BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Mempersoalkan Konfederasi Partai Politik

Mempersoalkan Konfederasi Partai Politik

Written By gusdurian on Sabtu, 20 November 2010 | 08.15

Menjelang pengesahan Undang-Undang (UU) Pemilu, muncul wacana
perubahan ketentuan parliamantary threshold (PT) dari 2,5% menjadi 5%.


Secara realitas, kita dapat membaca bahwa wacana penerapan konfederasi
partai politik (parpol) dapat dipandang sebagai salah satu alternatif
kenaikan PT tersebut. Setidaknya, beberapa waktu lalu terdapat sekitar
17 parpol peserta Pemilu 2009 tidak lolos PT mulai menyusun kekuatan
guna menghadapi Pemilu 2014 dengan melebur dalam Forum Persatuan
Nasional (FPN) seperti PBB, PDS, PBR,PPRN,PKPI,PDP,PPPI,PPD, Partai
Patriot, PNBK, PPI, PMB, Partai Pelopor, PKDI, PIS, PPIB, dan PDI.
Begitu juga Partai Gerindra terus memperkuat jaringan menuju pemilu
dan Pilpres 2014.

Sebagai langkah awal,Gerindra membangun komunikasi dan berencana
membangun nota kesepakatan konfederasi dengan enam parpol seperti
Partai Buruh, Partai Merdeka, PPNUI, PNI Marhaenisme, Partai
Kedaulatan, dan Persi.Tak ketinggalan, PAN sebagai penggagas
konfederasi mulai membangun komunikasi politik dengan beberapa parpol
nonparlemen, setidaknya dibuktikan oleh pertemuan pimpinan PAN dengan
tujuh parpol nonparlemen, yaitu PDP, PPD, PNBK, Partai Pelopor, PMB,
PIB, PNDI. Sementara partaipartai besar seperti Demokrat,
Golkar,PDIP,dan partai-partai menengah, yaitu PKS, PPP, PKB,Hanura,
terlihat belum menanggapi wacana tersebut. Konfederasi parpol di
tengah dinamika dan konfigurasi politik di Indonesia pada satu sisi
memiliki kelebihan dalam hal daya ikat permanen tanpa harus meleburkan
identitas partai-partai politik yang berkonfederasi.

Namun di sisi lain, dalam praktiknya konfederasi parpol mempunyai
kelemahan, yaitu tak mudah menyatukan perbedaan platform dan ideologi
partai politik. Menurut peneliti senior LIPI Ikrar Nusa Bhakti,
pembentukan konfederasi bukan sesuatu hal mudah untuk dilakukan.
Setidaknya ada beberapa alasan untuk mendukung kesimpulan tersebut.
Pertama, dalam sejarah politik Indonesia,perpecahan partai lebih
menonjol ketimbang pembentukan konfederasi.Kedua,konfederasi politik
biasanya terjadi akibat politik paksaan dari penguasa ketimbang atas
dasar keinginan sendiri. Ketiga, konfederasi partai politik lebih
didasari kepentingan politik elite ketimbang kepentingan massa
pendukung.

Dari sekian banyak parpol peserta pemilu di Indonesia pasca-
Reformasi,secara umum hanya ada dua ideologi besar yang diadopsi
parpol di Indonesia dewasa ini, yaitu ideologi religius dan
nasionalisme/ marhaenisme.Walaupun demikian, tetap saja menjadi
pekerjaan rumit untuk menyatukan parpol berideologi sama. Sebagai
contoh,pada Pemilu 1999 terdapat Golkar-PKPI-PKPB atau PPP-PK-PBB-PUI
serta PDIP-PDI dan sejenisnya.

Begitu juga pada Pemilu 2004, seperti antara PKS-PBB-PBR-PBBPNUI- PKB
atau Partai Demokrat- Golkar-PKPI-PKPB, PDIP-Partai Pelopor-PNBK,dan
seterusnya.Tak ubahnya pada Pemilu 2009, antara Partai Demokrat-Golkar-
Hanura- PKPB-PKPI-Gerindra atau PDIPPDP- PNBK-Partai Pelopor-PNI
Marhaenisme atau PKS-PPP-PBBPBR- PPNUI-PKNU dan sejenisnya. Dari
realitas tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa parpol berideologi
sama tetap sulit untuk disatukan.

Penyederhanaan dan Konfederasi Parpol

Belakangan wacana yang menghangat adalah isu penyederhanaan parpol.
Salah satu cara penyederhanaan partai secara alamiah dengan menaikkan
PT menjadi 5%.Adanya keinginan untuk menyederhanakan jumlah partai
dengan mekanisme PT tersebut mengandung dilema. Dari sudut efisiensi
dan efektivitas,penyederhanaan partai menjadi hal yang cukup mendesak
mengingat pembiayaan parpol dalam sistem pemilu yang multipartai
sangat boros dan tentunya menghamburkan uang rakyat.

Namun, dari sudut hak kebebasan, penyederhanaan parpol juga dapat
dilihat sebagai upaya membatasi hak individu untuk berekspresi secara
politik.Adapun jalan tengah untuk dua sudut pandang di atas adalah
dengan pembentukan konfederasi bagi partai politik yang tidak lolos
PT. Sebab, ide alternatif tersebut sangat mengakomodasi tuntutan akan
penyederhanaan partai dan tuntutan mengenai perlunya penghargaan
terhadap kebebasan rakyat untuk berekspresi secara politik.
Sejatinya,hal lebih penting untuk disadari bersama adalah bagaimana
mengelola partai politik secara profesional dan bertanggung jawab.

Partai politik yang didirikan hanya untuk mengikuti tren dan nafsu
politik atas nama kebebasan telah berakibat pada minimnya dukungan
suara dan simpati rakyat. Partai-partai semacam ini memang layak untuk
dibubarkan dan tidak perlu dipertahankan melalui pembentukan
konfederasi. Belajar dari Pemilu 2009 lalu, penerapan PT 2,5% telah
menyebabkan sekitar 16 juta suara hilang sia-sia. Bahkan ada beberapa
partai politik yang memiliki basis massa yang bagus tetapi tidak ada
wakil di parlemen. Sebagai contoh adalah caleg PBB Yusron Ihza
Mahendra dari daerah pemilihan Bangka Belitung dan Ali Mochtar
Ngabalin dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan III mendapat kursi di
DPR,tetapi batal duduk di Senayan lantaran PBB hanya mendapat suara
1,79% sehingga tidak lolos PT 2,5%.

Kedua contoh kegagalan caleg DPR RI dari PBB di atas sebenarnya tidak
mencerminkan bahwa esensi demokrasi adalah partisipasi masyarakat.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, dengan konfederasi parpol, calon
anggota DPR yang memenuhi jumlah suara tetap bisa duduk di parlemen,
meski perolehan partainya tidak lolos PT.Di samping mencegah suara
yang hilang, konfederasi akan membentuk suatu koalisi yang kuat dan
solid dalam mendukung sistem pemerintahan presidensial. Lebih
jauh,konfederasi parpol harus benar-benar dimengerti oleh
pemilih.Perlu dihindari suatu kesepakatan sesudah pemilu.

Kalau bisa terbentuk konfederasi secara permanen.Ada alternatif cara
yang bisa dilakukan, yaitu pendaftaran calon legislatif yang bernaung
dalam satu konfederasi atau bisa juga dipilih melalui partainya
masingmasing. Namun,keduanya harus digabungkan pada saat penghitungan
suara yang kedua. Selain itu, yang perlu menjadi catatan penting
adalah penerapan konfederasi parpol harus diatur dalam UU secara legal
formal seperti UU tentang partai politik dan UU tentang pemilu.Bila
hanya terjalin di atas suatu kesepakatan, dikhawatirkan tidak ada
kekuatan yang mengikat parpol.

Kemunculan ide konfederasi parpol adalah hal yang wajar di era
demokrasi saat ini.Tapi perlu menjadi catatan khusus, apakah
konfederasi parpol akan membawa manfaat dan kesejahteraan bagi rakyat
atau justru hanya untuk menjaga eksistensi elite parpol di panggung
politik? Kecepatan perubahan politik di negeri kita sulit diukur
sehingga hanya waktu akan menjawab itu semua.(*)

Andriadi Achmad
Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/365201/
Share this article :

0 komentar: