BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Merajut kembali Iptek Indonesia

Merajut kembali Iptek Indonesia

Written By gusdurian on Kamis, 16 Desember 2010 | 11.41

Oleh M Evri Perekayasa Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

Pemerintah dan wakil rakyat harus duduk bersama untuk menyamakan
pemikiran dan visi, termasuk merevisi aturan yang berkontribusi
menghambat gerak maju iptek Indonesia."
LUASNYA laut, darat an, dan kekayaan sumber daya Indone sia telah
menjadi berkah khusus bagi Indonesia untuk menikmatinya. Dengan cara
apa kita menikmatinya?
Bagaimana cara mengangkatnya dari perut bumi, bagaimana mengonversinya
menjadi sesuatu yang layak guna, layak pakai, dan layak konsumsi?
Semua tentu memakai cara, memakai metode, memakai ilmu, memakai
teknologi, memakai inovasi, yang dikenal dengan ilmu pengetahuan dan
teknologi (iptek).

Negeri ini berisi orang-orang hebat. Terbukti dari prestasi mereka
dalam kancah internasional, melalui olimpiade matematika, kimia,
fisika, dan biologi, yang selalu mendapat tempat terhormat. Lalu apa
tindak lanjut dari semua itu untuk mendayagunakan putraputri terbaik
bangsa? Di tangan mereka bakal lahir inovasiinovasi baru yang menjadi
simbol eksisnya suatu bangsa. Acara Kick Andy di Metro TV banyak
mengekspos orangorang hebat yang lahir di negeri ini. Bagaimana
seorang Nelson Tansu menjadi profesor termuda di Amerika dengan
kemampuan personal yang luar biasa, dan keahliannya diakui secara
internasional. Bagaimana salah seorang putra terbaik bangsa juga kini
tengah menduduki pucuk pimpinan HRD di PLN-nya Swedia.

Iklim penelitian di sana sungguh kondusif, dana sa ngat layak
(defenisi layak mengacu pada internasional), dana mengucur tepat
waktu, prosedur administrasi mudah, dan budaya aparatur negaranya
bersih. Sehingga proses pencairan dana riset tepat wak tu dan tidak
ada yang dicuri. Budaya yang entah kapan bisa ada di bumi ini.

Di era 1970-an dunia takjub akan dunia iptek lewat misi Apollo 13 ke
Bulan. Tepatnya 11 April 1970, ketika Apollo 13 tengah meluncur tiba-
tiba meng alami kendala teknis.

Kalkulasi di atas kertas ternya
ta mampu membim bing para astronaut untuk kembali dengan selamat ke
Bumi.

Sejarah iptek pun telah ditorehkan dalam penyelamatan 33 pekerja
tambang di Cile. Dengan teknologi kapsul yang mampu menembus bawah
Bumi, akhirnya 33 pekerja yang terjebak di areal penambangan selama
berbulan-bulan bisa terselamatkan.

Dua peristiwa besar yang berbeda era tersebut menunjukkan bahwa dari
masa ke masa capaian iptek yang ada di dunia begitu dinamis dan
meningkat pesat. Ada konsistensi dalam menempatkan iptek sebagai soko
guru perekonomian.

Sebagai senjata dan sebagai wahana kemakmuran bagi bangsa yang
melakukannya.

Melihat hal tersebut, muncul suatu perta nyaan dalam benak kita
bagaimana dengan bangsa kita? Bila melirik ke fasilitas-fasilitas yang
sudah diinisiasi di masa BJ Habibie sebagai menristek, kondisi saat
ini sungguh mengenaskan. Tempat yang diisi putra-putra hebat bangsa
ini dalam kondisi memprihatinkan.
Apabila pemerintah konsisten dan berkomitmen untuk membawa bangsa
Indonesia maju, tentu tidak akan ada laboratorium yang menganggur dan
menjadi besi tua.

Apalah susahnya mengalokasikan anggaran yang layak untuk perawatan
fasilitas. Sangat tidak rugi bila pemerintah
mengalokasikan anggaran yang sangat rasional untuk kemajuan iptek
bangsa. Hal itu sangat wajar karena di lumbung inovasi akan melahirkan
`senjata' untuk kemajuan bangsa. Pemerintah harus sadar negara ini
wajib mengalokasikan dana iptek besar, kontinu, dan progresif untuk
investasi bangsa ini.

Anggaran iptek saat ini masih di bawah 1% dari APBN, dari sudut
pandang apa pun tidak bisa bermakna banyak. Tidak perlu jauh-jauh, di
lingkungan ASEAN saja anggaran iptek Indonesia paling kecil. Padahal
potensi anak bangsanya luar biasa. Lalu apa peran pusat penentu
kebijakan nasional melihat hal ini? Banyak sistem yang salah.
Kementerian yang berposisi sebagai pembuat kebijakan malah sebagai
pelaksana teknis juga.

Bila melihat di negara-negara maju, kementerian tidak ada yang menjadi
penerima dana dari aspek apa pun. Mereka hanya membuat kebijakan, dan
eksekusinya diserahkan kepada pihak-pihak yang kompeten.

Apakah melalui kontrak ke
pada laboratorium universitas dan pusat penelitian terbaik di
negaranya, atau kepada konsultan yang memang andal ataupun kepada
perusahaanperusahan yang berkelas.

Sangat perlu pemerintah mengajak dewan meninjau ulang regulasi tentang
iptek yang ada. Dengarkan, simak, pertimbangkan masukanmasukan dari
putra-putra hebat kita, dan kemudian dilaksanakan. Kita tidak bisa
hanya sekadar marah dengan melayangkan protes diplomatik kepada negara
lain yang menyerobot batas wilayah. Saat ini kondisi alutsista kita
tidak berfungsi optimal dan mumpuni, sehingga terbatas untuk mengawal
sumber daya alam kita yang begitu luas.

Putra-putri bangsa sesungguhnya sangat berpotensi dalam membuat
alutsista terbaik juga. Hanya saja kesempatan itu belum sampai secara
signifi kan.

Jangan sampai negara lain yang memberi kesempatan dengan godaan dana
iptek yang besar.

Peta iptek Indonesia sampai 2025, 2050, dan 2100, bagaimana? Kita
tidak ingin mewariskan kebangkrutan kepada
anak cucu kita. Seharusnya semua proyek nasional harus dikerjakan
putra-putri bangsa, bukan orang asing. Pemerintah sebagai pemangku
kebijakan harus bisa merajut iptek Indonesia kembali dengan
perencanaan yang baik, tata kelola yang baik melalui beberapa tahapan.

Pemerintah harus bisa menghilangkan simpul-simpul penghambat iptek
seperti pajak untuk dana riset. Melancarkan simpul aturan dan
birokrasi yang menghambat. Pemerintah juga harus bisa menciptakan
kultur sehat di dunia penelitian dengan cara menambah dana riset yang
sesuai, layak, serta rasional.

Dalam menyelesaikan persoalan iptek nasional ini, pemerintah dan wakil
rakyat harus duduk bersama untuk menyamakan pemikiran dan visi,
termasuk merevisi aturan yang berkontribusi menghambat gerak maju
iptek Indonesia.

Tentu saja hal ini akan semakin sempurna bila media massa cetak dan
elektronik ikut mengibarkan betapa pen tingnya memajukan iptek
berkarakter Indonesia

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/12/16/ArticleHtmls/16_12_2010_021_027.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: