BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Memaknai Kepedihan Bersama

Memaknai Kepedihan Bersama

Written By gusdurian on Kamis, 16 Desember 2010 | 12.06

Sebuah museum yang tak sekadar membuat pengunjungnya terjebak dalam
masa lalu, atau menangis, tapi memberi makna atas apa yang terjadi.

CHHEU CHAP. Dua kata dalam bahasa Khmer itu menggambarkan kepedihan
dengan iringan sergapan kelumpuhan fisik dan spiritual; serupa rasa
sakit akibat pengkhianatan kekasih bercampur frustasi akan ketiadaan
cara mengatasi rasa sakit itu. Demikian penjelasan antropolog Judy
Ledgerwood dalam “The Cambodian Tuol Sleng Museum of Genocidal
Crimes”, Museum Anthropology, terhadap dua kata yang menjadi komentar
sebagian masyarakat Kamboja dalam buku tamu usai mengunjungi museum
genosida Tuol Sleng.

Tuol Sleng (atau S-21 pada masa rezim Khmer Merah), yang menempati
sebuah kompleks gedung sekolah di Phnom Penh, adalah “tempat orang-
orang masuk dan tak pernah keluar,” ujar seorang pekerja pabrik di
sekitar gedung kepada sejarawan David Chandler dalam Voices from
S-21: Terror and History in Pol Pot’s Secret Prison. S-21 diperkirakan
gabungan dari kata Sala (gedung) dan angka 21 atau kode untuk santebal
(pasukan keamanan).

Keberadaan S-21 sebagai pusat interogasi dan penyiksaan tahanan
tertutup rapat, bahkan disangkal banyak petinggi Khmer Merah, termasuk
Pol Pot. Kepada Nate Thayer, koresponden Far Eastern Economic Review
pada Oktober 1997, Pol Pot menegaskan posisinya. “Saya hanya membuat
keputusan-keputusan besar. Saya ingin sampaikan –Tuol Sleng adalah
buatan Vietnam. Seorang wartawan menulisnya. Orang ramai bicara Tuol
Sleng, Tuol Sleng. Saya tahu Tuol Sleng kali pertama melalui siaran
Voice of America. Saya mendengarkannya dua kali,” ucapnya.

Sejarah revolusi komunis Kamboja, menurut versi pemerintah, tercoreng
oleh segelintir kriminal Khmer Merah, yaitu Pol Pot, Ieng Sary, dan
Khieu Sampan. Ketiganya berambisi menata ulang struktur masyarakat
menjadi tanpa kelas dan berpusat pada pertanian desa lewat peradaban
baru “Tahun Nol Kamboja.”

Setelah merebut Phnom Penh pada 17 April 1975, Khmer Merah mendirikan
pemerintahan Democratic Kampuchea (DK) dengan Pol Pot sebagai perdana
menteri dan memulai misinya. Penduduk kota diharuskan pindah ke desa
untuk menjalani kerja paksa. Semua kepercayaan, tradisi, budaya, dan
interaksi dengan dunia luar dihapus. Mata uang, harta milik, akses,
serta fasilitas perdagangan, pendidikan, dan kesehatan lenyap. Dalam
usia pemerintahan yang singkat, hingga Januari 1979, rezim Khmer Merah
membunuh hampir dua juta penduduk Kamboja.

Peran Khmer Merah sebagai kekuatan politik menguat sejak Jenderal Lon
Nol mengkudeta Pangeran Norodom Sihanouk pada Maret 1970. Lon Nol,
yang pro-Amerika, mengangkat diri sebagai presiden dan mendirikan
Republik Khmer pada 1970-1975.

Dalam pengasingan di Beijing, Sihanouk berupaya kembali berkuasa. Dia
mengangkat diri sebagai Kepala Negara Gouvernement Royal d'Union
Nationale du Kampuchéa (GRUNK) dan menunjuk petinggi Khmer Merah –
Khieu Samphan, sebagai wakil perdana menteri sekaligus menteri
pertahanan GRUNK di Kamboja. Pol Pot bertugas sebagai pemimpin militer
di lapangan. Banyak simpatisan Khmer Merah saat itu mengira mereka
berjuang untuk Sihanouk.

Sementara itu, Amerika dengan dalih Perang Vietnam, menggempur tentara
Vietkong dan Vietnam Utara yang bergerilya hingga ke wilayah Kamboja.
Intensitas pemboman terhadap Kamboja meningkat pada 1970 atas perintah
Presiden Richard Nixon. Sejarawan Ben Kiernan dan Taylor Owen, dalam
Bombs Over Cambodia, mengemukakan, “Kamboja mungkin adalah negara yang
paling banyak mengalami pemboman sepanjang sejarah,” bahkan
dibandingkan total bom yang dijatuhkan Sekutu selama Perang Dunia II.

Kiernan dan Owen menyimpulkan agresi Amerika, selain mendekatkan
tentara Vietkong dan Vietnam Utara dengan Khmer Merah, juga mendorong
penduduk sipil Kamboja bersimpati pada kelompok militan ini. Dukungan
ini dianggap sebagai salah satu faktor kemenangan Khmer Merah
mengambil-alih kekuasaan di Kamboja.

Seperti penjelasan Chhit Do, seorang pejuang Khmer Merah kepada
jurnalis Bruce Palling, “….karena ketakutan dan setengah gila akibat
serangan bom, penduduk mempercayai apa saja yang kami sampaikan.
Kegetiran terhadap ledakan bom membuat mereka terus bekerja sama
dengan Khmer Merah, .… sering bom meledak, menewaskan anak-anak, dan
ini membuat para ayah mengabdikan seluruh hidup mereka bagi Khmer
Merah.”

Pada akhir 1978, Vietnam menginvasi Kamboja untuk menyingkirkan Khmer
Merah yang telah menyerang penduduk Vietnam di perbatasan wilayah. Pol
Pot, bersama beberapa pengikutnya, melarikan diri dan bergerilya di
wilayah-wilayah kecil di sebelah barat Kamboja.

Jurnalis Ho Van Thay beserta rekannya, yang ikut dalam rombongan
militer Vietnam, menemukan Tuol Sleng pada Januari 1979 setelah
mencium bau menyengat di sekitar lokasi. Dalam ruang-ruang kelas,
mereka mendapati 14 jenazah tahanan di atas ranjang besi. Juga
berbagai alat penyiksaan seperti borgol, rantai, cambuk. Van Thay
melaporkan penemuan lokasi itu kepada pemerintah Vietnam. Tumpukan
arsip, dokumen pengakuan, dan foto para tahanan ditemukan di sisi lain
gedung beberapa hari kemudian.

Sebagian besar tahanan S-21 adalah mereka yang memiliki kedekatan
politik dengan pemerintah pendahulu. Namun, tak sedikit anggota DK dan
keluarganya yang dicurigai kontrarevolusi menjadi korban. Termasuk Hu
Nim, menteri informasi dan propaganda DK, dan Chan Kim Srun, istri
seorang pejabat DK beserta bayinya.

Jumlah tahanan S-21 sejak April 1975 hingga minggu pertama 1979
diperkirakan mencapai lebih dari 15.000 orang, termasuk perempuan dan
anak-anak. Tujuh orang tahanan diketahui selamat dari kebrutalan S-21.

Pemerintah Vietnam kemudian membangun Museum Tuol Sleng dan menunjuk
Mai Lam, seorang kolonel Vietnam, sebagai konsultan. Mai Lam juga
telah berperan dalam pembangunan Museum Kejahatan Perang Amerika di Ho
Chi Minh City. Salah satu rekan sejawat Mai Lam adalah Ung Pech, satu
dari tujuh tahanan S-21 yang selamat dan menjabat sebagai direktur
museum pada 1980.

“Bagi kebanyakan orang yang tak memahami apa yang terjadi, museum bisa
membantu. …Penduduk Kamboja yang mengalami perang tak dapat
memahaminya –dan generasi mendatang juga tak mampu memaknainya,” ujar
Mai Lam dalam sebuah wawancara.

Pemerintah Kamboja sempat berpendapat lain. Tuol Sleng kali pertama
dibuka pada Maret 1979 dan hanya untuk warga negara asing. Larangan
bagi masyarakat Kamboja mengunjungi Museum Tuol Sleng dihapus Juli
1980. Hampir 32.000 pengunjung tercatat dalam minggu pertama
pembukaan. Bagi masyarakat Kamboja, Tuol Sleng menjadi tempat mencari
jawaban atas nasib para anggota keluarga yang hilang.

Pada 1989, Vietnam mundur dari Kamboja. Pol Pot terus melakukan
perlawanan terhadap pemerintah Kamboja, hingga meninggal dunia pada
1998.

Ingatan masyarakat Khmer terhadap masa terburuk dalam sejarah bangsa
mereka terus hidup melalui museum Tuol Sleng. “Museum menyediakan
sebuah penjelasan untuk sesuatu yang tak mampu dijelaskan, dan dari
kematian menciptakan kembali identitas nasional,” tulis Ledgerwood.
[MIRA RENATA/KONTRIBUTOR]

http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-367-memaknai-kepedihan-bersama.html
Share this article :

0 komentar: