BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » ANGGOTA TIM RUU AKUNTAN PUBLIK, INSTITUT AKUNTAN PUBLIK INDONESI

ANGGOTA TIM RUU AKUNTAN PUBLIK, INSTITUT AKUNTAN PUBLIK INDONESI

Written By gusdurian on Sabtu, 20 November 2010 | 08.17

oleh. Anton Silalahi
Dalam kaitan dengan Rancangan Undang-Undang Akuntan Publik, yang
sedang dibahas Dewan Perwakilan Rakyat, Wakil Ketua Komisi XI Achsanul
Qosasih menyatakan “kegusarannya”akan kiprah akuntan publik asing
karena telah menguasai 80 persen jasa akuntan publik di Indonesia,
sehingga harus dibatasi dan diminta memberikan ruang bagi akuntan
publik lokal (Detik Finance, 25 Oktober 2010).

Adakah cara yang lebih efektif? Sebetulnya belum ada akuntan publik
atau kantor akuntan publik (KAP) asing yang beroperasi secara langsung
di Indonesia. Mungkin yang dimaksud adalah KAP yang bekerja sama
dengan pihak asing. Memang benar, KAP jenis inilah yang terbesar di
Indonesia, dan banyak KAP lokal yang ingin seperti ini. Dan memang
betul kondisi sekarang tidak sehat. Bayangkan, pendapatan 99 persen
KAP hanya sebesar 31 persen.

Sementara itu, yang 1 persen memperoleh selebihnya. Sebanyak 295 KAP
memperoleh pendapatan di bawah Rp 1 miliar. Bahkan 94 KAP memperoleh
kurang dari Rp 100 juta. Hanya sedikit yang mendapat puluhan miliar
rupiah ke atas. Akibatnya, sebagian besar tidak punya cukup dana untuk
mengembangkan diri dan bekerja sesuai dengan standar. Sebagian
terjebak dalam perang harga.

Akibatnya, generasi muda ogah menjadi akuntan publik. Sebanyak 64
persen dari hanya 900-an akuntan publik berusia 51-90 tahun. Akuntan
publik Malaysia sebanyak 2.460, padahal penduduknya hanya 25 juta
jiwa. Juga yang 1 persen tadi adalah KAP bekerja sama dengan asing.
Tetapi untunglah tidak semua pendapatan itu terbang ke luar negeri.
Akan lain halnya bila asing boleh membuka KAP sendiri secara langsung
tanpa harus bekerja sama dengan KAP lokal. Mengapa begitu? Ada
kemungkinan karena chauvinism perusahaan asing, sikap kita yang
gandrung merek asing, atau karena pertimbangan mutu. Semakin
dicermati, kecuali faktor pertama, penyebabnya lebih pada kita
ketimbang pada orang asing. Karena itu, membatasi asing bukanlah cara
yang pas, apalagi bila liberalisasi jasa akuntan publik efektif, tidak
boleh lagi ada pembatasan. Pun meminta ruang kepada mereka hanyalah
menunjukkan inferioritas kita.

Yang pas adalah berfokus ke dalam, yaitu mengubah sikap kita yang
gandrung akan hal berbau asing, padahal yang melakukan audit orang
Indonesia juga. Metodologinya pun bukanlah disiplin tertutup. Kemudian
mengubah sikap inferioritas kita karena sebenarnya kita bisa, apalagi
profesi akuntan publik lebih bercirikan independensi ketimbang
bercirikan keahlian. Banyak klien yang ahli, tapi karena posisi,
mereka harus diaudit.

Berkaitan dengan RUU ini, ada tiga aturan krusial yang harus diatur,
yaitu aturan penyetara akuntan publik lokal dengan akuntan publik
asing. Kedua, penangkal monopoli. Sebab, bila ada monopoli, asing
hinggap di sana. Ketiga, aturan penghapus praktek tidak sehat lainnya,
yang akan menguatkan KAP lokal.

Dalam hal penyetara, kita harus memperbaiki persyaratan izin yang
tidak imbang
pada pasal 7 dengan menyisip ayat bahwa orang asing harus punya
sertifikat Indonesian Certified Public Accountant dan fasih berbahasa
Indonesia. Lalu menyisip satu ayat pada pasal 44 untuk melarang
formalitas pencantuman merek asing karena yang bekerja tetap orang
lokal. Lalu menyisip pasal 32 buat memberdayakan asosiasi profesi atau
badan independen untuk membuat metodologi itu tersedia bagi semua KAP
dengan biaya terjangkau.

Dalam hal penangkal, kita mesti memperbaiki pasal 25. Pasal ini
menyatakan bahwa KAP lokal boleh bekerja sama dengan asing, namun
tidak menyatakan secara eksplisit bahwa sesama lokal boleh bekerja
sama. Sebab, secara de facto, ada berbagai pembatasan, termasuk
larangan kerja sama lokal, sehingga mayoritas KAP tidak bisa mengaudit
klien tertentu. Kemudian menghapus hambatan bagi yang kecil untuk
berkembang, yaitu pembatasan membuka cabang (pasal 20), karena untuk
menjaga kualitasnya sudah ada pemeriksaan yang intensif.
Lagi pula cabang, sebagai bagian integral perusahaan, tidak perlu izin
terpisah. Perlu dicatat, yang kecil ini mencapai 89 persen dan yang
paling kecil 56 persen.

Selanjutnya, menyisip ayat yang melarang jumlah laporan audit yang
tidak masuk akal yang diterbitkan seorang akuntan publik dalam
sebulan, khususnya Januari-Maret, pada pasal 43. Mengenai jumlahnya
bisa diatur dalam peraturan di bawahnya. Rasio partners to reports
yang begini merusak segalanya (mutu, independensi, sikap mengutamakan
kepentingan umum ketimbang laba, dan persaingan sehat). Kuman ganas
ini tidak terdeteksi oleh RUU ini. Padahal larangan ini harus ada
untuk mencapai tujuan undang-undang ini, yaitu melindungi kepentingan
publik dan kepentingan akuntan publik itu sendiri. Lalu, sebagai
pendukung, lembaga pengawas praktek monopoli dan persaingan tidak
sehat janganlah buntu; mestilah kreatif menerapkan undang-undang
tentang hal itu (UU Nomor 5 Tahun 1999) dan proaktif, tidak cukup
hanya mengatakan "silakan lapor".

Dalam hal penyehat, kita mesti menghapus tumpang-tindih regulasi yang
membuat akuntan publik tersubordinasi dengan me nyisip yang berikut
sesudah pasal 65: “pihak selain yang diberi wewenang oleh UU ini yang
membuat pembatasan atau pemeriksaan terhadap akuntan publik/kantor
akuntan publik, kecuali dinyatakan UU, dipidana...

dan denda... Rp...”. Kemudian mengikis anggapan yang menyulitkan
akuntan publik, yaitu anggapan bahwa laporan keuangan
hanyalah neraca dan laporan laba-rugi serta anggapan bahwa akuntan
publiklah yang harus melengkapi laporan keuangan dan memperbaiki buku
klien. Hal ini diperparah oleh software yang dibuat oleh mereka yang
tidak paham hakikat akuntansi. Akibatnya, hampir semua klien tidak
membuat laporan keuangan lengkap, terutama penjelasan atas laporan
keuangan. Karena itu, di luar undang-undang ini perlu aturan pemaksa
agar klien membuat laporan keuangan dan buku yang bisa diaudit. Dalam
RUU ini (pasal 43) perlu disisip ayat yang melarang akuntan publik
mengaudit laporan keuangan yang tidak bisa diaudit.

Di luar undang-undang ini, dibuat ketentuan undang-undang yang
melarang klien memakai akuntan publik palsu dan sanksi pelanggaran
ketentuan wajib audit dalam berbagai undang-undang. Setidaknya ada 47
ribu perusahaan terdaftar (B2B), namun klien audit hanya 16 ribu.
Sisanya ke mana? Terakhir, agar tidak mandul, pengawasan (pasal 45)
tidak boleh hanya tentang mutu, tapi juga harus mencakup semua hal
tersebut.

Karena virus tadi ganas dan licin, solusi ini harus diatur dalam
undang-undang. Jika tidak, berisiko tak akan diatur dalam peraturan di
bawahnya dan tidak efektif bila hanya dalam kode etik. Alasan
nonsubstansial yang berbunyi “itu operasional atau terkait subyek
hukum lain”tidak boleh menghambat hal krusial. Undang-undang bisa
memaksa siapa saja yang berkontrak dengan akuntan publik untuk
mematuhi UU Akuntan Publik. Memang solusi ini bersosok kecil, namun
mendasar, tidak akan berubah secara cepat. Karena baik, tentu tidak
akan menggigit siapa-siapa bila diatur dalam undang-undang. Artinya,
dengan perubahan kecil, hasil besar akan dicapai, asalkan kita mau.
Kita tidak lagi takut kepada asing. Semoga! ● *) TULISAN INI TIDAK
MEWAKILI IAPI

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/11/20/ArticleHtmls/20_11_2010_010_020.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: