Oleh JE Sahetapy
Sejak reformasi bergulir, kata yang paling sering tampak digunakan,
baik melalui televisi, media cetak, maupun pelbagai tulisan lainnya,
adalah kata korupsi. Korupsi menjadi hallmark reformasi.
Publikasi-publikasi tentang korupsi pun bermunculan dengan berbagai
argumentasi, terutama sosio-politis. Dari sekian banyak publikasi,
yang menarik perhatian publikasi Bank Dunia (2003), ”Memerangi Korupsi
di Indonesia. Memperkuat Akuntabilitas untuk Kemajuan”.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berasal dari zaman
kolonial (1918), kata korupsi tidak ditemukan atau digunakan.
Namun, itu tidak berarti perbuatan pidana dalam bentuk korupsi tidak
ada. Baru di kemudian hari setelah ditiru dari Belanda, Undang-Undang
Tindak Pidana Ekonomi (WED), wujud korupsi menjadi jelas
Akhirnya korupsi terus mengancam sampai korupsi dirumuskan sebagai
extra ordinary crime. Itu berarti pidana yang dijatuhkan juga bersifat
”luar biasa”.
Bersamaan dengan praktik korupsi yang terus merajalela terutama
setelah otonomisasi—mengingat lembaga-lembaga penegak hukum seperti
tidak mampu atau sudah tercemar korupsi pula—maka dibentuklah Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan pengadilan khusus korupsi karena
ada anggapan kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan gagal.
Dari sistem hukum tak terlalu pas, tetapi apa boleh buat. Tetapi,
korupsi ternyata seperti hanya pura-pura pingsan. Kekuatan ilegal
korupsi ternyata tak tinggal diam. Mereka terus bergerilya dan
berusaha memandulkan KPK melalui berbagai cara.
Simak antara lain kasus Bibit-Chandra, tikus-tikus berbintang di Mabes
Polri dan Kejaksaan Agung, kasus makelar kasus (markus) pajak, dan
kehebohan implementasi remisi oleh Kementerian Hukum dan HAM.
Sementara itu, di ”gedung miring” DPR di Senayan ada skenario miring
pula tentang berbagai kunjungan pelesir wakil rakyat.
Gerilya korupsi
Orang awam di akar rumput yang terus menderita seperti kebingungan
bertanya: bagaimana dengan lembaga penegak hukum kepolisian, kejaksaan
(dan kehakiman)? Apakah mereka juga bergerilya seperti hit and run?
Simak sendiri, sebab masih belum jelas, kasus deponering, yang
sebetulnya harus seponering.
Dua lembaga penegak hukum ini seperti sudah berada dalam stadium
proses ”kehancuran”. Pimpinan negara seperti terpukau dan hanya sibuk
mengimbau untuk politik pencitraan subkultur dominan. Tidak ada
tindakan tegas dan keras terhadap tikus-tikus berbintang di Mabes
Polri. Idem dito dengan tikus-tikus di Kejaksaan Agung. Semua itu
seperti mimpi buruk, apalagi setelah muncul kasus ”makelar kasus
pajak”.
Pemerintah, kalau tidak belajar dari sejarah, juga akan ambrol dan
runtuh karena korupsi seperti yang dialami VOC. Lalu siapa yang akan
menangis?
Orang Belanda mengatakan, ”Zachte heelmeester maken stinkende
wonden” (artinya, tabib yang lemah lembut akan membuat luka makin
berbau busuk dan borok). Jadi Presiden harus berhenti dengan pidato-
pidato imbauan sekadar kosmetik.
Dengan perkataan lain, Presiden harus tegas. Jangan ”takut” kepada
politikus (bukan politisi) kaya lagi kuat dan yang terus ingin
berkuasa. Apalagi dengan menyerahkan kado istana untuk koruptor.
Rakyat di akar rumput diam, tetapi sudah sebal. Kalaupun ada
”demonstrasi galak”, itu fenomena testing the water dan hak asasi
manusia (HAM). Komisaris Jenderal Polri Nanan Sukarna mengatakan,
”Masih banyak polisi korup dan brengsek”. Lalu bagaimana dengan ”jaksa
galak” di Kejagung yang main mata dengan ”markus pajak”.
Dapat dimengerti jika ada yang bertanya, bagaimana dengan nasib kita
sebagai rakyat kecil? Di sinilah pentingnya ditanamkan dan dipupuk
kejujuran (integritas), etik dan moral sejak dini. Tanpa itu, kita
akan kewalahan di tengah pergulatan masyarakat sektarian yang kejam.
Besi tak dapat dibengkokkan tanpa dipanasi sejak dini, ia akan patah
dan itu berarti terlambat.
Abad sekarang ini adalah abad imoralitas kebebasan yang amburadul,
materialistis, dan kebejatan rohani. Dr Kunkel menulis: ”Het begin van
alle opvoeding is zelf opvoeding”. Mulailah dengan mendidik diri
sendiri terlebih dulu dalam soal integritas, etik, dan moral.
Jangan tunggu sampai jadi pejabat karena pasti sudah terlambat. Dalam
bahasa Belanda: ”De uitzonderingin bevestigen de regel”. Jangan
percaya pada janji-janji pejabat dan politisi gombal, karena lidah tak
bertulang. Kita tahu proses pemilu membutuhkan jumlah uang tidak
sedikit untuk ”membeli” suara. Kalau terpilih, caleg parpol akan
mencari uang dengan cara apa pun agar bisa balik modal.
Akibatnya, korupsi ibarat lingkaran setan. Dalam kerangka berpikir
Lawrence M Friedman (1968), penguasa sibuk membenahi komponen
struktural dan substantif, tetapi lupa membenahi komponen kultural
(moral, etik, dan perilaku). Mengapa? Karena moral dan etika mereka
serta perilaku mereka sudah amburadul. Kunci sudah diberikan untuk
membuka kotak pandora!
JE Sahetapy Guru Besar Emeritus dan Kriminolog
http://cetak.kompas.com/read/2010/11/23/04044999/vis-a-vis.korupsi
"Vis-a-Vis" Korupsi
Written By gusdurian on Sabtu, 27 November 2010 | 10.11
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar