BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Misteri Tiga Orang Kiri

Misteri Tiga Orang Kiri

Written By gusdurian on Kamis, 16 Desember 2010 | 12.05

BUKU

Bertahun-tahun penguasa Orba menempatkan mereka sebagai mitos sejarah
yang haram untuk diwacanakan.

SEORANG pria berparas dingin, dengan mulut berlumur asap, serius
berkata, “Jawa adalah kunci…”, “Djam D kita adalah pukul empat pagi…”,
“Kita tak boleh terlambat…!”

Dipa Nusantara Aidit pada 1980-an adalah Syu’bah Asa dalam film
berjudul Pengkhianatan G-30-S/PKI. Melalui film itu, Syu’bah berhasil
menciptakan bayang-bayang di pikiran masyarakat tentang sosok Aidit:
lelaki jahat penuh muslihat, haus kekuasaan, dan dengan dingin
memerintahkan pembunuhan para jenderal.

Tapi itu dulu saat Orde Baru masih berkuasa. Ketika tafsir sejarah
tentang Partai Komunis Indonesia (PKI) dan tokoh-tokohnya hanya milik
penguasa. Pascagerakan reformasi 1998, yang diikuti dengan jatuhnya
kekuasaan Soeharto, masyarakat mempertanyakan kebenaran tafsir itu.
Berbagai studi tentang gerakan kiri di Indonesia bermunculan. Tak
terkecuali tentang Aidit, Njoto, dan Sjam Kamaruzzaman, yang coba
ditelusuri majalah Tempo. Buku ini merupakan kumpulan tulisan dari
Liputan Khusus majalah itu.

Masa kecil dan muda Aidit tidaklah semengerikan yang digambarkan Orde
Baru. Dia lahir di Belitung, Sumatra Selatan, pada 30 Juli 1923 dengan
nama Achmad Aidit, dari keluarga terpandang dan berada. Achmad
dikenang sebagai sosok abang yang pelindung. Di kampung, Achmad muda
dikenal pandai bergaul dan jago berenang. Pun, seperti kebanyakan
pemuda Belitung seusianya, dia rajin mengaji. Achmad bahkan terkenal
sebagai tukang azan.

Garis politik Achmad terbentuk sejak dia rajin bergaul dengan buruh-
buruh Gemeenschappelijke Mijnbouw Mattschappij Billiton, perusahaan
timah milik Belanda, yang letaknya sekitar dua kilometer dari tempat
tinggalnya. Tapi karier politiknya baru dimulai saat dia bergabung
dengan Persatuan Timur Muda, sebuah perkumpulan pemuda yang dimotori
oleh Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), di bawah pimpinan Amir
Syarifuddin dan Dr. Adenan Kapau Gani. Kecerdasan dan keluwesan Achmad
segera membawanya menjadi ketua umum Pertimu. Di saat aktivitas
politiknya menanjak cepat itulah Achmad Aidit mengganti nama depannya
menjadi Dipa Nusantara Aidit.

Menjelang proklamasi, Aidit yang tergabung dalam kelompok pemuda
Asrama Mahasiswa Menteng 31, terlibat dalam aksi heroik penculikan
Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok. Semangat revolusi Aidit membuncah
ketika Musso datang dari Rusia. Baginya, kehadiran Musso menjanjikan
aksi, bukan sekadar angan revolusi. Selang waktu sebulan setelah Aidit
menerima jabatan koordinator seksi perburuhan partai, pecah Peristiwa
Madiun 1948. Aidit buron. Kabar tersiar dia kabur ke Vietnam Utara.
Ada pula yang mengatakan dia hanya modar-mandir Jakarta-Medan.

Dua tahun kemudian Aidit muncul lagi. Bersama Njoto dan Lukman, dia
mengkonsolidasikan kekuatan partai yang sempat limbung dan terpecah-
belah. Dalam waktu cepat, “trisula” ini berhasil mengembalikan
kebesaran partai. Tahun 1954 Aidit mengambil-alih kepemimpinan dari
kelompok tua, Alimin dan Tan Ling Djie, serta membawa PKI menjadi
partai terbesar keempat dalam pemilu 1955.

Aidit bercita-cita menjadikan Indonesia negara komunis. Dia punya
teori sendiri tentang Revolusi. Baginya, revolusi bisa berhasil jika
disokong setidaknya 30 persen kekuatan tentara. Tapi teorinya meleset.
Gerakan 30 September 1965 yang dia rencanakan gagal. Aidit tutup buku
dengan cara tragis: di Solo tentara menangkapnya dan menghujaninya
dengan satu magazin peluru kalashnikov.

Njoto berbeda dengan kebanyakan orang komunis. Penampilannya necis.
Jiwa seninya cenderung melankolis. Meski akrab dengan pemikiran Marxis
dan Leninis, Njoto tak menganggap “kapitalis” harus selalu dimusuhi.
Dia belajar politik secara sembunyi-sembunyi. Keluarganya nyaris tak
mengetahuinya.

Petualangan politik Njoto dimulai ketika terlibat dalam perebutan
senjata Jepang di Surabaya, Bangil, dan Jember. Sampai suatu hari
muncul berita: Njoto menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP) di Yogyakarta, sebagai wakil ketua PKI Banyuwangi.

Njoto berkenalan dengan Aidit dan Lukman di Yoyakarta. Kesamaan
ideologi membuat ketiganya cepat akrab. Njoto menjabat wakil Sekjen II
lalu wakil ketua II CC PKI. Dalam prahara 30 September 1965, banyak
orang tak percaya keterlibatan Njoto. John Rossa dalam Dalih
Pembunuhan Massal menulis, “Dalam semua diskusi, kawan Njoto dengan
sadar tidak diikutsertakan oleh kawan Aidit, dengan pertimbangan
ideologis.” Aidit menganggap Njoto lebih Sukarnois ketimbang komunis.
Sementara wartawan senior Joesoef Isak menganggap ketidaksenangan
Aidit terhadap Njoto karena Njoto, yang telah beristri, memiliki
kekasih, seorang perempuan asal Rusia. Bagi Aidit, perbuatan Njoto tak
etis dan mengganggu citra partai. Joesoef Isak menambahkan, sejak 1964
Njoto sudah diberhentikan dari semua jabatan fungsional di partai.

Dalam wawancara dengan Asahi Shimbun, 2 Desember 1965, Njoto
mempertanyakan dasar logika gerakan itu: “Apakah premis Letkol Untung
tentang adanya Dewan Jenderal membenarkan adanya suatu coup d’etat?”

Di mata anak-anaknya, Njoto dikenal sebagai sosok ayah penyayang. Di
waktu senggang, Njoto kerap mengajak keluarganya berlibur naik trem
atau berpakansi ke pantai. Kebahagiaan keluarga ini sirna
pascaperistiwa 1965. Njoto jadi pelarian. Kabar tersiar dia ditangkap
tentara dan kemudian dieksekusi mati. Sayang, keluarga Njoto tak
pernah tahu jasad atau makamnya.

Tokoh PKI lain yang kerap disangkutpautkan dalam peristiwa 1965 adalah
Sjam Kamaruzzaman. Sjam lelaki misterius asal Tuban, Jawa Timur.
Polisi militer mencatat setidaknya terdapat lima nama alias yang
dimiliki Sjam: Djimin, Sjamsudin, Ali Moechtar, Ali Sastra, dan
Karman. Sjam merupakan mozaik penting dalam prahara itu. Tapi kisah
hidup Sjam lebih mirip mitos ketimbang sejarah. Bahkan banyak petinggi
PKI tak tahu siapa dirinya.

Aidit mengenal Sjam ketika keduanya aktif di Serikat Buruh Kapal
Pelabuhan di Tanjung Priok tahun 1949. Ketika pada 1964 istri Sjam
meninggal akibat tifus, Aidit makin dekat dengan Sjam. Dia meminta
Sjam mengetuai sebuah organisasi rahasia PKI, yang disebut Biro
Khusus. Tugas Biro Khusus mempengaruhi dan mengurus kelompok tentara
yang berhaluan kiri.

Dalam operasi G30S, Aidit kurang korektif dengan laporan Sjam yang
kerap tak akurat. Satu batalyon Pasukan Gerak Cepat TNI Angkatan Udara
yang direncanakan datang, tak pernah muncul. Pasukan tank dan panser
yang diharapkan datang dari Bandung pun tak pernah ada. Dan Bung
Karno, yang digadang-gadang sebagai dalil aksi, juga menolak untuk
menyetujuinya. Operasi itu dapat dilumpuhkan hanya dalam hitungan jam.

Kurang lebih dua tahun Sjam menjadi pelarian dengan melakukan
penyamaran dari satu kota ke kota lainnya. Sampai akhirnya dia
tertangkap pada 9 Maret 1967, di tempat persembunyian di Cimahi, Jawa
Barat. Di penjara, Sjam dikabarkan menjadi informan tentara untuk
membocorkan siapa saja anggota militer yang memiliki kaitan dengan
PKI.

Sama seperti Njoto, akhir riwayat Sjam tak pernah jelas. Menurut
sebuah versi, Sjam dieksekusi mati pada September 1986 di Kepulauan
Seribu. Tapi toh keluarga Sjam tetap tak mengetahui kebenaran versi
ini.

Kisah Aidit, Njoto, dan Sjam dalam buku ini menunjukan kepada kita
bahwa perjalanan hidup seorang anak manusia dalam bingkai sejarah
tidaklah bisa ditempatkan secara hitam dan putih. Dan terlepas dari
segala misteri serta kontroversi yang menyelimuti ketiganya, agaknya
tokoh-tokoh kiri ini memiliki jalan takdir yang sama dengan sebuah
ungkapan “revolusi memakan anaknya sendiri.”[JAY AKBAR]

http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-365-misteri-tiga-orang-kiri.html
Share this article :

0 komentar: