Generasi tim nasional sepak bola Indonesia saat ini boleh dibilang
paling mujur. Meskipun mutu kompetisi tak beranjak banyak dalam satu
dekade terakhir dan tim ”Merah Putih” tiap tahun makin redup pamornya
di pergaulan internasional, tiap kali timnas bertanding, Stadion
Gelora Bung Karno selalu bergemuruh riuh.
Bagi penggila timnas Merah Putih, pada akhirnya kalah atau menang
bukan lagi isu utama. Saat timnas tampil heroik di putaran final Piala
Asia 2007, penonton memuja mereka meski kalah. Apalagi saat menang.
Maka, tiga kemenangan beruntun atas Malaysia, Laos, dan Thailand di
kejuaraan Piala AFF seakan membawa tim ”Garuda” asuhan Alfred Riedl
itu melayang ke langit.
Bagi sebagian besar orang Indonesia yang makin hari makin merasa tak
punya masa depan, di tengah terus melambungnya angka inflasi, di
tengah semakin tidak fokusnya pemerintah menangani problema utama
rakyat, di tengah makin merajalelanya korupsi, sepak bola sekali lagi
menjadi katup penyelamat. Euforia kemenangan Bambang Pamungkas dan
kawan-kawan merembes cepat ke seluruh negeri, ke semua strata dan
kelas masyarakat.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun tak ketinggalan larut dalam
euforia ini. Bukan ucapan pujian semata yang dilontarkan dari Istana,
dia pun menyambangi Bambang Pamungkas dan kawan-kawan di lapangan
latihan Senayan. Sempat membuat kalang kabut pejabat PSSI karena
kunjungan mendadaknya, Presiden Yudhoyono memberikan suntikan moral
bagi pasukan Garuda.
Kunjungan mendadak Presiden ke kamp latihan timnas PSSI barangkali
patut dicatat dalam sejarah. Sebab, rasanya baru kali inilah seorang
RI 1 sudi mampir ke lapangan latihan dan secara khusus memberikan
dukungan moral kepada timnas sepak bola. Sulit untuk tidak menduga
bahwa Presiden memanfaatkan euforia luar biasa di tengah masyarakat
berkat penampilan tim Garuda. Dilihat dari sudut komunikasi politik,
Istana memanfaatkan momentum sepak bola untuk menaikkan lagi pamor dan
citranya setelah habis-habisan diterpa badai kritik, terakhir soal
Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta.
Meski begitu, apa pun motivasi di balik kunjungan Presiden Yudhoyono
ke Senayan, hal ini harus dipandang sebagai babak baru pembangunan
sepak bola Indonesia. Perhatian yang sangat besar dari pemimpin negeri
ini terhadap timnas harus pula dipandang sebagai momentum untuk
memberikan tenaga ekstra bagi pembangunan sepak bola. Apalagi,
Presiden Yudhoyono sempat mendapat masukan dari Alfred Riedl soal
buruknya mutu lapangan latihan timnas PSSI, yang notabene masih
menyewa dari Yayasan Gelora Bung Karno, yang berada dalam koordinasi
Sekretariat Negara.
Begitu mendengar keluhan Riedl, Presiden pun segera memerintahkan PSSI
berkoordinasi dengan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng
untuk proyek perbaikan lapangan latihan timnas. Segera angka-angka
dalam hitungan puluhan miliar rupiah berseliweran di media massa untuk
proyek perbaikan lapangan timnas yang sebenarnya dibandingkan dengan
sejumlah lapangan sepak bola lainnya di lingkungan GBK kondisinya
paling baik. Hanya saja, untuk ukuran lapangan latihan timnas sebuah
negara, memang sangat jauh dari layak.
Sebenarnya, lebih dari itu, Presiden Yudhoyono pun sebaiknya diberikan
informasi lebih lengkap dan komprehensif. Sampai sekarang, timnas
sepak bola tidak mempunyai kamp latihan sendiri. Idealnya, timnas
sepak bola memiliki kompleks latihan sendiri yang modern, dengan
lapangan berstandar internasional serta dilengkapi dengan mes pemain,
fasilitas kebugaran, dan sarana penelitian yang benar-benar mumpuni.
Ketua Umum PSSI Nurdin Halid belum lama membenarkan bahwa timnas yang
merupakan ujung dari pembinaan sepak bola memang harus mempunyai
fasilitas latihan dan kamp tersendiri demi mencetak prestasi yang
lebih baik. ”Kami sedang menyiapkan lahannya di daerah Lido,” ujar
Nurdin. Jika demikian, PSSI seharusnya segera menangkap momentum ini
dengan mengajak pemerintah merealisasikan proyek itu sesegera mungkin.
Dengan ”lampu hijau” dari Presiden, keperluan fundamental timnas itu
seharusnya bisa direalisasikan tahun depan.
Di sisi lain, Kementerian Pemuda dan Olahraga pun seharusnya langsung
menyambar pesan Presiden ini dengan segera membuat perencanaan untuk
membangun lapangan-lapangan berstandar internasional di sejumlah
daerah. Secara gamblang, Riedl sebenarnya menyebut lapangan sintetik
sangat ideal untuk kondisi geografis Indonesia bercurah hujan tinggi.
Meski investasinya lebih mahal ketimbang lapangan rumput, dalam jangka
panjang lapangan jenis ini lebih ekonomis. ”Kalau hujan, tetap bisa
dipergunakan dan teknik pemain tidak akan rusak,” ujar Wolfgang Pikal,
asisten Riedl, dalam sebuah kesempatan.
Lapangan sepak bola dengan kualitas baik memang menjadi salah satu
faktor yang membuat pembangunan sepak bola di negeri ini tersendat. Di
Jakarta saja, mencari lapangan berkualitas baik untuk menggelar
kompetisi ibarat mencari jarum di seonggok jerami. Jika Kementerian
Pemuda dan Olahraga menargetkan paling tidak bisa membangun dua
lapangan sintetik di setiap daerah kantong pemain bola—bekerja sama
dengan pemerintah daerah—rasanya dalam lima tahun ke depan timnas
Garuda sudah mendapatkan ribuan bibit pemain terbaik.
Dalam tiga dekade terakhir, fasilitas lapangan sepak bola di sejumlah
daerah memang tidak sekadar memburuk mutunya, tetapi terlebih merosot
kuantitasnya. Pemda jauh lebih suka menggandeng tangan swasta untuk
membangun lahan bisnis, terutama mal dan perkantoran, dalam
pemanfaatan lahan. Sebenarnya, lahan olahraga pun punya prospek bisnis
yang sangat cerah jika dikelola secara profesional. Barangkali,
memang, tingkat pengembalian keuntungan fasilitas olahraga jauh lebih
lama ketimbang lahan bisnis. Namun, tugas pemerintah, dalam hal ini
pemda, seharusnya juga membangun dunia olahraga. Yang dibutuhkan hanya
sebuah kemauan politik untuk tidak terlalu serakah dalam pemanfaatan
lahan. Tanpa kemauan politik yang kuat, olahraga, khususnya sepak
bola, hanya akan dijadikan alat politik untuk membangun citra alias
politik pencitraan.
http://cetak.kompas.com/read/
0 komentar:
Posting Komentar