BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Memutus Siklus Kemiskinan di Perdesaan

Memutus Siklus Kemiskinan di Perdesaan

Written By gusdurian on Sabtu, 20 November 2010 | 08.12

Pekan lalu, untuk kesekian kalinya, Persatuan Rakyat Desa (Parade
Nusantara), turun ke jalan (SINDO,12/11/2010). Mereka menuntut RUU
Desa segera disahkan.


Mereka yakin, untuk menyejahterakan rakyat desa, harus ada arus balik
dalam pembangunan desa. Jika selama ini arus pembangunan berasal dari
pusat ke desa, kini harus dimulai dari desa.Parade Nusantara yakin,
dengan alokasi dana Rp1 miliar per desa dari APBN misalnya, rakyat
desa akan bisa sejahtera. Pemerintah tidak perlu repot-repot melakukan
berbagai program antikemiskinan untuk warga perdesaan seperti beras
untuk rakyat miskin (raskin). Artikel ini tidak akan mengulas RUU
Desa, tapi mengelaborasi lebih jauh mengapa kemiskinan di perdesaan
sulit ditekan? Apa yang salah dengan program antikemiskinan? BPS pada
awal Juli lalu mengumumkan penurunan jumlah orang miskin di Indonesia.

Menurut BPS, angka kemiskinan turun tipis 0,82%,dari 14,15% (32,53
juta jiwa) pada 2009 menjadi 13,32% (31,02 juta jiwa) pada 2010.
Penurunan ini lebih lambat dibandingkan periode 2008-2009 yang
mencapai 1,27%.Penurunan tingkat kemiskinan yang lambat harus menjadi
perhatian serius. Pertama-tama, bukan saja karena jumlah anggaran
antikemiskinan naik empat kali lipat (dari Rp18 triliun pada 2004
menjadi Rp70 triliun pada 2008), tapi penurunan yang lambat
mengindikasikan ada yang salah dalam program antikemiskinan. Ada dua
hal serius yang perlu diwaspadai terkait kemiskinan. Pertama,walaupun
persentase kemiskinan turun,persentase jumlah orang miskin di
perdesaan justru meningkat (dari 63,35% pada 2009 menjadi 64,23% pada
2010).

Ini merupakan fakta getir karena pembangunan justru kian meminggirkan
warga perdesaan.Data ini menunjukkan, lebih dari 30 tahun pembangunan
ekonomi, ternyata kemiskinan tidak beranjak jauh dari desa. Pada 1976,
jumlah penduduk miskin perdesaan mencapai 44,2 juta (81,5% dari
penduduk miskin).Menurut BPS, angka kemiskinan di pertanian mencapai
56,1%,jauh di atas industri (6,77%). Kedua, masih banyak warga miskin
di perdesaan menunjukkan ada yang salah dalam pembangunan perdesaan.
Diakui atau tidak, selama ini kebijakan ekonomi pemerintah cenderung
memfasilitasi penduduk di perkotaan ketimbang warga desa.

Pemerintah lebih mementingkan kegiatan di sektor industri/jasa
daripada di sektor primer (pertanian) yang menjadi gantungan hidup
sebagian besar warga perdesaan. Data-data mutahir menunjukkan,
sebagian besar rumah tangga petani (73,4%) adalah petani padi/
palawija.Ini menggambarkan dua hal sekaligus: sebagian besar petani
miskin, dan sebagian besar orang miskin itu petani. Ini terjadi akibat
kesalahan strategi industrialisasi. Bukannya membuat sejahtera,
industrialisasi di Indonesia justru menyebabkan pemiskinan sektor
pertanian.

Industrialisasi justru menyakiti petani. Industrialisasi telah
menciptakan dualisme ekonomi: ekonomi padat modal, teknologi dan
modern di perkotaan,dan ekonomi tradisional padat tenaga kerja di
perdesaan.Absennya media kerja sama (keterkaitan) keduanya membuat
kedua wilayah kian tertutup satu sama lain.Pertumbuhan ekonomi dari
industri perkotaan tidak menetes ke wilayah perdesaan sehingga
kesenjangan pendapatan antara kedua wilayah cenderung terus melebar.
Rasio pendapatan antara rumah tangga buruh tani dengan rumah tangga
golongan atas di kota 1:6,47 pada 1975, dan menjadi 1:9,53 pada
1998,dan terus meningkat saat ini.

Menumpuknya tenaga kerja di sektor pertanian/perdesaan memperlemah
kapasitas pertanian Indonesia. Hal ini ditunjukkan oleh makin
meningkatnya jumlah petani guremdan rusaknya sumber daya
pertanian,baik lahan,daerah aliran sungai maupun hutan. Menumpuknya
tenaga kerja di sektor pertanian yang tidak diimbangi kemampuan sektor
ini dalam memberikan penghidupan layak bagi para petani dan tenaga
kerja pertanian bukan hanya meningkatkan pengangguran dan kemiskinan
di perdesaan serta meningkatkan kesenjangan desa-kota dan pertanian-
industri, juga melumpuhkan perekonomian nasional secara keseluruhan.

Kondisi itu akan memengaruhi kemampuan petani dan sektor pertanian
dalam menopang pangan (food),pakan (feed), sandang-papan (fibre), dan
bahan bakar (fuel) secara berkesinambungan untuk menjamin kualitas ( j
i w a , raga, dan kecerdasan) warga dan generasi mendatang. Tanpa
perubahan radikal terhadap pilihan strategi industrialisasi dan
pembangunan nasional, mustahil siklus kemiskinan dapat diputus. Dari
analisis ini terang-benderang bahwa penyelesaian kemiskinan tanpa
menyentuh jantung persoalan seperti beleidpemberian kredit dan bantuan
karitatif, hanya akan memboroskan anggaran. Banyak program yang
ditujukan untuk petani misalnya justru tak bisa diakses petani.Petani
tak bisa mengakses program kredit usaha rakyat karena ada syarat tidak
punya utang.

Padahal, banyak petani terjerat Kredit Usaha Tani.Program subsidi
pupuk organik senilai Rp1 triliun tidak membuat petani berdaya karena
pupuk diproduksi BUMN. Mestinya petani yang didorong memproduksinya.
Contoh-contoh ini menunjukkan, tanpa menyentuh jantung persoalan,
program antikemiskinan tidak akan mampu memutus siklus kemiskinan.
Program antikemiskinan tidak akan berhasil tanpa upaya sistematis
membenahi kebijakan dan keberpihakan pada sektor pertanian dan
industri pengolahan yang memiliki keterkaitan erat dengan
pertanian.Dari sisi petani, agar bisa keluar dari kemiskinan, tanah,
modal, pengetahuan dan teknologi, serta akses pasar menjadi kebutuhan
primer.

Tidak cukup redistribusi tanah (land reform).Sejarah mengajarkan,
tanpa dukungan program kredit, penyuluhan, pendidikan, latihan,
teknologi, pemasaran, manajemen dan infrastruktur, redistribusi tanah
membuat produksi menurun. Selain itu, prioritas atau fokus pembangunan
ekonomi seharusnya bukan hanya berada di pertanian atau pendalaman
struktur industri, tetapi juga membangun proses industrialisasi yang
mampu mengubah pola transformasi ekonomi ke arah transformasi ekonomi
yang menghasilkan pola perubahan struktural yang memperkuat ekonomi
Indonesia pada masa datang.

Kesalahan industrialisasi tanpa transformasi struktur ekonomi tidak
hanya memiskinkan petani,tapi juga membuat fondasi ekonomi rapuh.Tanpa
mengubah pola industrialisasi yang menyakiti petani mustahil siklus
kemiskinan di perdesaan bisa diputus.(*)

Khudori
Anggota Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/365197/
Share this article :

0 komentar: