penguatan lembaga.
PEMERINTAH harus bersiap-siap menda pat reaksi balik dari masyarakat
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) setelah Menteri Dalam Negeri
(Mendagri) Gamawan Fauzi menyebut pemerintah akan tetap memperjuangkan
sistem pemilihan untuk pengisian jabatan kepala daerah di sana.
Hal itu disampaikan pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada Ari
Dwipayana kepada Media Indonesia, kemarin. Dalam pandangannya,
pemerintah lewat Mendagri bukannya berupaya menciptakan suasana
kondusif di sana, melainkan kian memperkeruh suasana dengan pernyataan-
pernyataan yang dilontarkannya. Termasuk kalimatnya yang menyebut pe
merintah hanya berurusan dengan DPR, bukan DPRD DIY.
Padahal, DPRD DIY lewat sidang paripurna, Senin (13/12) lalu, telah
memutuskan untuk mendukung penetapan otomatis Sultan Ngayogyokarto
Hadiningrat sebagai Gubernur DIY.
“Pernyataan Mendagri itu bertolak belakang dengan apa yang disampaikan
Presiden.
Dalam pidatonya, Presiden mengatakan akan membuka ruang bagi aspirasi
rakyat dan Keraton Yogyakarta. Ini kok malah sebaliknya,” ujar salah
satu perumus draf RUU Keistimewaan DIY dari Fakultas Ilmu Politik UGM
tersebut.
Ia melihat buruknya konsolidasi internal pemerintah menjadi penyebab
berlarutnya proses RUU itu. Presiden masih ragu untuk menyetujui draf
RUU akibat blunder-nya koordinasi jajaran di bawahnya. Keruwetan itu
juga diperparah ra
puhnya koalisi partai pendukung pemerintah di bawah Sekretariat
Bersama (Sekber) Partai Koalisi.
"Pemerintah, dalam hal ini koalisi, belum solid sehingga satu sama
lain saling tidak percaya diri untuk menyatakan draf ini sudah final
atau belum.
Menko Polhukam bilang belum final, Mendagri bilang sudah.
Mana yang benar?" papar Ari.
Ia menambahkan, nasib RUU Keistimewaan DIY saat ini bergantung penuh
pada keberanian Presiden. "Sekarang tergantung Presiden, meski
Mendagri bilang sudah final," ungkapnya.
Pendapat senada juga disampaikan Wakil Ketua Konsorsium Reformasi
Hukum Nasional (KRHN) Yulianto. Menurutnya, pernyataan Mendagri itu
kian menunjukkan rendahnya kemampuan pemerintah dalam menyerap
aspirasi daerah. Harusnya, jika berbicara soal nasib daerah,
pemerintah tetap melibatkan DPRD sebagai saluran aspirasi rakyat di
daerah.
"Sejauh mana pemerintah pusat mendengarkan masukan dari DPRD itu
menunjukkan kemampuan pemerintah dalam menangkap aspirasi rakyat.
Kalau tidak begitu, ini sama saja sentralistis," kata Yulianto.
DPD harus proaktif Di tempat terpisah, pengamat hukum tata negara
Irman Putra Sidin menilai sudah saatnya Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
segera mengundang DPRD DIY untuk membicarakan kelanjutan dari hasil
sidang paripurna DPRD. Dengan begitu hasil sidang itu akan menjadi
materi pembahasan RUU secara normatif.
"Sebaiknya DPD segera mengundang DPRD DIY untuk menyampaikan hasilnya
ke DPD. Waktunya dalam Sidang Paripurna DPD. Sebab DPD hadir untuk
suarakan aspirasi daerah. Kasus DIY ini juga bisa menjadi pintu masuk
penguatan DPD itu sendiri," ujar Irman.
Dipaparkannya, sikap DPRD DIY itu bisa menjadi parameter
konstitusional untuk mengetahui kehendak rakyat daerah terhadap suatu
persoalan. Lewat sikap DPRD itu, wacana referendum di Yogyakarta sudah
tidak diperlukan lagi, apalagi perdebatan soal survei yang hasilnya
justru kian membingungkan.
"DPD nantinya bisa menyampaikan hasil paripurnanya ke Presiden dan
DPR. Ketika itu sudah dilalui, itu bisa menjadi materi pembahasan RUU
nantinya secara normatif," terangnya.
http://anax1a.pressmart.net/
0 komentar:
Posting Komentar