BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Televisi Cermin Zaman

Televisi Cermin Zaman

Written By gusdurian on Sabtu, 27 November 2010 | 10.12

Televisi Cermin Zaman
Oleh Toeti Adhitama Anggota Dewan Redaksi Media Group

Wartawan-wartawan umumnya, yang mengelola TV khususnya, bisa dipuja
atau sebaliknya dicela habis-habisan karena kinerja mereka dan
tergantung pada kepekaan nurani, nilai-nilai moral dan kesopanan yang
mengawal mereka."
BEBERAPA hari sebe lum Metro TV meng udara satu dasawarsa yang lalu,
seorang tokoh pertelevisian Indonesia bertanya, "Apakah televisi
berita memiliki daya tarik?
Sulit untuk membayangkan."

Untuk menghindari perdebatan berlarut, pertanyaan itu dibiarkan
mengambang, berlalu tanpa jawaban. Sepuluh tahun kemudian terbukti,
televisi berita adalah anak zaman.
Dia berfungsi mencerdaskan.
Pesan-pesan yang disampaikan Metro TV memenuhi kebutuhan penonton
sasarannya. Yakni mereka yang menghendaki siaran padat berita dan
informasi, sesuai dengan dinamika kehidupan modern.

Tidak ada masyarakat yang homogen. Semakin tinggi heterogenitas,
semakin banyak memerlukan pilihan dan pengkhususan pelayanan jasa,
termasuk jasa penyebaran informasi. Ini yang terbaca oleh tokoh pers
Surya Paloh, yang idealisme, nyali, dan visinya mencetuskan gagasan
melahirkan TV berita pertama di Indonesia.
Menanggapi banjir informasi Dalam era informasi, yang mencemplungkan
masyarakat dalam banjir informasi, para pengamat sosial mendapati ada
dua hal yang meminta perhatian: 1) jenis informasi yang datang dan 2)
jenis masyarakat penerima informasi. Penerima informasi memiliki
konsep yang berbeda-beda mengenai informasi yang diserap, sesuai
dengan pendidikan dan pengalaman masing-masing. Dr Philip Kotler
(1931-...), ahli pemasaran, dalam Social Marketing menyatakan bahwa
masyarakat menafsirkan informasi sesuai dengan keyakinan dan
nilainilai yang dianutnya. Selain itu, ada saja kelompok yang secara
kronis tidak reseptif terhadap informasi karena pengetahuan mereka
demikian minim.

Akibatnya, informasi tidak gampang menyentuh perhatiannya. Respons
terhadap informasi meningkat kala dia merasa pesan yang disampaikan
melibatkan kepentingannya, atau sesuai dengan sikapnya. Masyarakat,
kata Kotler, cenderung menolak informasi yang bertentangan dengan
pendapat atau seleranya. Sebaliknya, dia cenderung menyambut gembira
informasi yang mengenakkan atau sesuai dengan kebutuhan pikiran dan
perasaannya. Tidak mustahil yang diserap hanya yang bersifat hiburan,
ringan, atau bahkan yang merangsang naluri rendah. Kenyataan tersebut
mendorong media elektronik TV umumnya menyuguhkan berbagai jenis
program dalam satu paket siaran, demi menarik sebanyakbanyaknya
penonton. Ini pun suatu pilihan.

Dalam kaitan efek siaransiaran televisi terhadap penonton, Dr Juwono
Sudarsono, yang juga pakar pendidikan dan komunikasi, pernah
mengatakan dalam suatu seminar bahwa masyarakat yang mendapat berbagai
macam informasi belum tentu masyarakat yang produktif. Mengutip salah
satu edisi majalah bulanan World Monitor, terbitan Christian Science
Publishing Society, Juwono kemudian memaparkan tentang sebuah
organisasi yang pernah ada di Amerika, Action for Children Television
(ACT; 1968-1992). Organisasi tersebut memperjuangkan agar Kongres
Amerika mengupayakan pembaharuan dalam rancangan program-program
televisi Amerika. Desakan itu diajukan bukan hanya dalam rangka
memperbaiki dan membersihkan siaran-siaran untuk orang-orang dewasa
yang sempat ditonton anak-anak, melainkan juga dalam usaha
meningkatkan daya saing Amerika menghadapi perekonomian negara-negara
lain.

Karena televisi salah satu media pendidikan yang paling efisien dan
cost effective, ACT, sebelum dibubarkan pada 1992, pernah menuntut
agar anak-anak Amerika pun dididik dan didayagunakan dalam arti luas
supaya memahami tempat dan kedudukan Amerika sebagai kekuatan
perekonomian dunia. Dengan kata lain, orientasi siaran televisi
hendaknya diarahkan bukan terutama pada hiburan, melainkan pada
fungsinya yang utama, yakni `mencerdaskan' masyarakat. Bahwa media
diharapkan mampu mencerdaskan masyarakat, agaknya umum disepakati.
Betapa besar peran pengelola yang ada di belakang media, umum
dimengerti. Seperti kata almarhum Dr Soedjatmoko, yang prihatin
menghadapi masa depan, dan kami k u t i p , " Te r k e m b a n g n y a
masyarakat informasi di seluruh dunia, termasuk Indonesia, telah
mengakibatkan perubahan sosial yang demikian pesat dan mendalam
sehingga melampaui kemampuan penyesuaian kebanyakan lemba ga, termasuk
berbagai sistem politik di dunia. Juga suatu negara pejabat menjadi
ketinggalan karena peningkatan kecerdasan dan kompleksitas
masyarakatnya sendiri."

Retrospeksi wartawan "The press thinks he is Jesus Christ, but he is
not." Ucapan yang pernah dilontarkan Jenderal Benny Moerdani (alm)
dalam suatu kelompok diskusi itu tidak gampang dilupakan.
Bagi wartawan, ucapan itu menyengat, tetapi membuat orang mawas diri.
Apakah wartawan bersikap gagah-gagahan?
Media massa adalah cermin zaman. Wartawan mengungkap situasi zaman.
Bukan hanya hasil pembangunan yang diungkap. Struktur hubungan sosial
pada umumnya, jenis-jenis kekuatan/ kekuasaan yang ada, maupun
pengaruh tekanan-tekanan institusional dan industri (media) juga
diungkap. Media massa jelas tidak mungkin berdiri sendiri. Untuk
mengenalnya, perlu dikenali proses operasionalnya, identitas/ peran
wartawan-wartawannya dalam bidang-bidang politik/ ekonomi/budaya dan
sosial, apa sumber-sumber kekuatan dan bagaimana aturan main yang
dibuatnya maupun yang dibuat orang lain untuknya.

Di masa-masa sebelum 1966, idealisme wartawan dianggap menonjol karena
pikiran wartawan belum terpengaruh pertimbangan bisnis.
Generasigenerasi lama sering berbangga diri bahwa merekalah anak
revolusi yang punya nyali.
Namun, rasanya jauh lebih gampang terjun di media tanpa
mempertimbangkan sisi bisnisnya. Orang-orang pers atau media massa
adalah anak zaman.

Namun, sejauh apa wartawan larut menjadi anak zaman? Sejauh apa
pertimbangan bisnis membuatnya lupa diri? Perhatikan apa yang pernah
dikatakan Goenawan Mohamad: "Maklum, di manamana kita melihat
mentalitas bayaran--orang-orang politik, birokrat dan pejabat, ahli
ilmu, dan wartawan. Apakah itu memang sifat bangsa kita?
Saya kira tidak. Saya kira itu sifat setiap bangsa pada saat mereka
baru saja menyaksikan hasil-hasil sebuah perekonomian yang bergerak,
tapi tak punya kesempatan untuk mempersoalkan benar atau tidaknya
mentalitas bayaran itu." Walaupun Goenawan mengatakannya hampir
seperempat abad yang lalu, konsep tersebut terbukti masih berlaku
sampai sekarang.

Singkat kata, wartawanwartawan umumnya, yang mengelola TV khususnya,
bisa dipuja atau sebaliknya dicela habis-habisan karena kinerja mereka
dan tergantung pada kepekaan nurani, nilai-nilai moral dan kesopanan
yang mengawal mereka; selain kelincahan berpikir sesuai dengan
perkembangan situasi.

Selamat ulang tahun ke-10 Metro TV.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/11/26/ArticleHtmls/26_11_2010_014_019.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: