BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Gara-gara Mbah Maridjan

Gara-gara Mbah Maridjan

Written By gusdurian on Sabtu, 20 November 2010 | 08.26

Radhar Panca Dahana

Ngeyel—nya Mbah Maridjan untuk tidak segera mengungsi, hingga akhirnya
wafat dalam erupsi besar pertama gunung Merapi 26 Oktober, memancing
berbagai tanggapan publik dan media.

Sebagian menyesali kepergian sang Juru Kunci, yang sesungguhnya masih
bisa diselamatkan. Sebagian mengakui keunggulan kekuatan batin anak
dari seorang Juru Kunci Merapi juga itu, tidak hanya dalam melakukan
”komunikasi”, tetapi juga menjalin hubungan yang sangat dekat dengan
Mbah Merapi.

Di samping beberapa orang yang memandang sinis kedudukan serta peran
seorang Mbah Maridjan, umumnya kalangan memiliki kesan yang baik,
lembut, dan penuh respek kepada sosok bergelar R Ng Mas Penewu
Suraksohargo itu. Almarhum dianggap sebagai orang yang paling kapabel
dalam memahami gunung (Merapi, khususnya) bukan hanya sebagai sebuah
fenomena alam, melainkan juga fenomena kejiwaan atau kebatinan. Bagi
para pendaki gunung, setidaknya di negeri ini, hal terakhir tersebut
menjadi bekal yang tak dapat diremehkan untuk menjelajahi atau
”menaklukkan” keganasan dan misteri gunung.

Begitu pun bagi masyarakat umum, khususnya di seputar Merapi,
kesederhanaan serta kearifan pikiran dan kehidupan Mbah Maridjan ialah
tolok ukur dari cara mereka menghadapi hidup secara harmonis bersama
(alam) semesta yang ada di sekitarnya. Ia menjadi contoh kuat untuk
praksis dari konsep memayu hayuning buwana. Menjadi medium atau
komunikator antara manusia dan gunung, sebagai semesta yang tidak
hanya vital dalam hidup keseharian, tetapi juga definitif dalam
merangkum kosmologi mereka yang hidup di seputaran radius kulturalnya.

Dalam kosmologi itu, Merapi swarga pangrantunan, yang merupakan ujung
atau puncak perjalanan manusia mencapai eksistensi tertinggi, di mana
Jagad Ageng (makrokosmos) dan Jagad Alit (mikrokosmos) menyatu dalam
diri. Kosmologi itu termanifestasi dalam tata ruang kerajaan (kota)
Yogyakarta, yang membujurkan sumbu di garis Parangkusuma (Laut Kidul)-
Panggung Krapyak-Keraton-Tugu Pal Putih hingga Merapi, di mana
singgasana Sultan pancernya.

Mbah Maridjan hidup penuh dalam kosmologi ini. Gunung (Merapi) baginya
adalah makhluk yang hidup, yang dapat bernapas, berpikir, dan
berperasaan. Ada roh yang berdiam di baliknya, yang juga membaca
(pikiran dan perilaku) manusia di sekitarnya. Dengan alasan itu, sang
Juru Kunci beranggapan sebutan-sebutan seperti mbledhos, njeblug, dan
wedhus gembel, ”menyakitkan hati” Merapi, dan karena itu, ia pantang
menggunakan istilah tersebut.

Simbolisme gunung

Hidup dengan kosmologi semacam ini memiliki makna dan bentuk yang
universal di kalangan masyarakat etnis/tradisional seluruh dunia.
Gunung adalah tempat dewa/tuhan berdiam, arwah-arwah membangun
kerajaannya, atau rumah ke mana roh manusia pergi setelah mati, adalah
riwayat yang tersebar sejak dari suku bangsa purba Eropa, Basque,
hingga bangsa Kanaan di Timur Dekat, dari Mesir, India, China, hingga
Inca dan Indian di Benua Amerika.

Pertautan antara hidup fisik-material manusia dan hidup batin-
imaterial gunung tidak lain merupakan upaya purba dan esensial manusia
dalam memahami keberadaan kekuatan suprahuman/supranatural, sampai
hari ini. Satu upaya yang dalam kehidupan agama pagan melahirkan dewa
dan tuhannya sendiri-sendiri, melahirkan agama-agama awal. Gunung jadi
simbol utama di berbagai tradisi karena bentuk dan posisinya yang
meruncing, tinggi, menyentuh langit: menyentuh wilayah di mana manusia
tak mampu meraihnya. Gunung adalah batas tertinggi di mana manusia
dapat menyentuh atau memasuki dunia ”lain”, mendapatkan berkah dan
kekuatannya.

Tak mengherankan jika agama-agama banyak menggunakan gunung sebagai
simbol pencapaian spiritualitas tertinggi, yang dalam makna politis
jadi kekuatan, bahkan legitimasi, kekuasaan raja atau para rahibnya.
Abstraksi gunung yang berbentuk segitiga tanpa dasar, seperti piramida
atau candi, tidak hanya jadi simbol religius, tetapi juga kekuasaan
politik. Lebih khusus lagi ”kekuasaan lelaki” ketika ia jadi simbol
phallus atau lelaki dalam abstraksi berbentuk dua garis miring bertemu
di bagian atas.

Menhir-menhir di Mesir yang diadopsi di Paris, New York, hingga Monas
di Jakarta adalah semacam derivasi arsitektural dari budaya macho itu.

Realitas historis yang sangat panjang itu kini jadi semacam fakta
sosial dalam diri Mbah Maridjan dan masyarakat yang memiliki realitas
sama dengannya. Gara-gara Mbah Maridjan kita pun mafhum hidup seperti
itu tak dapat dipahami hanya dengan, katakan, semacam rasionalisme
spekulatif yang menyatakan realitas itu sebagai ”transendensi dari
keterbatasan manusia”. Faktor rasio mungkin dapat mengartikulasi
fenomen-fenomen yang bersifat material, sementara dunia batin dalam
realitas kita harus dijelaskan dengan cara lain.

Tantangan besar kita

Prosedur pemahaman yang sama juga perlu dihadapkan pada realitas umum
dari masyarakat di negeri ini, termasuk mereka yang berada di kalangan
elite ataupun pucuk kekuasaan. Akal dan cara berpikir rasional memang
sangat penting, setidaknya berusaha dijadikan standar, dalam kehidupan
modern negeri ini, di pelbagai dimensinya. Namun, mesti diakui jujur,
perhitungan-perhitungan rasional atau akali itu sebenarnya lebih
banyak berperan sebagai kosmetik, bisa pula sebagai artifisialisasi,
bahkan topeng yang menutupi realitas praktis dari manusianya, secara
individual ataupun komunal.

Tak bisa ditutupi, di setiap lapisan masyarakat kita, di kalangan yang
memiliki posisi desisif—secara politis, ekonomis, yuridis, atau
religius—praktik hidupnya diisi oleh kegiatan atau ritual-ritual yang
sudah menjadi tradisi dari hidup dengan kosmologi di atas. Praktik
yang disebut mistis, magis, atau klenik mengisi kehidupan mereka,
bahkan hingga cara mereka menghitung hari, membangun rumah, memulai
bisnis, mencari istri, hingga mengejar (dan mempertahankan) posisi/
jabatan.

Ini tantangan besar kita, untuk setidaknya mencegah—atau memulihkan—
terjadinya dualisme kepribadian kita, baik sebagai manusia maupun
sebagai bangsa. Jangan sampai rasio hanya jadi tempat berkelit,
semacam trik untuk praktik yang menyimpang dari kehidupan batiniah di
atas. Caranya, tentu saja, tak hanya sekadar menghujatkan judgement,
bahkan dakwaan akan praktik klenik, tetapi memahaminya dengan sebuah
perangkat mental tertentu—yang tak melulu rasional—untuk mengetahui
kelemahan dan kekuatannya.

Untuk itu, mungkin bisa diawali dengan sikap kita—terutama elite dan
penguasa—untuk tak terjebak dan diperalat logika material untuk
memahami jiwa atau batin publik di semua segmen kehidupannya, politik,
ekonomi, kultural, dan seterusnya. Hanya persoalannya, bagaimana
proses itu bisa dimulai apabila elite dan penguasa kita saat ini sudah
tidak indah lagi pada satu dimensi penting dalam hidup dan tanggung
jawabnya: batin?

Maka bencana pun akan jadi kalender tetap kita selanjutnya. Dalam
kultur daratan, gunung memang selalu jadi puncak pencapaian (rohani)
kemanusiaan karena di situlah langit tergapai, tempat kekuatan dunia
arwah dan Dia yang supranatural berdiam. Ini berlaku dari ujung timur
hingga barat dunia, dari Mesir, Semit, India, hingga Jepang dan China.
Piramida di Mesir, Mahameru di India, hingga Gunung Kun Lun atau
Fujiyama di Jepang mencerminkan itu.

Radhar Panca Dahana Budayawan

http://sg.mc762.mail.yahoo.com/mc/welcome?.gx=1&.tm=1290214015&.rand=399djt620q9g5
Share this article :

0 komentar: