BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Menata Ulang Presidensialisme

Menata Ulang Presidensialisme

Written By gusdurian on Sabtu, 27 November 2010 | 10.05

Pasca-Orde Baru, sudah tiga kali pemilu kita lalui dengan beragam
regulasi. Liberalisasi politik yang menguat, menjadikan atmosfir
demokrasi di Indonesia gegap gempita.

Hampir setiap pemilu, kita merevisi paket UU Politik,namun selalu tak
tuntas karena fragmentasi kekuatan yang sangat beragam dan dinamika
kepentingan partai politik yang terlampau kuat.Terbentuknya
pemerintahan SBY yang kedua pasca Pemilu 2009 pun kembali membuktikan
betapa kuatnya beban kompromi politik yang harus ditanggung presiden
terpilih, karena formula bersandingnya presidensialisme dengan
multipartai ekstrem dalam fakta politik di Indonesia. Mitra koalisi
dari beragam partai kerap tak mencerminkan sikap politik partai
pendukung pemerintah,melainkan senantiasa “main mata” seraya menunggu
momentum untuk mengartikulasikan kekuatan mereka, sekalipun tak
sejalan dengan presiden yang mereka dukung.

Pilihan Desain

Kini,UU Paket Politik kembali menjadi topik utama bahasan DPR, bahkan
menjadi prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
2010.Artinya,kembali ada momentum bagi para anggota DPR dari lintas
fraksi untuk membahas ulang desain penguatan sekaligus pemapanan
sistem demokrasi di Indonesia. Memang,banyak pihak skeptis, apa yang
dirumuskan di DPR akan bermuara pada cita-cita perbaikan tata kelola
politik yang lebih baik.

Kecurigaan itu wajar mengingat di banyak kesempatan, DPR periode ini
seperti halnya DPR sebelumnya kerap tak merepresentasikan idealitas
lembaga perwakilan rakyat melainkan lebih menunjukkan wajah
agresivitas politik parpol dan individu para politisi. Tak dapat
dimungkiri bahwa satu fenomena demokrasi paling menarik di Indonesia
kontemporer adalah suasana demokrasi yang kian bergairah.Tentu saja
hal ini memiliki plus minus. Kelebihannya, Indonesia kian tumbuh
menjadi negara demokrasi besar yang sedang menunjukkan praktik politik
prosedural yang bebas dan kian kompetitif. Kelemahannya, sangat sulit
merawat momentum kebabasan untuk diakselerasikan ke dalam proses
pemapanan politik yang sistemik.

Kerap terjadi paradoks di level elite,terutama dalam relasi
eksekutiflegislatif dan partai politik di sisi lain. Salah satu
paradoks yang mencolok adalah implementasi sistem presidensialisme
yang mirip benang kusut, tak pernah terurai dan tak mampu menghasilkan
sistem politik yang mapan. Sebagaimana diketahui, Indonesia sudah
memilih desain institusional serta tipe kakuasaan eksekutif
berdasarkan pada presidensialisme. Pilihan ini bukan persoalan benar
atau salah melainkan cocok atau tidaknya dengan karakteristik, fakta
dan dinamika politik yang berkembang di Indonesia.

Dari sudut karakteristik, sistem parlementer yang pernah dianut di
Indonesia dinilai kurang cocok karena lebih menunjukkan spirit
demokrasi barat yang menekankan pada individualisme dalam pengambilan
keputusan,padahal akar musyawarah dan mufakat telah lama menjadi ciri
dominan bangsa Indonesia. Sementara fakta dan dinamika politik juga
menunjukkan, praktik parlementer dengan ciri dominan sistem
multipartai tak sukses menjadikan Indonesia lebih baik. Sejak
Indonesia merdeka, kita telah menjalankan sistem multipartai. Surat
Keputusan Wakil Presiden (Wapres) Mohammad Hatta Nomor X/1949
merupakan titik awal implementasi sistem multipartai di Indonesia.

Keputusan Wapres ini merupakan salah satu penyiapan penyelenggaraan
pemilu pertama pada tahun 1955.Pemilu tersebut diikuti 29 partai
politik dan juga peserta independen (perseorangan). Beberapa partai
politik yang mendapatkan suara signifikan pada pemilu pertama antara
lain PNI (22,32%),Masyumi (20,92%), NU (18,41%), PKI (16,36%), PSII
(2,89%), Parkindo (2,66%), PSI (1,99%),Partai Katolik (2,04%), dan
IPKI (1,43%).Terjadi ketidaksetabilan pemerintahan yang berlangsung
antara tahun 1950an-1960an. Multipartai juga mengawali pemilu pertama
di masa Orde Baru.Tahun 1971 diikuti oleh 10 partai politik, termasuk
Golkar yang saat itu menjadi kekuatan politik pemerintah.

Soeharto lantas memaksakan penyederhaan parpol melalui kebijakan fusi.
NU, Parmusi, PSII dan Perti direstrukturasi ke PPP. PNI, IPKI,
Parkindo, Katolik direstrukturasi menjadi PDI sementara Golkar adalah
parpol dominan yang menjadi sayap utama politik pemerintah. Meski dari
sudut jumlah,menunjukkan masih multipartai sederhana dalam faktanya
bisa dikatakan kita memasuki fase partai dominan untuk menghaluskan
istilah partai tunggal, yakni Golkar sebagai satu-satunya kekuataan
penguasa, meski jenis kelamin Golkar sebagai parti belum jelas. Jalur
ABRI-Golkarbirokrasi (ABG) menjadi penanda koorporatisme politik yang
menempatkan Soeharto di puncak hirarki kekuasaan selama 32 tahun.

Reformasi politik pada tahun 1998, melahirkan kembali liberalisasi
politik.Kurang lebih 200 parpol tumbuh, dan hanya 48 parpol yang bisa
mengikuti Pemilu 1999. PDI Perjuangan,Golkar,PKB,PPP, dan PAN
menempati 5 suara terbanyak. Pada pemilu 2004, hanya setengah dari
jumlah parpol peserta pemilu 1999 yang bisa ikut. Hal ini terkait
dengan UU No 3/1999 tentang electoral threshold. Partai politik yang
berhak untuk mengikuti pemilu berikutnya adalah partai politik yang
mendapatkan sekurang-kurangnya 2% jumlah kursi DPR.Pemilu 2004 diikuti
24 parpol dan kembali membengkak menjadi 34 parpol di Pemilu 2009.
Hasil Pemilu 2009, hanya ada 9 parpol yang lolos parliamentary
threshold (PT) 2,5% sebagaimana disyaratkan dan menjadi kekuatan utama
di DPR sekarang.

Dinamika multipartai di Indonesia hingga sekarang masih menyisakan
problem pada penguatan dan pelembagaan politik.Terutama dalam
mendukung efektivitas pemerintahan sebagaimana lazimnya dipraktikkan
dalam sistem presidensialisme. Sebelumnya,ada baiknya kita kembali
mengingat beberapa perbedaan mendasar antara parlementarisme dengan
presidensialisme. Mengutip tulisan Mahfud MD dalam Dasar dan Struktur
Ketatanegaraan Indonesia (2000:74), parlementarisme memiliki empat
ciri utama.Pertama,kepala negara tidak berkedudukan sebagai kepala
pemerintahan karena lebih bersifatsimbolnasional(pemersatu bangsa).

Kedua, pemerintah diselenggarakan melalui sebuah kabinet yang dipimpin
seorang PM. Ketiga,kebinet bertanggung jawab kepada parlemen, dan
kabinet dapat dijatuhkan parlemen melalui mosi.Keempat,kedudukan
eksekutif lebih rendah dari perlemen dan bergantung pada parlemen.
Sementara dalam presidensialisme basis legitimasi presiden bersumber
dari rakyat bukan dari perlemen. Kekuasaan pemerintahan tidak terbagi
antara kedudukan presiden sebagai kepala negara (head of the state)
dan sebagai kepala pemerintahan (head of government). Jabatan Presiden
dan wakil presiden merupakan institusi tunggal sehingga menjadi satu
paket dalam Pemilu.Presiden memiliki hak prerogatif dalam membentuk
kabinet sebagai konsekuensi presiden pemimpin tertinggi eksekutif yang
independen dan mandiri dari parlemen.

Rekomendasi

Problem mendasar kita saat ini adalah praktik presidensialisme banyak
tereduksi oleh sistem multipartai ekstrem. Misalnya dalam membentuk
pemerintahan, SBYBoediono harus mengakomodasi begitu banyak
kepentingan parpol sehingga zakenkabinet yang seharusnya bisa
dilakukan presiden dan wakil presiden yang memenangi pemilu dengan
meyakinkan, akhirnya tak terwujud.

Postur birokrasi kembali mengalami obesitas akibat politik
representasi. SBY-Boediono kerap harus melakukan power sharingdengan
para elit di Setgab,sehingga menambah rumit akselerasi pemerintahan.
Salahkah multipartai kita? Sekali lagi ini bukan soal salah
benar.Melainkan lebih pada cocok tidaknya persandingan antara
presidensialisme dengan multipartai ekstrem. Koalisi parpol tak
terikat secara permanen,sementara fragmentasi dari mereka yang
berkoalisi pun sangat beragam dengan kepentingannya sendiri-sendiri.
Tentu, kita punya kesempatan memperbaiki titik lemah presidensialisme
ini di Pemilu 2014.Tak ada pilihan lain selain kita menyederhanakan
parpol.

Bukan dengan cara direstrukturisasi secara paksa oleh penguasa seperti
di era Orde Baru, melainkan melalui regulasi yang jelas pada revisi
paket UU politik yang saat ini dibahas di DPR. Tentu juga dimasukkan
exit strategy bagi parpol yang berpeluang tak terakomodasi dalam
postur kekuasaan legislatif pasca Pemilu mendatang. Sejumlah tawaran
agregasi politik di antara berbagai kekuatan politik yang ada sekarang
baik dengan pendekatan formal kelembagaan maupun kultural,layak
dipertimbangkan.

Hal ini, bukan soal keadilan yang dikotomis bagi parpol besar atau
kecil, melainkan lebih pada pertimbangan parpol ke depan harus semakin
mencerminkan dukungan yang besar dan jelas dari pemilih sehingga
jumlahnya tak perlu terlalu banyak.(*)

Gun Gun Heryanto
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/366451/
Share this article :

0 komentar: