BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Kristen Abangan ala Sadrach

Kristen Abangan ala Sadrach

Written By gusdurian on Kamis, 16 Desember 2010 | 11.45

Dituduh sebagai pemimpin agama yang sesat dan juga pemberontak,
Sadrach terus menyebarkan agama Kristen ala Jawa.

PARA pekabar Injil Belanda kelabakan mencari jalan bagaimana agar
orang-orang Jawa menjadi Kristen yang sungguh-sungguh. Masyarakat Jawa
tak ingin tercerabut dari akar budayanya yang telah dipegang teguh
jauh sebelum Kristen datang. Lain halnya dengan para pekabar Injil
awam Indo-Eropa yang memperhatikan budaya lokal. Maka muncullah jemaat
bumiputera berpenampilan Jawa. Mereka disebut “jemaat Sadrach” karena
pemimpinnya adalah penginjil Jawa kharismatik, Sadrach Surapranata.

Sadrach tinggal di Karangjasa, sebuah desa terpencil di selatan
Bagelan, bekas karesidenan di Jawa Tengah. Sejak pertengahan kedua
abad ke-19, Karangjasa dikenal sebagai tempat mengabarkan Injil oleh
para pejabat kolonial Belanda, Misi Gereja-gereja Gereformeerd Belanda
(ZGKN), dan orang-orang Kristen Jawa. Tapi pemerintah kolonial
menganggap Sadrach sebagai pemimpin pemberontak yang mengancam
stabilitas, ketentraman, dan ketertiban umum. Sedangkan para zending
Belanda menganggap kekuasaan Sadrach dan kepemimpinannya sudah
melampaui batas-batas kekristenan yang benar dan bertentangan dengan
prinsip-prinsip Calvinisme.

“Mereka menuduh Sadrach sebagai pemimpin orang Jawa sesat dan
menganggap ajarannya sebagai campuran antara pemikiran Kristen dan
bukan Kristen. Jemaatnya dianggap orang-orang Kristen palsu atau
jemaat Islam yang berpakaian Kristen,” tulis Soetarman Soediman
Partonadi dalam Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya. “Karenanya
desa Karangjasa yang artinya ‘batu karang yang teguh berdiri’ menjadi
Karangdosa yang artinya ‘batu karang dosa’.”

Saat itu terjadi semacam perbenturan konsep keberagamaan. Agama
Kristen sering dicap sebagai “agama Belanda”. Sementara orang-orang
Kristen Jawa sering dicemooh antara lain dengan ungkapan londo durung
jowo tanggung (orang Belanda bukan, orang Jawa tanggung).

Menurut Soetarman, tempat dan tanggal kelahiran serta kedua orangtua
Sadrach tak diketahui. Dia dilahirkan sekitar tahun 1835 dari keluarga
petani miskin di dekat Jepara, Demak, atau di desa Luring dekat
Semarang. Semua tempat ini berada di pantai utara Jawa Tengah, tempat
Islam kali pertama berpijak.

Sadrach diberi nama Radin –“in” menjadi petunjuk bahwa dia berasal
dari desa. Dia kemudian diadopsi keluarga Muslim kaya, yang
membesarkannya menurut tradisi Islam. Radin muda belajar membaca
alquran, belajar ngelmu Jawa pada Pak Kurmen atau Sis Kanoman di
Semarang, sebelum masuk pesantren di Jawa Timur. Setelah itu dia
kembali ke Semarang dan tinggal di Kauman. Saat itu, dia menambahkan
nama Arab yang telah disesuaikan dengan bahasa Jawa: Abas.

Di Semarang, dia bertemu lagi dengan Pak Kurmen, yang ternyata sudah
masuk Kristen. Oleh Pak Kurmen, Radin Abas diperkenalkan dengan
Tunggul Wulung, penginjil Jawa yang mengkristenkannya lewat debat
umum. “Radin Abas menjadi tertarik pada Kristen. Dia terkesan oleh
Tunggul Wulung dan belajar darinya bahwa orang Kristen Jawa tak harus
meninggalkan adat Jawa. Tunggul Wulung pernah menegaskan keyakinannya
bahwa orang Kristen Jawa hendaknya tetap menjadi orang Jawa dengan
menyatakan bahwa mereka harus mencari seorang Kristus bagi mereka
sendiri,” tulis Soetarman.

Pada 1866, ditemani Tunggul Wulung, Radin pergi ke Batavia untuk
menemui Mr F.L. Anthing, pekabar injil pertama di Jawa Barat yang
kemudian pindah ke Batavia. Anthing menyambutnya dengan hangat dan
menerimanya sebagai pembantu. Di sini Radin dibaptis oleh Rev. Ader,
pendeta De Protestantsche Kerk in Nederlansche-Indie atau Indische
Kerk (sekarang Gereja Protestan Indonesia) dan menerima nama baptis:
Sadrach.

Setelah beberapa tahun, Sadrach kembali ke Jawa Tengah bagian utara.
Pada 1868, dia bergabung dengan Tunggul Wulung dan Pak Kurmen untuk
membangun desa-desa Kristen di Bondo, juga Jawa Timur. Setelah itu
Sadrach pergi ke Tuksanga, Purwareja, selama kurang lebih satu tahun
sebelum pindah ke Karangjasa. Di sinilah popularitasnya merangkak
naik.

Metode Sadrach untuk mengabarkan Injil, tulis Jan S. Aritonang dalam
Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, sama dengan yang
digunakan Tunggul Wulung, yakni berdiskusi dan berdebat, seringkali
berhari-hari, siang-malam, secara terbuka di depan umum. Sadrach
selalu menang dan mengkristenkan sejumlah kiai.

Sadrach juga memimpin kebaktian dalam bahasa Jawa sehingga mudah
dimengerti oleh jemaat. Selain itu, dia dikenal mampu mengendalikan
roh jahat dan iblis. Karenanya, keris yang dikeramatkan dan bisa
dipakai untuk mengatasi berbagai malapetaka dan mengusir setan-setan,
dianggap kekuatan mahasakti dan harus disembah. Keris kemudian menjadi
simbol identifikasi Kristus (keris yang meneteskan darahnya seperti
darah Yesus yang menetes dari paku salib). Cara duduk ketika beribadah
adalah duduk bersila dan para jemaat Sadrach harus menyentuh dan
mencium kaki Sadrach, seperti ketertundukan para murid terhadap Yesus.
Dalam kapasitas ini, Sadrach menganggap dirinya sebagai penampakan
“sang rasul Yesus ke orang Jawa”.

”Sadrach membangun agama Kristen Jawa yang tetap dekat sekali dengan
bentuk-bentuk keagamaan yang dikenal di dalam Islam dan ngelmu. Gedung
gereja disebut masjid dan dibangun dengan bentuk masjid di halaman
rumah pendeta. Pendeta dijuluki imam dan sebelum kebaktian dimulai
sebuah bedug dipukul. Sesudah acara pembaptisan diadakan slametan,”
ujar Alle. G. Hoekema, sebagaimana dikutip Aritonang.

Karangjasa segera menjadi tempat berkumpul orang-orang Kristen dari
berbagai daerah. Jemaatnya meningkat pesat; mencapai hampir 2.500
hanya dalam waktu tiga tahun (1870-1873). Selama masa itu, lima gereja
didirikan di Karangsaja, Banjur, Karangpucung, Kedungpring, dan
Karangjambu.

Sesuai tradisi Jawa, Sadrach menambahkan nama baru, Surapranata, untuk
menunjukkan posisi barunya. Surapranata berarti “dia yang berani
mengatur atau memerintah”. Oleh yang iri, nama itu disalahartikan
menjadi “Tuhan yang memerintah”. Terlebih, tulis Aritonang, setelah
nama itu dilengkapinya menjadi Raden Mas Ngabehi Surapranata dan dia
tampil bak raja, lengkap dengan dayang-dayang. Bahkan ada yang
melaporkan bahwa dia sendiri pernah mengaku sebagai Kristus atau Ratu
Adil.

Peningkatan jumlah jemaat Sadrach menimbulkan kecurigaan pemerintah
setempat. Sadrach dianggap sebagai ancaman politik. W. Ligtvoet,
residen Bagelan, mencari cara untuk menyingkirkan Sadrach. Pengurus
NGZV, Bieger, mengemban misi besar itu. Berkali-kali Bieger meminta
Sadrach agar mempercayakan jemaatnya kepadanya. Karena Bieger gagal,
Ligtvoet turun tangan dengan menahan Sadrach selama tiga minggu lalu
menjadikannya tahanan rumah selama tiga bulan. Alasan penahanan,
Sadrach menolak vaksinasi cacar, yang saat itu lagi mewabah, dengan
alasan agama. Karena tak cukup bukti untuk mengajukannya ke
pengadilan, Sadrach dibebaskan dengan keputusan Gubernur Jenderal pada
1 Juli 1882. “Takut para jemaatnya ngamuk,” tulis M. Alie Humaedi
dalam Keresahan Sosial dalam Isu Kristenisasi ataukah Islamisasi.

Setelah bebas, Sadrach kembali ke Karangjasa. Pamor dan wibawanya tak
tergoyahkan.

Sadrach pergi ke Purwareja untuk meminta Wilhelm, pekabar Injil yang
bersahabat dengannya saat menjadi tahanan rumah, menjadi pendeta
jemaatnya. Pada 17 April 1883, Sadrach dan para sesepuh setempat serta
Wilhelm secara resmi menamakan diri Golongane Wong Kristen Kang
Mardika (kelompok orang Kristen yang merdeka).

Karena merasa direndahkan oleh para zandeling, antara lain tak kunjung
diangkat sebagai pendeta sehingga tak berhak menjalankan sakramen,
sejak 1893, Sadrach memutuskan hubungan dengan mereka. Ternyata
sebagian besar warga Kristen Jawa tetap setia mengikutinya.
Selanjutnya sejak 1894 dia beralih ke Gereja Kerasulan, yang berpusat
di Jawa Barat, dan diangkat menjadi rasul; jabatan yang dia pegang
hingga meninggal pada 1924.

Sadrach menduduki tempat teratas di antara guru-guru Jawa dengan
sebutan khusus kiai. Jemaat Sadrach mencapai 7.000 pada 1890 dan
20.000 saat Sadrach meninggal. Jemaat tersebar di seluruh karesidenan
Jawa Tengah.

Menurut Alie, perkembangan jemaah Sadrach hanya mampu bertahan kisaran
tahun 1939, karena masuknya kekuasaan gereja ZGKN dan didirikannya
Gereja Kristen Jawa, hingga memupus habis gereja Kerasulan ala
Sadrach. Mereka dipaksa mengakui prinsip-prinsip dasar Gereja Kristen
Jawa. Selain di Karangjasa, Gereja Kerasulan yang masih bertahan
hanyalah di wilayah Desa Kasimpar Petungkriono Pekalongan Jawa Tengah
(sampai tahun 1985), yang pendiri dan majelisnya merupakan generasi
langsung dari murid Sadrach.[HENDRI F. ISNAENI]

http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-368-kristen-abangan-ala-sadrach.html
Share this article :

0 komentar: