BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Politik Indonesia 2011 masihkah Demokrasi Semu?

Politik Indonesia 2011 masihkah Demokrasi Semu?

Written By gusdurian on Kamis, 16 Desember 2010 | 11.42

Oleh Pramono Anung Wibowo Wakil Ketua DPR RI, politikus PDI
Perjuangan

DALAM sebuah diskusi di Jakarta beberapa waktu lalu, mantan Ketua PP
Muhammadiyah Ahmad Syafi i Ma’arif menilai pemerintah saat ini
menunjukkan gejala mati rasa terhadap berbagai persoalan.

Apa yang disampaikan Buya Syafi i itu, menurut pandangan saya, tidak
saja mengandung kebenaran, tapi-–lebih daripada itu--sejatinya bisa
menjadi evalu asi politik 2010 sekaligus ‘cetak biru’ untuk
menggambarkan politik Indonesia ke depan.

Sebagaimana diketahui, bersamaan dengan tumbangnya rezim otoriter Orde
Baru dan munculnya era reformasi tahun 1998, membumbung pula harapan
masyarakat akan adanya perbaikan di semua lini kehidup an. Itu bisa
dipahami kare na sepanjang Orde Baru ber kuasa, nilai-nilai demokrasi
telah dikebiri lewat berbagai macam cara, semata untuk melanggengkan
kekuasaan dan menyokong berbagai kepentingan si pengua sa berikut
kroni-kroninya.

Harapan masyarakat itu-harus diakui--sempat terkanalisasi seiring
dengan munculnya berbagai kebijakan yang dinilai bisa memberi
penguatan pada nilai-nilai demokrasi. Baik di bidang politik, sosial,
ekonomi, budaya, dan sebagainya. Pers yang selama Orde Baru dipasung,
misalnya, dibiarkan tumbuh dan berkembang sekaligus diberi kebebasan
dengan diterbitkannya UU No 40/1999 tentang Pers.

Sistem pemerintahan yang sebelumnya sangat sentralistik dan semuanya
serba-’Jakarta
sentris’ juga dibinasakan melalui keluarnya UU No22/1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbang an
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. UU tersebut
kemudian direvisi menjadi UU No 32/ 2004 dan UU No33/ 2004.

Bahkan, yang sangat menjanjikan adalah soal pemilu presiden yang
sebelumnya dilakukan secara tidak langsung (presiden dipilih MPR),
sejak 2004, untuk kali pertama Indonesia menggelar pilpres secara
langsung.

Setahun kemudian, tepatnya Juni 2005, untuk pertama kalinya juga
negeri ini menyelenggarakan pemilihan umum kepala daerah (pemilu kada)
secara langsung.

Perubahan sistem pemilu itu tentu menjadi titik penting dalam upaya
penguatan demokrasi di Indonesia karena kendati pemilu hanya
instrumen, instrumen itulah, diakui atau tidak, yang menjadi esensi
dari demokrasi. Lewat pemilu, terbangun ikatan politik antara rakyat
sebagai sumber kekuasaan dan pemerintahan terpilih sebagai
penyelenggara kekuasaan. Ikatan itu tentu saja me nimbulkan hubungan
timbal balik.

Hubungan timbal balik itu dalam bentuk yang sederhana adalah: pemilih
memberi legitimasi terhadap yang dipilih karena itu pemilih memiliki
hak untuk melakukan kontrol dan pengawasan (tanggung gugat) terhadap
yang dipilih. Atau, dari kacamata lain, pemerintahan yang dipilih
memiliki kewajiban untuk melakukan pertanggungjawaban kepada rakyat
yang telah memberinya
legitimasi kekuasaan.
Demokrasi masih semu?
Namun, apakah saat ini kondisinya sudah berbanding lurus dengan
harapan yang telanjur membumbung tinggi itu?
Jangankan berbanding lurus, mendekati pun publik pasti tidak
melihatnya. Sebab dalam perkembangannya, harapan itu seolah mengalami
stagnasi, bahkan layu tatkala penguatan demokrasi itu ternyata hanya
menyentuh pada aspek prosedural, dan bukan substansial.
Betapa tidak, karena dalam praktiknya--meminjam istilah Buya Syafii--
penyelenggara negara dari waktu ke waktu semakin kuat menunjukkan
gejala mati rasa.

Kita semua bisa melihat gejala mati rasa penyelenggara negara misalnya
dalam soal pembelian mobil mewah untuk para menteri Kabinet Indonesia
Bersatu II atau juga pembangunan pagar istana presiden yang menelan
biaya puluhan miliar rupiah. Kebijakan itu jelas mencederai rasa
keadilan publik karena di saat yang sama kemiskinan masih mengharu
biru Indonesia (jumlah orang miskin di Indonesia per Maret 2010
berdasar BPS sebanyak 31,02 juta orang--relatif tak banyak berubah
jika dibandingkan dengan data per Februari 2005, yakni sebesar 35,10
juta orang).

Publik juga bisa melihat bagaimana penyikapan kasus Lapindo,
terjadinya `kriminalisasi' terhadap dua pemimpin KPK, penanganan kasus
Bank Century yang belum jelas bagaimana akhirnya, serta kuatnya nuansa
tebang pilih terhadap penanganan kasus korupsi.
Kesemuanya itu adalah contohcontoh lain yang harus diakui kian
mengiris rasa keadilan.

Ironisnya lagi, perilaku yang tak populer di mata publik itu
melibatkan elite-elite politik dari lintas partai. Mereka bukannya
mengingatkan munculnya gejala mati rasa dari penyelenggara negara,
melainkan sepertinya justru sengaja berkerumun di lingkar kekuasaan
untuk kebagian `kue' kekuasaan. Akibatnya, yang terekam ke publik
adalah: parpol yang merupakan pilar demokrasi tak ubahnya kumpulan
elite yang hanya berburu kekuasaan.

Situasi itu kemudian diperparah dengan perkembangan yang terjadi yakni
munculnya ‘politik barter’, yakni keuntungan pribadi atau kelompok
menjadi pertimbangan utama.

Adanya politik barter jelas mencemaskan karena tidak saja berpotensi
menggerus kualitas kebijakan, baik berupa aturan
perundang-undangan atau keputusan dalam menentukan pilihan. Tapi juga
membuat pembahasan terhadap peraturan menjadi bertele-tele sekadar
untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan kelompok semata. Lebih
daripada itu, `politik barter' memicu terbentuknya politik oligarki,
sekaligus memunculkan demokrasi semu di Indonesia.
Harapan politik 2011 Dari kesemua fenomena yang terjadi itu, masihkah
ada harapan bahwa 2011 nanti perpolitikan, konsolidasi demokrasi, akan
menemui titik terang?
Rasanya jika mengacu pada bagaimana penyelenggara negara menyikapinya,
harapan itu masih menjadi impian. Jika tidak ada terobosan dan komit
men kuat dari penyelenggara negara dan juga elite-elite parpol ke arah
mana keberpihakannya, yang akan muncul dalam beberapa waktu ke depan
justru kian menipisnya kepercayaan publik di satu sisi dan menguatnya
kekecewaan di sisi lain.

Sebenarnya tidak seharusnya publik menyambut tahun 2011 dengan
pesimisme yang akut karena fi losofi bernegara adalah untuk melihat
terwujudnya harapan dan kepentingan kolektif. Namun, dengan
gejalagejala politik akhir-akhir ini sepertinya memang menjadi warning
bagi publik untuk siap menerima kekecewaan lagi.

Sebut saja bagaimana penyelenggara negara memolemikkan keistimewaan
Yogyakarta tatkala air mata sebagian warga Yogyakarta belum kering
oleh bencana meletusnya Gunung Merapi. Dalam soal itu, mestinya
sebagai sebuah bangsa kita wajib menghormati sejarah dan menjunjung
tinggi kesepakatan para pendiri bangsa.

Belum lagi dalam kasus mafi a pajak Gayus Tambunan, dengan Presiden
dalam berbagai kesempatan menyatakan akan menghindari segala bentuk
intervensi terhadap soal ini. Presiden lupa bahwa persoalan Gayus
masih ditangani aparat kepolisian dan kejaksaan yang notabene
merupakan domain eksekutif, bukan yudikatif. Pe nanganan hukum yang
terksesan setengah-setengah seperti itu justru akan membuat kekecewaan
publik semakin me numpuk.

Celakanya, kekecewaan itu sepertinya akan memperoleh sumbu penyulut
dengan bakal lahirnya berbagai kebijakan yang tidak populis dan
cenderung hanya akan semakin membebani kehidupan rakyat sehari-hari.
Misalnya bakal dinaikkannya lagi tarif dasar lis
trik atau dilakukannya pembatasan konsumsi BBM (bahan bakar minyak)
bersubsidi mulai tahun depan. Belum lagi, misalnya, rencana penaikan
tarif kereta api kelas ekonomi.

Karena, bagi rakyat, apa pun alasan pemerintah untuk menaik kan tarif
dasar listrik ataupun membatasi penggunaan BBM bersubsidi tetap saja
sulit dipahami dan diterima. Bahkan, bukan tidak mungkin, penaikan itu
justru akan semakin menguatkan kecurigaan terjadinya ‘patgulipat’ di
tingkat elite pusat sebagaimana halnya yang terjadi dalam penjualan PT
Krakatau Steel, misalnya.

Pada gilirannya, semakin menipisnya kepercayaan serta menguatnya
kekecewaan publik itu bukan tidak mungkin akan menyulut kemarahan
dalam intensitas yang tinggi. Ini tentu perlu diwaspadai karena tidak
hanya akan mengait dengan persoalan keamanan, tapi juga mempengaruhi
stabilitas bidang-bidang lainnya.

Karena itulah, tidak bisa tidak, para penyelenggara negara, serta para
elite politik di negeri ini harus segera melakukan evaluasi sekaligus
reorientasi baik menyangkut perilaku maupun kepentingan. Sudah saatnya
konsolidasi demokrasi tak lagi terus-menerus berkutat pada soal
prosedural belaka, substansi dan etoslah yang mesti hadir dalam
peradaban demokrasi kita di masa yang akan datang.

Hal terpenting juga harapan publik atas penegakan hukum untuk tidak
hanya diarahkan pada lawan politik kekuasaan, serta menghilangkan
‘politik barter’ juga harus diperhatikan.

Karena harus diakui, bahwa kondisi politik kita sudah sa ngat maju
dalam hal strategi, tetapi sangat rendah dalam hal etika.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/12/16/ArticleHtmls/16_12_2010_021_016.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: