK yang baru juga dihadapkan pada
persoalan bahwa KPK masih memiliki utang penanganan perkara korupsi.
Khususnya kasus korupsi yang menyita perhatian publik luas. Karena
masa tugasnya yang hanya satu tahun, tentu Busyro tidak dapat
diharapkan terlalu banyak untuk bisa melakukan gebrakan. Hanya, ada
segelintir kasus korupsi yang sepertinya tidak mulus proses
penanganannya.
Salah satu yang bisa disebut adalah kasus cek pelawat. KPK memang
telah menetapkan 26 tersangka yang semuanya berla
tar belakang politikus dan dianggap sebagai penerima suap. Namun masih
ada pertanyaan tersisa, yakni kapan KPK sanggup menyeret pihak-pihak
tertentu yang disinyalir memberikan sejumlah dana untuk keperluan
menyuap DPR agar memilih Miranda Goeltom sebagai Deputi Gubernur
Senior BI.
Terkesan, dengan tidak pernah dapat diperiksanya Nunun Nurbaetie
sebagai salah satu pihak yang layak dimintai keterangan oleh KPK, ada
kekuatan besar yang telah memacetkan proses hukum di KPK dengan
sengaja. Meskipun Nunun sudah empat kali dipanggil KPK untuk dimintai
keterangan, sampai detik ini ia tidak mau menampakkan batang
hidungnya. Sikap tak peduli Nunun sebenarnya dapat dipandang sebagai
bentuk nyata pelecehan terhadap penegak hukum. Jika KPK salah dalam
mengambil sikap, sangat mungkin sikap Nunun yang abai terhadap
pemanggilan KPK akan menjadi preseden bagi pihak lain yang tengah
berurusan dengan proses hukum di KPK.Terbukti, sikap mbalelo itu kini
ditunjukkan pula oleh Panda Nababan, salah satu tersangka kasus cek
pelawat yang menolak diperiksa KPK.
Selain kasus cek pelawat, yang juga menjadi atensi publik luas adalah
kasus mafia pajak Gayus dan skandal Bank Century. Jika KPK gagal
menangkap aspirasi publik untuk dapat menangani dua kasus ini dengan
serius, sangat mungkin apresiasi publik terhadap KPK juga akan
menurun. Dalam kasus Gayus, KPK mulai menunjukkan sikap jelas.
Sayangnya, dalam konteks kasus bank Century, KPK tampaknya telah
terpenjara oleh tekanan politik DPR. KPK bimbang dalam mengambil
sikap, akan melanjutkan proses hukum kasus Century, atau bahkan
mengambil keputusan tidak populer, yakni menghentikan penyelidikan
skandal Century jika memang secara hukum mengharuskannya.
Ketiga kasus di atas merupakan parameter bagi independensi KPK
mengingat, pada ketiga kasus itu, dimensi politiknya lebih pekat
dibandingkan kasus lain, semisal kasus korupsi di daerah. Dengan waktu
yang hanya satu tahun, andai Busyro sanggup menyelesaikan persoalan
internal KPK sekaligus membuktikan keberanian yang besar untuk
menuntaskan ketiga kasus di atas, Busyro dan seluruh punggawa KPK akan
dikenang sebagai orang-orang besar yang ada pada zamannya. Akan
tetapi, jika gagal, kredibilitas dan kemampuan Busyro sebagai pendekar
hukum akan dipertanyakan oleh publik luas.
http://epaper.korantempo.com/
0 komentar:
Posting Komentar