BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Melangkah dari Kondisi yang Ada

Melangkah dari Kondisi yang Ada

Written By gusdurian on Sabtu, 27 November 2010 | 10.03

Sejak UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
diundangkan, pelaksanaannya sampai hari ini masih jalan di tempat.


Rabu,24 November2010lalu, rapatPansusBPJS dengan pemerintah mengalami
jalan buntu karena tidak ada titik temu mengenai substansi RUU Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang diajukan DPR. Hal ini akan
terus menunda terlaksananya UU SJSN.Padahal, jaminan sosial adalah
wujud nyata perlindungan negara terhadap warganya. UU SJSN tersebut
diharapkan dapat memberikan perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Bagaimanapun pemerintah harus bertanggung
jawab untuk mengembangkan sistem agar setiap penduduk dapat memenuhi
kebutuhan dasar hidup yang layak.Rakyat harus terlindungi dari segala
risiko akibat hilang atau berkurangnya pendapatan karena menderita
sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia
lanjut atau pensiun.

Perdebatan antara DPR dan Pemerintah dalam pembahasan RUU BPJS
tersendat pada bagaimana bentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
DPR berpendapat bahwa bentuk badan yang akan mengelola jaminan sosial
bagi seluruh masyarakat merupakan satu badan tunggal,berupa merger
dari pengelola jaminan sosial yang ada. Badan tunggal tersebut harus
bersifat nirlaba dan berbentuk hukum wali amanah. DPR menganggap bahwa
BPJS yang disebutkan dalam pasal 52 UU SJSN harus berubah status dari
BUMNmenjadiBadanHukumKhusus yang dibentuk oleh Undangundang.

Status BUMN sebagaimana tujuan pembentukannya adalah untuk mencari
laba sedangkan penyelenggaraan jaminan sosial merupakan tugas negara
yang bertujuan untuk memaksimalkan kesejahteraan rakyat dan
pengelolaan dana amanah untuk sepenuhnya digunakan bagi kepentingan
rakyat.DPR berinisiatif agar empat BPJS yang ada saat ini harus
melebur menjadi satu badan tunggal dan bentuk badan hukumnya bukan
BUMN tetapi merupakan wali amanah.

Di sisi lain, pemerintah bersikukuh bahwa keempat BUMN yang disebutkan
dalam UU Nomor 40/2004 merupakan BPJS yang sah untuk menyelenggarakan
program jaminan sosial, tidak perlu diubah status hukumnya ataupun
dilakukan peleburan menjadi bentuk tunggal. Pemerintah menyadari bahwa
keempat BUMN tersebut sedang melakukan penyesuaian sehingga sesuai
dengan prinsipprinsip SJSN. Pemerintah berpandangan bahwa bentuk
tunggal yang diusulkan dalam RUU BPJS tidak sejalan dengan amanat UU
SJSN. Dalam Pasal 1 ayat 2 secara tegas dinyatakan: “Sistem Jaminan
Sosial Nasional adalah suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan
sosial oleh beberapabadan penyelenggara.“ Pemerintah tetap beranggapan
bahwa keempat BUMN masih relevan untuk menjalankan jaminan sosial baik
dari aspek hukum maupun teknis operasional.

Ditambah lagi dengan kinerja BUMN tersebut selama ini telah
menjalankan prinsip-prinsip korporasi yang sehat dan tata kelola
(governance) yang baik. Dari aspek hukum,pemerintah memberi alasan
bahwa badan hukum BUMN memungkinkan untuk menyelenggarakan kemanfaatan
umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan
memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak (Pasal 2 Ayat 1c UU
19/2003). Bahkan, dalam Pasal 66 UU 19/2003 menyatakan bahwa
pemerintah dapat memberikan penugasan khusus kepada BUMN untuk
menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum.

Pemerintah menambahkan juga bahwa dalam Pasal 14 ayat 1 UU Nomor
2/1992 tentang Perasuransian menyatakan: “Program asuransi sosial
hanya dapat diselenggarakan oleh BUMN.” Masing-masing pihak, baik DPR
maupun pemerintah, tentu mempunyai argumen hukum yang kuat dan masuk
akal. Kalau masing-masing tidak mau beranjak dari sudut pandangnya
sendiri sampai kapan pun tidak akan mencapai titik temu. Hal ini akan
dipengaruhi juga oleh tingkat kepentingan masing-masing. Jika masalah
ini tertunda,sampai mendekati pemilu misalnya, persoalannya menjadi
lain dan akan melebar lebih jauh bahkan bisa kehilangan esensi
sebenarnya.

Jika tidak ada lobi dan pendekatan yang luwes dari kedua belah pihak
akan timbul resistensi yang makin kuat untuk mempertahankan
pendapatnya masing-masing lalu akan berkembang kecurigaan dari sudut
yang berbeda.Pemerintah terutama Kementerian BUMN dianggap tidak mau
berubah dan tidak mau melepas kekuasaannya terhadap BPJS. Sebaliknya
DPR juga dianggap punya kepentingan politik sendiri-sendiri.

Peran DJSN

Kalau kita urut sejak disahkannya UU SJSN tanggal 19 Oktober
2004,Pemerintah memang lamban dalam menyiapkan implementasinya. Dewan
Jaminan Sosial Nasional (DJSN) yang berfungsi untuk merumuskan
kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan sistem jaminan sosial
nasional baru dibentuk beberapa tahun sesudah UU SJSN ditandatangani.

Belum lagi jika dilihat komposisi anggota DJSN semuanya masih
merangkap dalam jabatan lain dan operasionalisasinya belum dilengkapi
dengan sumber daya yang memadai. Karena itu,wajar jika tenggat waktu
yang disebutkan dalam Pasal 52 Ayat 2 UU SJSN,di mana semua ketentuan
yang mengatur mengenai BPJS agar disesuaikan paling lambat 5 (lima)
tahun, tidak tercapai. Saya menduga, pembahasan RUU BPJS akan
berkepanjangan dan berlarut-larut tanpa mendapatkan titik temu.
Padahal, kebutuhan rakyat untuk mendapatkan jaminan sosial, terutama
jaminan kesehatan sebagai prioritas pertama, tidak bisa ditunda-tunda
lagi.

Contoh belum sinkronnya penyelenggaraan jaminan sosial terlihat dari
penyelenggaraan jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin (dalam UU
SJSN ada di Pasal 14 sebagai Penerima Bantuan Iuran) dilaksanakan
berubah-ubah tidak sejalan dengan prinsip asuransi sosial. Sebenarnya
DJSN-lah yang harus bisa memelopori dan merumuskan kebijakan umum
penyelenggaraan jaminan sosial nasional. Jika hambatannya terletak
pada kompetensi dan fokus para anggota DJSN, maka pemerintah harus
memilih orang yang tepat dan menyediakan semua kebutuhan agar DJSN
berfungsi optimal. Jika terjadi deadlock dalam pembahasan RUU BPJS,
bukan berarti penyelenggaraan jaminan sosial jadi mandeg.

Sebenarnya masih banyak PR yang bisa dilakukan oleh DJSN dan BPJS
untuk melakukan penyesuaian agar prinsipprinsip SJSN segera
dijalankan. DJSN harus mendorong terciptanya sinkronisasi kebijakan
dalam administrasi kepesertaan dengan identitas tunggal, penetapan
besaran iuran/kontribusi, manfaat, penetapan besaran pembayaran/
tarif, biaya dan lain-lain yang dirumuskan dalam Peraturan Pemerintah
maupun peraturan lainnya. Koordinasi dan kerja sama yang intens
menjadi kunci kesuksesannya. BPJS yang ada harus terus didorong untuk
melakukan penyesuaian terhadap 9 prinsip SJSN. Sejauh ini, keempat
BPJS telah dibebaskan dari kewajiban untuk membayar dividen kepada
negara yang diatur dalam perubahan Anggaran Dasar masing-masing BPJS.

Pembebasan kewajiban tersebut dilakukan secara bertahap.Misalnya PT
Asabari (Persero) pada 2002, PT Taspen (Persero) pada 2004, PT Askes
(Persero) dan PT Jamsostek (Persero) pada 2007.Dengan pembebasan
kewajiban tersebut, laba/surplus hasil pengelolaan sepenuhnya
dikembalikan untuk peningkatan manfaat kepada peserta. Belajar dari
pengalaman negara lain, penerapan sistem jaminan sosial yang bersifat
nasional membutuhkan waktu yang panjang dan skenario jangka panjang
yang mendalam serta komprehensif.Kebiasaan kita berpikir jangka pendek
yang kadang-kadang dicampuri kepentingan politik sesaat akan membuat
tersesat dari tujuan utama yaitu memberikan perlindungan bagi seluruh
rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan pada Pembukaan UUD 1945 dan
Pasal 34 Ayat (2) UUD 1945.

Memang, membangun sistem jaminan sosial nasional tidak semudah
membalikkan telapak tangan. Negara maju seperti Jerman dan negara maju
lainnya membutuhkan puluhan tahun sampai pada konsep yang lebih baik.
Bahkan tidak usah jauh-jauh dibanding negara tetangga seperti Thailand
atau Filipina kita masih sangat ketinggalan. Saya kira, untuk
mewujudkan sistem jaminan sosial nasional,kita harus melangkah dari
kondisi yang ada.Langkah itu ialah membenahi seluruh potensi yang
sudah ada dengan skenario jangka panjang yang didasari roadmap yang
jelas. Komitmen semua pihak, terutama political will dari
pemerintah,menjadi kunci penting terlaksananya jaminan sosial nasional
di Indonesia. Semoga.(*)

Tono Rustiano
Pemerhati Jaminan Sosial, Mahasiswa Program Doktor FKM UI

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/366450/
Share this article :

0 komentar: